PEMBAHASAN ENAM
POLIGAMI
Islam menghalalkan poligami karena sebab-sebab dan hikmah-hikmah yang banyak memberikan kemaslahatan kepada suami dan istri, karakteristik mereka, dan mengokohkannya sebagai kebutuhan pribadi dan masyarakat yang berakhlak.
Pembolehan ini tercantum dengan jelas di dalam al-Quran Karim yang berbunyi,
Oleh karena itu, Islam membatasi pembolehan dengan hanya empat istri saja dan tidak menjadikannya tanpa batasan sebagaimana yang terjadi sebelum Islam.
Poligami menurut Umat-umat lain.
Poligami dikenal oleh banyak bangsa terdahulu seperti Cina, India, Babylonia, Assyria, dan Mesir.
Poligami juga dikenal oleh bangsa Yahudi dan mereka tidak membatasi poligami. Nabi-nabi mereka semua berpoligami, bahkan disebutkan bahwa Sulaiman AS. memiliki 700 istri dari kalangan merdeka dan 300 dari kalangan budak.
Adapun bagi kaum Nasrani, mereka tidak memiliki teks yang jelas dalam pelarangan poligami, dan apabila yang diharuskan memiliki satu istri adalah uskup saja, maka keharusan ini menandakan bolehnya poligami bagi selain uskup.
Poligami masih dikenal oleh kaum Nasrani hingga abad ke-17, dan kebanyakan dari penguasa serta pembesar mereka pun berpoligami begitu juga sekte-sekte mereka. Bahkan poligami adalah aturan Tuhan yang suci bagi sekte Mormons.
Seorang profesor sosiologi terkenal bernama Dr. Ali Abdul Wahid Wafi memaparkan beberapa fakta:
Fakta pertama: sebenarnya sistem poligami telah meluas dipraktikkan oleh kebanyakan bangsa sebelum datangnya Islam, seperti bangsa Ibrani, bangsa Arab Jahiliyyah, dan Cisilia. Bangsa inilah yang kemudian melahirkan sejumlah besar penduduk yang menghuni negara-negara Rusia, Lithuania, Liechtenstein, Estonia, Polonia, Cekoslavia dan Yugoslavia. Sebagian bangsa Jerman dan Saxonia melahirkan sebagian besar penduduk negara Jerman, Osterich, Swiss, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia, Norwegia dan Inggris. Maka tidak benar jika ada yang mengatakan bahwa Islamlah yang mula-mula membawa sistem poligami.
Kedua: hingga dewasa ini sistem poligami masih berlaku dan menyebar di sejumlah bangsa yang tidak beragama Islam seperti bangsa Afrika, India, Cina, dan Jepang. Jadi tidak dibenarkan pula orang-orang yang beranggapan bahwa sistem ini terbatas bagi umat yang beragama Islam.
Ketiga: sebenarnya sistem poligami tidaklah dilakukan kecuali oleh bangsa-bangsa yang telah maju kebudayaannya sedangkan bangsa-bangsa yang masih primitif jarang sekali melakukannya., bahkan bisa dikatakan tidak ada. Hal ini diakui oleh para sarjan sosiologi dan kebudayaan, yang ditenggarai oleh : Westermark, Hobbers, Heler, dan Jean Bourge. Maka tidak benar jika ada yang beranggapan bahwa sistem poligami tergantung pada terbelakangnya peradaban akan tetapi sebaliknya sebagaimana yang terjadi pada realitanya.
Fakta ketiga: Sebenarnya tidak ada kaitan sama sekali bagi agama kristen atau syariat Isa yang asli dengan pengharaman poligami. Andaikata pendahulu-pendahulu bangsa Eropa yang beragama Nasrani menganut sistem monogami, tidak lain karena sebagian besar bangsa Eropa paganis yang menyebar di dalamnya paham kristen pertamakali yaitu bangsa Yunani dan Romawi memiliki tradisi mengharamkan poligami dengan akad yang sah. Masyarakat bangsa ini –setelah mereka memeluk agama almasih- menjalani apa yang mereka warisi dari nenek moyang mereka sebelumnya dan kemudian aturan gereja modern telah menetapkan pengharaman poligami. Mereka mengklaim pengharaman ini termasuk dari ajaran-ajaran agama walaupun pada kenyataannya dalam lembaran-lembaran -Perjanjian Baru- tidak tercantum di dalamnya sesuatu yang menunjukkan pengharaman ini dan dari apa yang memperjelas bahwasanya syariat isa tidak mendatangkan pengharaman bagi poligami. Karena aturan ini bersumber dari Allah yang memperhatikan kemaslahatan hambanya. Poligami disyariatkan untuk mereka dan demi kemaslahatan mereka sebagaimana yang disebutkan almarhum Syaikh Syaltut bahwasanya semua syariat memperbolehkan poligami termasuk ajaran kristen. Pembatasan satu istri saja tidak berlaku kecuali pada masa Raja Syarliman yang beristri lebih dari satu, kemudian para uskup saat itu mengisyaratkan pada para penganut poligami untuk hanya memilih salah satu dari istrinya, adapun yang lain hanya dianggap teman.
Dari sini poligami di Eropa menorehkan warna suram yang menggelikan dan menyakitkan.
George Zaedan memastikan bahwasanya syariat almasih tidak membawa pengharaman bagi poligami, dengan ucapannya “ Tidak ada teks yang jelas dalam agama Nasrani yang melarang penganutnya dari menikahi dua orang wanita atau lebih, kalau saja mereka berkehendak pastilah poligami boleh bagi mereka.
Dari semua yang disebutkan jelas sudah bagi kita bahwa poligami telah ada di sepanjang zaman, dan bahwa orang yang mengharamankan kemuliaan membolehkan kehinaan.
Poligami dalam Syariat Islam
Telah kita ketahui, bahwa Islam membolehkan poligami dan sesunguhnya syariat Islam bukanlah syariat pertama yang membolehkan poligami sebagaimana yang kita pahami.
Saat Islam muncul, bangsa Arab sebenarnya telah melakukan praktik poligami di masa jahiliyyah mereka.
Haris bin Qais berkata: “Aku memeluk Islam sedangkan aku memiliki delapan istri. Aku menyebutkan hal ini kepada Nabi lalu beliau berkata: “pilih empat orang dari mereka”.”
Begitu juga dengan Ghailan ats-Tsaqafi ketika dia masuk Islam sedangkan dalam tanggungannya sepuluh orang istri. Ia menceritakan hal itu di hadapan Rasulullah Saw. dan beliau berkata, “pilih empat orang dari mereka dan ceraikanlah selebihnya”
Nabi Saw. beserta sahabatnya juga berpoligami, ijmak juga menyimpulkan bolehnya poligami dari zaman Nabi hingga saat ini.
Sebab-sebab Poligami dan Hikmah-hikmahnya
Poligami dalam Islam tidak terlahir secara tiba-tiba atau sembarang saja, kalaulah praktik ini diperbolehkan karena ia disyariatkan dengan sebab-sebab substansial dan hikmah-hikmah yang nyata yang menganjurkannya bahkan mengharuskannya dalam beberapa keadaan.
Sebab-sebab dan hikmah-hikmah itu adalah sebagai berikut:
1. Allah Swt. menciptakan laki-laki dan perempuan serta membekali keduanya insting atau kecenderungan pada yang lainnya agar menjadi tenang, dan menjadikan diantara keduanya cinta dan kasih sayang.
Dikhawatirkan insting ini hanya mengambil keuntungan saja dalam menggauli wanita, maka poligami disyariatkan untuk memenuhi kebutuhan ini dengan jalan arpernikahan syar’i yang menghormati perempuan serta memberinya hasil yang baik.
2. Sebagian pria tidak mampu membentengi dirinya dengan hanya beristrikan satu orang disebabkan keadaan-keadaan yang mesti dialami oleh wanita seperti kehamilan, melahirkan dan haidh, begitupula di saat ia menjadi tua renta maka harus mengumpulkan sang istri dengan yang lainnya pada kondisi ini.
3. Bertambahnya jumlah perempuan melebihi laki-laki di semua makhluk termasuk keadaan yang menjadikan laki-laki beristri lebih dari satu pada umumnya.
4. Dampak kematian laki-laki disebabkan perang atau pekerjaan-pekerjaan berat lainnya. Hal ini adalah faktor yang mengurangi jumlah laki-laki dan menambah jumlah perempuan yang menjadi dampakanya. Sehingga sebagai solusi dari problematika ini, satu orang laki-laki memiliki istri lebih dari satu orang.
Kondisi ini pernah dialami oleh Jerman setelah perang dunia kedua yang menimbulkan banyaknya laki-laki gugur dan menyisakan banyak janda.
5. Istri yang menderita penyakit menahun sehingga tidak bisa memenuhi kewajiban rumah tangganya maka lebih baik baginya menerima satu perempuan lain bersamanya atau lebih daripada suaminya menceraikannya disebabkan penyakitnya sehingga memberikan bahaya baginya dan mengumpulkan dua musibah atas dirinya.
6. Terkadang seorang istri mandul dan tidak bisa melahirkan sedangkan dia tidak mau terpisah dari suaminya, begitu juga sang suami masih mencintai istrinya dan tidak mau menceraikannya, akan tetapi dalam waktu bersamaan dia menginginkan keturunan. Secara logika dia akan mempertahankan istrinya dan menikah dengan perempuan lain yang bisa memberikan keturunan. Istri yang pertama pertama ridho bahkan mendorongnya untuk menikah dengan orang lain sebagaimana yang dilakukan oleh wanita-wanita lain yang berakal dan berorientasi jauh ke depan.
7. Bertambahnya jumlah janda, gadis tua dan wanita-wanita yang diceraikan, yang tidak lain solusi dari permasalahan mereka adalah dipoligami dengan wanita lain.
8. Terkadang laki-laki yangsering melakukan perjalanan dengan masa menetap di negara yang ia kunjungi melebihi tujuh bulan atau lebih adapun sang istri tidak dapat menemaninya dengan alasan atau lainnya maka semestinaybersamanya istrinya yang lain yang mau berpergian bersamanya dan membantunya memelihara agamanya.
Syarat dan Hukum Poligami
Biarpun secara aslinya poligami diperbolehkan, sesungguhnya poligami tidak diperbolehkan secara mutlak akan tetapi ada syarat-syarat dan hukum-hukum yang mengikatnya:
1. Tidak boleh menambah istri lebih dari empat dalam waktu bersamaan karena sebab-sebab jelas. Ini telah dijelaskan oleh ayat poligami, dan hadits-hadits nabi Saw, begitu juga yang dilakukan oleh umat muslim sebelumnya. Adapun Rasulullah saw. yang menikahi lebih dari empat wanita adalah keadaan yang dikhususkan untuknya sebagaiamana Allah mengkhususkan untuknya menikah tanpa memberi mahar, serta kekhususan- kekhususan lainnya.
2. Laki-laki itu mesti bersikap adil pada istri-istrinya dan menyamakan hak-hak mereka, terkhusus hak materinya dan apa-apa yang termasuk dalam tanggungan suami seperti sandang, pangan, dan papan. Adapun adil dalam hal yang diluar kemampuan seprti cinta, kecenderungan maka tidak wajib karena tidak mungkin mampu sebagaimana firman Allah swt.
Begitujuga sabda Rasulullah saw: “Ya Allah seperti inilah yang aku lakukan terhadap apa yang aku miliki dan janganlah Engkau menyakitiku pada apa-apa yanjg Engkau miliki dan tidakaku miliki”. Beliau adalah orang yang mengundin istri-istrinya jika akan berpergian, dan karena manusia tidak mampu adil dalam hal cinta dan kecenderungan begitu juga beliau yang tak kuasa atas perasaannya.
Beliau telah mngingatkan dari ketidakadilan terhadap istri-istridan berkata: “jika disisi seorang pria da dua istri dan dia tidak bisa adil pada keduanya dia akan mendatangi hari hari kiamat dan mendapatkan kesulitan.
3. Sesungguhnya perintah dalamm ayat “ “. menandakan pembolehan bukan kewajiban. dan selanjutnya mengenai pernikahan dengan lebih dari satu wanita juga bukan keharusan. Suami memilih antara cuku dengan satu saja dan berpoligami. Poligami adalah keringan bagi orang yang membutuhkannya. dan ini adalah pendapat yang rajih.
Poligami ala Nabi Muhammad saw.
Nabi Muhammad beristrikan sembilan orang wanitaq dalam satu waktu, dan jumlah istrinya mencapai sebelas orang dan ada yang mengatakan tiga belas orang. Pernikahan beliau dengan jumlah ini termasuk dari kekhususan yangmemuliakannya dari Allah swt sebagaimana yang kita bahas sebelumnya. Akan tetapi belia tidak berpoligami dengan jumlah ini untuk memenuhi syahwat atau kebutuhan duniawi belaka. Hal ini untuk memberikan kemaslahatan bagi Islam dan kaum muslimin. Beliau yang tak lain adalah pembersih apa yang menjadi aib bagi manusia dan menlong mereka.
Mungkin poligami beliau kembali pada sebab-sebab berikut:
1. Menjelaskan Syariat
a. Ummahatul mukminin Aisyah, Ummu Salamah, Maimunan, dan selainya menjalani peran ini dengan sebaik-baiknya. Mereka telah menjadi guru istimewa yang mempelajari kitab Allah dan Sunnah nabinya kemudian mentransfernya kepada kaum muslimin. Dan para sahabat dan tabiin menemui mereka, bertanya, meminta fatwa, dan belajar kepada mereka.
b. Pernikahan beliau dengan Zaenab binti Jahsy untuk menjelaskan hukum islam dalam pembolehan Ayah menikahi istri anak angkatnya. Pada masa jahaliyyah telah diketahui pengharaman ayah menikahi istri anak angkatnya. Nabi telah mengangkat budaknya menjadi anaknya dan menikahkannya dengan putri bibinya Zaenab binti Jahsy. Pernikahan ini untuk menghilangkan perbedaan kasta; zaenab dari kalngan mulia dan zaid adalah hamba sahaya. Lalu pernikahan ini tidak berhasil karena ketentuan Allah yang mengharuskan Zaid menceraikan Zaenab kemudian Nabi menikahinya setekahnya dan ia menjdai penanggungjawab atas pernikahan ini. Allah telah membritahukan apa yang akan terjadi
2. memuliakan sahabat beliau dengan menjadikannnya besan untuk mereka dan itu karena kedudukan mereka dalam Islam, ini diperjelas dalam pernikahnya dengan Aisyah dan Hafshah. Ini termasuk kemuliaan bagi Abu Bakar dan Umar Ra. yang fadhilah mereka melebihi siapapn.
3. Mewujudkan solidaritas dan pelipur lara bagi kaum muslimin dengan menghindari bahaya dan mengganti yang telah hilang:
a. beliau menikahi Umu Salamah r.a setelah suaminya meninggal dunia. dimana Abu Bakar mengkhitbahnya begitupula Umar. Kemudian dia berkata siapakah yang seperti Abu Salamah? Lalu nabi SAW melamarnya, itulah` yang terbaik bagi semuanya..
b. beliau menikahi Umu Habibah ( Ramlah binti Abi Supyan) dan sebaik-baik baginya. umu habibah perna hijrah bersama suaminya Ubaidillah bin Jahsy ke negri Habasyah yang menjadi Nasrani di sana. Yang lebih rendah digantikan ddngan yang lebih baik , dan menukar kgelapan dengan kebaikan,.
c. Beliau menikahi Shafiyyah bin Huyay bin Akhtab ra. sebagai penghibur baginya dan kasih sayang untuknya. Dia adalah puteri dari pemimpin kkaum bani nadhir. dia diambil dari ayahnya dan kaumnya. Hiburan nabi yang manjdi obat menyehatkan bagi lukanya dan ganti yang pantas atas apa yang menimpanya. Ia bergabung dengan kumpulan kebaikan yakni ummahatul mukminin yang mendapat kebaikan dan berkah.
d. pernikahan beliau dengan Zaenab binti Khuzaimah ra. yang suaminya telah meraih syahid yaitu Ubaidillah bin Harits bin Abdul Muthalib ra dalam perang badar. Sehingga ia menjadi janda yang membutuhkan penanggung atas dirinya karena ia telah tua. Maka dari itu nabi menikahinya.
4. Menyatukan manusia dan mendekatkan mereka kepada Islam
a. pernikahan beliau dengan Juwairiyyah bin al-Harits yang menjadi tahanan pada hari Mrisi’. Bapakna adalah pemimpin kaumnya, Orang-orang muslim telah mengampuni tahaan daari kaumnya yang berada di tangan orang-orang muslim untuk menjadikan mereka besan rasulullah saw. Juwairiyyah adalah orang yangbaik dan barakah bafi kaumnya sebagaimana hal ini berebkas dalam diri mereka.
b. Pernikahan beliaun dengan Maimunah binti Harits al-Hilaliyah dan beliau menjadi orang yang zuhud dan ahli ibadah. dan telah disebutkan bahwa pamannya Abbas menginginkannya karena dia saudari istri Lubabah dan perbesanan ini berpengaruh bagi kaumnua dan merrela menrima islam maslahat yang besar.
5. Adapun Khadijah Ra. yang menjadi istri belaiu yang paling utama bahwasanya dia tidak menduakannya dengan istri selainnya selama hidup khadijah. Dia pun lebih tua dari Nabi Muhammada lima belas tahun. Ini adalah bantahan paling kuat atas tuduhan orang-orang pengecut mengenai poligami nabi.
pada kesimpulannya pendapat bahwa poligami rasulullah untuk tujuan-tujuan yang terencana dan maksud-maksud mulia seperti menjelaskan syariat atau mengajarkan perempuan, atau menghormati sahabat beliau, atau mewujudkan pedoman-pedoman Islam seperti saling tolong menolong dan lainnua atau menayutkan sebuah kaum. Belatapa mulianya tujuan ini.
Orang-orang Non-muslim Menuntut Poligami dan Menyanjungnya:
Nun di sana banyak orang-orang non muslim di masa kini yang menuntut adanya poligami dan menyebutkan keistimewaannya. Tuntutan seperti itu tidak lain karena mereka mengetahui kebaikan-kebaikan poligami dan kemampuannya dalam menyelesaikan permasalahan mereka.
Di Inggris para perempuannya menulis artikel-artikel panjang di lembaran-lembaran mobil dan lain sebagainya yang meminta dicabutnya sistem poligami akan tetapi sekelompok tokoh agama dan dan tokoh cendekiawan memutuskan untuk mendorong dan menuntut berlakunya sistem ini.
Profesor Khatib Makki dalam tafsirnya yang terkenal menyebutkan: perwakilan Roter mengutip sejak beberapa tahun terakhir sebuah berita yang menyebutkan bahwasanya empat uskup ternama di kepemimpinan keuskupan Canterbeigh –yaitu kumpulan sejumlah besar masyarakat gereja protestam- telah berkumpul bersama-sama sebagian cendekiawan sosial di London yang meluncurkan keputusan yang mendorong berlakunya sistem poligami dan meminta diperbolehkannya untuk umat kristen untuk kemaslahatan umum dan perempuan itu sendiri.
Di Jerman Prof. Fon Ehrmaslas, “ sesungguhnya prinsip poligami adalah kelaziman dan keharusan untuk serentetan tujuan”
Di Perancis dan negara lainnya, sebagian besar filsuf dan tokoh pembaharu tentang hal ini yang tidak memperluas kedudukan membahasnya dan berpanjang lebar mengenainya. Mungkin cukup sebuah ungkapan dari seorang filsuf Perancis Gustav Lobon menjelaskan sebuah permasalahan dan menyangkal kelompok besar kaumnya yang mengembar-gemborkan beberapa generasi kita: Lobon menyebutkan dalam bukunya : “Peradaban Arab”
“Kami tidak menyebutkan sebuah sistem yang membuat orang Eropa menyerang dengan kecaman serupa prinsip poligami. Kami juga tidak menyebutkan sistem disalahpahami orang Eropa serupa prinsip ini. Sejumlah besar sejarawan Eropa berpendapat bahwa prinsip poligami sebuah batu kecil dalam Islam dan ialah penyebab tersebarnya Al-Quran serta faktor kemerosotan bangsa timur”
Penggambaran ini bertentangan dengan kenyataan dan saya berharap para pembaca yang membaca bagian ini setelah
bahwasanya prinsip poligami bagi masyarakat timur adalah sistem baik yang mengangkat derajat akhlak umat sehingga dapat menambah ikatan kekeluargaan dan memperikan kemuliaan serta kebahagiaan bagi perempuan yang tidak ditemukan di Eropa.
Saya juga tidak melihat sebab yang menjadikan prinsip poligami secara syar’i ini lebih rendah martabatnya daripada poligami yang dilakukan secara tersembunyi oleh bangsa Eropa, sebaliknya saya melihat apa yang menjadikannya lebih bersinar darinya.
Dengan ini kita mencapai sebuah tujuan yang mengagetkan bangsa timur yang mengunjungi kota-kota besar kita sebagai perlawanan kita atas mereka dan pandangan sinis mereka terhadap perlawanan ini.
Lobon mengatakan pada kesempatan lain, “sebenarnya poligami seperti yang disyariatkan Islam adalah sebaik-baik sistem dan paling memenuhi keberadaban manusia yang mendukunagnya, dan memproteksinya, dan mempertalikan kekeluargaan, dan menguatkan pertalianya. maka caranya adalah dengan menjadikan seorang perempuan muslimah menjadi lebih berbahagia, lebih berhak, lebih pantas mendapatkan kemuliaan dari laki-laki daripada suadarinya yang asing.
Ini adalah kesaksian seorang non-muslim yang menyanjung sistem poligami dalam islam setelah merasakan dan mengecap kekecewaan mereka. Atau tidak adakah pelajaran dalam hal ini yang bisa diambil?
Kesangsian-kesangsian yang ditebarkan seputar poligami dan bantahan atasnya
Para pengecut yang mengklaim bahwa poligami meremehkan dan menghinakan perempuan dan memperkuat otoritas laki-laki atas perempuan, merespon libidonya dan keinginannya. Tapi mereka tidak memiliki dalil mengenai in. Lalu apa yang lebih mulia bagi perempuan, menjadikanya sekedar teman pemuas nafsu serta tidak sedikitpun hak baginya dan bagi yang mengandung untuknya, atau menjadikannya istri dan seorang ibu yang baginya juga anak-anaknya semua hak yang menjamin kehidupan mereka dengan baik dan bahagia.
Klaim mereka yang kedua yakni poligami menyerukan untuk memperbanyak keturunan yang menambah cacat negara, pengangguran, orang-orang yang gagal yang disebabkan oleh adanya orang-orang tak bertanggungjawab yang memacu kehancuran dan sumber kesengsaraan umat. Mereka pun tak punya dalih atas ini, karena sepengetahuan dunia ini dan sepanjang perjalanan masa bahwa banyaknya keturunan yang dibarengi baiknya pendidikan adalah pilar besar kekuatan umat dan pertumbuhannya. Contoh nyata dari itu adalah Jepang dan Cina sebagaimana para orang-orang tak bertanggungjawab yang akan menjadi pemacu kehancuran yang menggelisahkan orang-orang yang tidak meneyetujui poligami. Karena satu drari mereka menjadi pembalas dendam atas masyarakat yang membawakannya dosa yang tidak mereka inginkan dan karena ia tidak berkembang menjadi keluarga yang mendengarnya serta dari kesalahan-kesalahan yang ia sebabkan.
Klaim ketiga mereka bahwa poligami menyebabkan robohnya kesucian cinta, iikatan antara anggota satu keluarga, mewariskan permusuhan serta kedengkian antara generasi. Ini juga tidak memmiliki dalih karena sumber semuanya itu adalah kezhaliman sang ayah dan pisahnya ia dari anaknya, kezhaliman suami pada istrinya dan berpisah darinya. Oleh karena itu kita harus meninjau apa yang dikatakan si anak dan istri.
Kalaulah bapak memperbagus pendidikannya dan berbuat adil pada anaknya pastilah tidak akan terjadi kedengkian dan permusuhan yang terjadi diantara bahaya yang disebabkan oleh keinginan. Ini hanyalah masalah fitrah yang Allah berikan pada perempuan akan tetapi yang menyalakan api permusuhan dan meringankannya adalah kezaliman dan keadilan sang suami.
Jadi, praktik poligami yang paling buruk bukan terbatas disebabkan oleh poligami itu sendiri akan tetapi yang menjalankan pratik poligami yang menyimpang. Sistem dan undang-undang tidak akan terpenuhi oleh keburukan prilaku manusia. Logikanya, manusia mesti menaatinya dan menghindari penyimpangan tersebut.
Umat ini harus menjadi umat yang berjihad, sedangkan jihad membutuhkan banyak orang yang mana tidak akan terjadi tanpa memperbanyak keturunan, dan salah satu cara adalah dengan poligami.
Penutup
Beberapa negara saat ini melarang poligami yang mengakibatkan hukuman-hukuman bagi pelanggar. Yang seperti ini menyebabkan kerugian dan kerusakan yang besar seperti perselingkuhan suami dengan nikah secara diam-diam dan mencari kekasih simpanan. Adapun pada masyarakat barat yang tidak memperbolehkan poligami telah menyebar perzinahan diasana dan ketidakjelasan keturunan.
Orang yang memiliki banyak kekasih dan mengingkari poligami berbuat buruk pada perempuan dan menghinakannya di sebabkan tidak adanya pertanggungjawaban yang berakibat pada pergaulan selainnya.
Telah menyebar statistik penduduk tak jelas disebabkan oleh pelarangan poligami. Padahal poligami dalam islam untuk memuliakan wanita dan memberikan hak-hak nya sebagai istri atau istri yang laindan dia mampu serta terhormat dimata masyarakat, dan istri bertanggung jawab mewujudkan kehormatan ini dan penilaian baginya..
Jumat, 28 Mei 2010
di 20.53
TENTANG PERKARA GUGATAN WASIAT
PUTUSAN PA No.14/Pdt.G/1997/PA.Kp; PTA No.05/Pdt.G/1997/PTA-Kupang MA No : 145K/AG/1998
A. Pendahuluan
Wasiat menurut para ahli hukum Fikih Islam ialah pemberian hak (kepada seorang atau badan) untuk memiliki atau memanfaatkan sesuatu, yang ditangguhkan pemberian hak tersebut setelah pemiliknya meninggal, tanpa disertai imbalan atau penggantian apapun dari pihak yang menerima pemberian hak itu. Hukum membuat wasiat itu wajib, apabila bersangkutan dengan tanggungan seseorang kepada Allah, misalnya zakat dan nazar.
B. Seputar Wasiat
1. Pengertian Wasiat
Secara bahasa, wasiat artinya berpesan. Kata wasiat disebut dalam al-Qur’an sebanyak 9 kali. Dalam bentuk kata kerja, wasiat disebut 14 kali, dan dalam bentuk kata benda jadian disebut 2 kali. Seluruhnya disebut dalam al-Qur’an sebanyak 25 kali .
Kompilasi Hukum Islam mendefinisikan wasiat sebagai berikut : “Pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia” (psl 171 huruf f KHI).
Didalam terminologi hukum perdata positif, sering disebut dengan istilah testatement. Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan prinsipal antara wasiat menurut hukum Islam dan testatement, terutama menyangkut kriteria dan persyaratannya. Kompilasi mencoba mengambil jalan tengah, yaitu meskipun wasiat merupakan transaksi tabarru’, agar pelaksanaannya mempunyai kekuatan hukum, perlu ditata sedemikian rupa, agar diperoleh ketertiban dan kepastian hukum.
2. Dasar Hukum
a. al-Qur’an
•
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa (QS. Al-Baqarah, 2: 180).
•• •
Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS. Al-Baqarah, 2: 240).
b. al-sunnah
Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Ibn Abbas r.a :
Rasullullah SAW bersabda : “Bukanlah hak seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang ingin diwasiatkan bermalam (diperlambat) selama dua malam, kecuali wasiatnya telah dicatat di sisi-Nya”.
c. Ijma’
Kaum muslimin sepakat bahwa tindakan wasiat merupakan syariat Allah dan Rasul-Nya. Ijma demikian didasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an dan al-Sunnah seperti dikutip diatas .
3. Hukum Wasiat
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia tidak menegaskan status hukum wasiat itu. Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukum wasiat. Mayoritas ulama berpendapat bahwa wasiat tidak fardu ‘ain, baik kepada kedua orang tua atau kerabat yang sudah menerima warisan. Begitu juga kepada mereka yang karena sesuatu hal tidak mendapat bagian warisan . Alasannya, pertama, andaikata wasiat itu diwajibkan, niscaya Nabi SAW telah menjelaskannya nabi tidak menjelaskan masalah ini, lagi pula beliau menjelang meninggal, tidak berwasiat apa-apa. Kedua, para sahabat dalam prakteknya juga tidak melakukan wasiat. Namun menurut Sayyid Sabiq, para sahabat mewasiatkan sebagian hartanya untuk taqarruq kepada Allah. Menurut Mayoritas Ulama, kebiasaan semacam itu dinilainya sebagai ijma’ sukuti (konsensus secara tidak langsung) bahwa wasiat bukan fardhu ‘ain. Ketiga, wasiat adalah pemberian hak yang tidak wajib diserahkan pada waktu yang berwasiat meninggal dunia. Tampaknya hemat penulis, argumentasi yang diajukan Mayoritas Ulama, tidak cukup kuat meskipun rasional. Sebab bagaimanapun juga, tindakan wasiat ini akan sangat tergantung pada saat ia meninggal, mempunyai cukup harta atau tidak.
Implikasi wasiat yang dipahami Mayoritas Ulama tersebut adalah kewajiban wasiat hanya dipenuhi jika seseorang telah berwasiat. Tetapi apabila tidak berwasiat, maka tidak perlu dipenuhi. Mereka beralasan, bahwa kewajiban wasiat seperti dalam ayat, berlaku pada masa awal Islam. Ketentuan dalam QS. Al-baqarah, 2:180 telah dinasakh oleh surat an-nisa’, 4:11-12. Oleh karena itu kedua orang tua dan kerabat, baik yang menerima warisan atau tidak, telah tertutup haknya untuk menerima wasiat.
4. Syarat-syarat dan Rukun Wasiat
a. Orang yang Berwasiat
Kompilasi Hukum Islam dalam hal ini mirip dengan pendapat Hanafi dan Syafi’i dalam satu pendapatnya. Dinyatakan dalam pasal 194:
1). Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta kepada orang lain atau lembaga.
2). Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.
3). Pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal ini baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia .
b. Orang yang Menerima Wasiat
Para ulama sepakat bahwa yang berhak menerima wasiat adalah yang bukan ahli waris, dan secara hukum dapat dipandang sebagai cakap untuk memiliki suatu hak atau benda.
c. Benda yang diwasiatkan
Pada dasarnya benda yang menjadi obyek wasiat adalah benda-benda atau manfaat yang dapat digunakan bagi kepentingan manusia secara positif. Para ulama sepakat dalam masalah tersebut. Namun mereka berbeda dalam wasiat yang berupa manfaat suatu benda, sementara bendanya itu sendiri tetap menjadi pemiliknya atau keluarganya.
d. Redaksi (Sighat) Wasiat
Ibnu Rusyd mengatakan bahwa wasiat dapat dilaksanakan menggunakan redaksi yang jelas dengan kata wasiat dan bisa juga dilakukan dengan kata-kata samaran. Ini dapat ditempuh karena wasiat berbeda dengan hibah. Wasiat bisa dilakukan dengan tertulis dan tidak memerlukan jawaban secara langsung. Dalam konteks kehidupan sekarang ini, cara-cara tersebut di atas, tentu akan mengurangi kepastian hukumnya untuk mengatakan tidak ada. Untuk itu perlu diatur agar dapat dibuktikan secara otentik wasiat tersebut, yaitu dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis di hadapan dua orang saksi, atau dihadapan notaris .
Syarat orang yang diserahi menjalankan wasiat yang akhir ini ada enam, yaitu :
1. Beragama Islam. Berarti orang yang akan menjalankan wasiat itu hendaklah orang Islam.
2. Sudah balig (sampai umur)
3. Orang yang berakal
4. Orang merdeka (bukan hamba sahaya)
5. Amanah (dapat dipercaya)
6. Cakap untuk menjalankan sebagaimana yang dikehendaki oleh yang berwasiat .
Yang tidak boleh menerima wasiat :
Uraian-uraian terdahulu secara implisit telah menunjukkan siapa yang tidak boleh menerima wasiat. Intinya yaitu ahli waris yang telah menerima bagian warisan, ia tidak berhak menerima wasiat, karena telah menerima bagian warisan. Meskipun demikian, jika ahli warisnya menyetujui, dapat dilaksanakan. Namun menurut hemat penulis, dengan memperhatikan ketentuan hadis membatasi maksimal wasiat 1/3, maka selebihnya adalah pemberian yang bukan wasiat .
Wasiat tidak dibolehkan kepada orang yang melakukan pelayanan perawatan bagi seseorang dan kepada orang yang memberi tuntunan kerohanian sewaktu ia menderita sakit hingga meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasa.
Yang tidak boleh menerima wasiat adalah orang atau badan yang diketahui telah mempraktekkan dan menyalahgunakan tindakannya untuk kepentingan maksiat.
Batalnya Wasiat :
Kompilasi mengatur maslah ini cukup rinci, yaitu dalam pasal 197 :
1. Wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, misalnya telah membunuh pewasiat.
2. Wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu, salah satunya adalah tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai ia meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat.
3. Wasiat menjadi batal apabila barang yang diwasiatkan musnah .
Pencabutan Wasiat :
Pencabutan Wasiat telah diatur dalam kompilasi pasal 199, yaitu :
1. Pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat belum menyatakan persetujuannya tetapi kemudian menarik kembali.
2. Pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akte notaris bila wasiat terdahulu di buat secara lisan.
3. Bila wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat dicabut dengan cara tertulis dengan disaksikan dua orang saksi atau berdasarkan akte notaris.
4. Bila wasiat dibuat berdasarkan akte notaris, maka hanya dapat dicabut berdasarkan akte notaris .
Pengertian Anak Angkat :
Pertama, anak angkat adalah mengambil anak orang lain untuk diasuh dan di didik dengan penuh perhatian dan kasih sayang dan diperlakukan oleh orang tua angkatnya seperti anaknya sendiri tanpa memberi status anak kandung kepadanya.
Kedua, aanak angkat adalah mengambil anak orang lain untuk diberi status sebagai anak kandung sehingga ia berhak memakai nasab orang tua angkatnya dan mewarisi harta peninggalannya dan hak-hak lainnya sebagai hubungan anak dengan orang tua.
Hukum Anak Angkat dan Status Kemuhrimannya dalam Islam :
Nasab (keturunan pertalian darah) adalah pondasi ikatan keluarga yang paling kuat yang bias menyatukan anggota keluarganya secara permanen dengan berdasarkan pada kesamaan darah, gen dan turunan. Seorang anak adalah bagian dari bapaknya dan begitu pula seorang bapak adalah bagian dari anaknya.
Ikatan nasab adalah ikatan keluarga yang sangat kokoh dan mempunyai ikatan yang sangat kuat karena dengannya lahirlah perasaan sayang dan rasa memiliki antara anggotanya. Oleh karena itu, Allah telah mengkokohkan keberadaan manusia dengan nasab sebagaimana disebutkan dalam firmanNya :
“Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan Tuhanmu Maha Kuasa”(Qs : al-Furqon : 54).
Oleh karena itu, Islam melarang seorang bapak untuk mengingkari penisbatan anaknya kepadanya, dan melarang seorang Ibu untuk menisbatkan anaknya kepada orang yang bukan bapaknya. Begitu pula Islam melarang menisbatkan anak-anak kepada yang bukan bapaknya.
Hubungan Anak Angkat :
Hubungan anak angkat dengan orang tua angkat dan keluarganya tetap seperti sebelum diadopsi, yang tidak mempengaruhi kemahraman dan kewarisan, baik anak itu diambil dari intern kerabat sendiri, seperti di Jawa, kebanyakan kemenakan sendiri diambil sebagai anak angkatnya, maupun diambil dari luar lingkungan kerabat .
Namun, melihat hubungan yang sangat akrab antar anak angkat dan orang tau angkat, sehingga merupakan suatu kesatuan keluarga yang utuh yang diikat oleh rasa kasih sayang yang murni, dan memperhatikan pula pengabdian dan jasa anak angkat terhadap rumah tangga orang tua angkat termasuk kehidupan ekonominya, maka sesuai dengan asas keadilan yang dijunjung tinggi oleh Islam, secara moral orang tua angkat dituntut memberi hibah atau wasiat sebagian hartanya untuk kesejahteraan anak angkatnya. Dan apabila orang tua angkat waktu masih hidup lalai memberi hibah atau wasiat kepada anak angkat, maka seyogianya ahli waris orang tua angkatnya bersedia memberi hibah yang pantas dari harta peninggalan orang tua angkat yang sesuai dengan pengabdian dan jasa anak angkat.
Demikian pula hendaknya anak angkat yang telah mampu mandiri dan sejahtera hidupnya, bersikap etis dan manusiawi terhadap orang tua angkatnya dengan memberi hibah atu wasiat untuk kesejahteraan orang tua angkatnya yang telah berjasa membesarkan dan mendidiknya. Dan kalau anak angkat lalai memberi hibah atau wasiat untuk orang tua angkatnya, maka hendaknya ahli waris anak angkat hendaknya mau memberi hibah yang layak dari harta warisan anak angkat untuk kesejahteraan orang tua angkatnya.
Sikap orang tua angkat/ahli warisnya dan sebaiknya dengan pendekatan hibah atau wasiat sebagaimana diuraikan di atas, selain sesuai dengan asas keadilan Islam, juga untuk menghindari konflik antara orang tua angkat/ahli warisnya dan anak angkat/ahli warisnya, apalagi kalau mereka yang bersangkutan menuntut pembagian harta warisan menurut hukum adat yang belum tentu mencerminkan rasa keadilan menurut pandangan Islam.
C. PEMBAHASAN
1. Tentang Duduk Perkaranya
Pengadilan Agama Kupang yang mengadili perkara perdata Gugatan Surat Wasiat dalam tingkat pertama telah menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perkara antara :
1. Yusuf Jafar alias La Subu, umur 55 tahun, Agama Islam, Pekerjaan Poja Masjid “Al-Ikhlas” Bonipoi, bertempat tinggal di Jalan Elang, Nomor 22, RT.04/RW 11 Kelurahan Bonipoi, Kecamatan Kelapa Lima, Kodya Dati II Kupang selanjutnya disebut sebagai PENGGUGAT;
2. Ibrahim Husen La Yusuf, pekerjaan Wiraswasta, bertempat tinggal di Kelurahan Bonipoi, Kecamatan Kelapa Lima, Kodya Dati II Kupanng disebut sebagai TERGUGAT I;
3. Rudiah binti Husen La Yusuf, pekerjaan tidak ada, bertempat tinggal di Kelurahan Bonipoi, Kecamatan Kelapa Lima, Kodya Dati II Kupang disebut sebagai TERGUGAT II;
4. Saudah binti Husen La Yusuf, pekerjaan tidak ada, bertempat tinggal di Kelurahan Bonipoi, Kecamatan Kelapa Lima, Kodya Dati II Kupang disebut sebagai TERGUGAT III;
5. Asnawi bin Husen La Yusuf, pekerjaan Wiraswasta, bertempat tinggal di Kelurahan Bonipoi, Kecamatan Kelapa Lima, Kodya Dati II Kupang disebut sebagai TERGUGAT IV;
6. Gazali bin Husen La Yusuf, pekerjaan Wiraswasta, bertempat tinggal di Kelurahan Bonipoi, Kelapa Lima, Kodya Dati II Kupang disebut sebagai TERGUGAT V;
7. Nona binti Husen La Yusuf, pekerjaan tidak ada, bertempat tinggal di Kelurahan Bonipoi, Kecamatan Kelapa Lima, Kodya Dati II Kupang disebut sebagai TERGUGAT VI;
Dalam perkara ini para Tergugat memberikan Kuasa kepada :
1. Stefanus Matutina, SH
2. Henhany K. Ngebu, SH
Menimbang, bahwa Pengggugat berdasarkan gugatannya tertanggal 2 Mei 1997, yang didaftarkan di kepaniteraan Pengadilan Agama Kupang dengan Nomor : 14/Pdt.G/1997/PA.KP tanggal 2 Mei 1997, mengajukan hal-hal sebagai berikut :
- Bahwa, pada tahun 1995, Penggugat diangkat oleh YUSUF NOOR (almarhum) menjadi anak angkat almarhum;
- Bahwa, sebelum almarhum YUSUF NOOR, meninggal dunia, memberikan surat wasiat penyeraha Hak Milik tertanggal 18 Maret 1968 yang diketahui oleh Kepala Desa Bonipoi dan dikuatkan oleh Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah Kupang kepada Penggugat (selaku penerima wasiat terakhir yakni setelah FATMAH YUSUF NOOR meninggal);
Dan di antaranya isi surat wasiat adalah sebagai berikut :
Bahwa, bilamana saya meninggal dunia, maka rumah yang dibangunkan oleh jerih payah istri saya FATMAH YUSUF NOOR yang kini didiami oleh pihak pertama dan pihak kedua terletak dalam desa Bonipoi, Kecamatan Kota Kupang diatas tanah Negara beserta isinya menjadi milik pihak kedua (FATMAH YUSUF NOOR);
- Bahwa, bilamana pihak ke satu dan kedua (FATMAH YUSUF NOOR) meningga dunia, maka apa yang tersebut dalam surat wasiat penyerahan Hak milik menjadi milik YUSUF JAFAR alias LA SUBU (Penggugat);
- Bahwa, setelah FATMAH YUSUF NOOR meninggal dunia, maka rumah tersebut diatas dibongkar oleh Bapak ABD SYUKUR MUIN WARSO selaku wakil Imam Masjid Al-Ikhlas Bonipoi Kupang pada tahun 1991, dengan maksud diperbaiki, tetapi dicegah oleh para Tergugat, sehingga tidak dapat dilanjutkan;
- Bahwa, atas tindakan para Tergugat tersebut, maka Penggugat sangat menderita dan terlantar karena tidak punya tempat tinggal sampai saat ini;
- Bahwa, berdasarkan keterangan yang pengggugat kemukakan diatas, Penggugat mohon kepada Pengadilan Agama Kupang untuk memanggil para pihak dalam perkara ini untuk menyidangkan selanjutnya memberikan keputusan sebagai berikut :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya;
2. Menyatakan secara Hukum untuk menguatkan surat Wasiat Penyerahan Hak Milik kepada Penggugat yang dibuat pada tanggal 16 Maret 1968, yang dikuatkan oleh Pengadilan Agama Kupang;
3. Menyatakan bahwa Penggugat adalah benar-benar tidak mampu membayar ongkos biaya yang timbul akibat perkara ini, berdasarkan surat keterangan tidak mampu Nomor : 112/465/IV/97, tanggal 15 April 1997 yang di keluarkan oleh Kelurahan Bonipoi Kupanng;
4. Menghukum para Tergugat untuk membayar ongkos biaya yang timbul akibat perkara ini;
2. Pertimbangan
Bahwa, para Penggugat menyangkal semua dalil yang dikemukakan oleh pihak Penggugat dalam gugatannya, kecuali hal-hal yang secara tegas diakui kebenarannya oleh para Tergugat sendiri;
Bahwa, Penggugat bukanlah anak angkat dari almarhum YUSUF NOOR, karena pengangkatan seorang anak haruslah dibuktikan dengan akta Pengangkatan anak sebagaimana yang disyaratkan oleh Hukum dan perundang-undangan;
Bahwa, surat wasiat sebagai obyek sengketa dalam perkara ini harus diduga sebagai palsu, karena pemberi wasiat almarhum YUSUF NOOR semasa hidupnya tidak dapat membuktikan tanda tangan apalagi tanda tangan yang mirip huruf Arab, karena ia tidak pernah bersekolah dan satu-satunya anak almarhum YUSUF NOOR adalah HUSEIN LA YUSUF NOOR (ayah kandung para Tergugat) yang berdiam di Kupang tidak pernah mengetahui tentang wasiat ini;
Bahwa, barang-barang yang disebutkan dalam surat wasiat adalah merupakan harta bersama antara almarhum YUSUF NOOR dengan istri pertamanya yang bernama MAIMUNAH, (almarhum Ibu Kandung Husein La Yusuf) maka harta bersama itu menjadi hak bersama dari almarhum YUSUF NOOR dengan anaknya HUSEIN YUSUF NOOR, oleh karena itu maka jika benar ada surat wasiat, maka surat itu tidak sah dan harus batal demi Hukum karena dibuat tanpa sepengetahuan dari HUSEN LA YUSUF ayah dari para Tergugat;
Dan disebutkan dalam surat wasiat itu bahwa HUSEN LA YUSUF sebagai pihak ke-4, namun mengapa tidak diikut sertakan menanda tangani surat wasiat itu sebagai para pihak? Hal ini menunjukkan bahwa wasiat tersebut adalah rekayasa pihak tertentu untuk mengambil alih barang milik almarhum YUSUF NOOR dan HUSEN LA YUSUF;
Bahwa, jika menyimak isi surat wasiat tersebut, maka barang yang diwasiatkan adalah sebuah rumah darurat dan sama sekali tidak menyinggung tanah/tidak termasuk tanahnya, maka setelah rumah tersebut tiada, tanah tersebut menjadi milik dari ayah para Tergugat HUSEN LA YUSUF yang selanjutnya diuraikan kepada para Tergugat sekarang ini;
Menimbang, bahwa Penggugat menguatkan gugatannya dengan mengajukan alat-alat bukti berupa :
1. Kartu Penduduk Nomor : 1098.03.71.1007 yang dikeluarkan oleh lurah Kelurahan Monipoi (Bukti P1);
2. Surat Wasiat penyerahan Hak Milik yang dibuat pada tanggal 16 Maret 1968 yang telah diketahui oleh Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah Kupang (Bukti P2);
3. Surat tanda pembayaran IPEDA tahun 1982 (Bukti P3);
Menimbang, selain bukti-bukti berupa surat-surat, Penggugat juga telah menghadirkan dua orang saksi di muka sidang dan telah memberikan keterangan sebagai berikut :
SAKSI I : ABDUL SYUKUR MUIN WARSO, Umur 69 tahun, Agama Islam, pekerjaan Pensiunan PNS, bertempat tinggal di Kelurahan Bonipoi, Kecamatan Kelapa Lima, Kodya Dati II Kupang, di bawah sumpah pada Pokoknya saksi menerangkan sebagai berikut :
Bahwa, benar saksi kenal dengan almarhum YUSUF NOOR, almarhum FATMAH YUSUF NOOR dan almarhum HUSEN YUSUF;
Bahwa, benar di saat YUSUF NOOR masih hidup membuat surat wasiat Penyerahan Hak Milik kepada FATMAH YUSUF NOOR, sebagai pihak kedua, dan kepada YUSUF JAFAR alias LA SUBU sebagai pihak ketiga, yang dibuat pada tanggal 10 Maret 1968, yang diketahui oleh Kepala Desa Bonipoi, dan dikuatkan oleh Kepala Desa Bonipoi, dan dikuatkan oleh Kepala Kantor Pengadilan Agama Kupang, dan saksi juga memenarkan bahwa dia ikut serta membubukan tanda tangan sebagai saksi kedua dalam surat wasiat tersebut;
SAKSI II : HAMZAH bin ISHAK, umur 55 tahun, Agama Islam, pekerjaan PNS, bertempat tingga di Jalan Kampung Baru Nomor 1 Kelurahan Delete, Kecamatan Oebobo, Kodya Dati II Kupang, di bawah sumpah pada pokoknya saksi menerangkan sebagai berikut :
Bahwa, benar saksi kenal dengan penggugat sejak lama dan kenal pula dengan almarhum YUSUF NOOR, almarhum FATMAH YUSUF NOOR, almarhum HUSEN YUSUF;
Bahwa, benar saat alamrhum YUSUF NOOR masih hidup pernah membuat surat wasiat penyerahan Hak Milik yang dibuat pada tanggal 16 Maret 1968, yang dimintakan pengesahannya pada Kantor Pengadilan Agama Kupang atau Mahkamah Syari’ah Kupang;
Bahwa, saksi mengakui dan membenarkan tanda tangan saksi yang dibubuhkan dalam surat wasiat selaku pejabat Kepala Kantor Pengadilan Agama Kupang/Mahkamah Syari’ah;
Bahwa, benar surat wasiat Penyerahana Hak Milik yang dibuat oleh YUSUF NOOR pada tanggal 16 Maret 1968 itu adalah sah dan mempunyai kekuatan Hukum, karena telah sesuai dengan prosedur yang berlaku;
Bahwa, benar penyerahan terhadap surat wasiat Penyerahan Hak Milik yang dibuat oleh YUSUF NOOR pada tanggal 16 Maret 1968 adalah sudah tepat, karena hal tersebut adalah merupakan kewenangan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah sesuai dengan Stablat 1882;
Menimbang, bahwa kemudian Hakim memberikan kesempatan kepada kedua belah bermusyawarah untuk menempuh jalan damai tetapi tidak berhasil dan memohon agar Pengadilan Agama Kupang menjatuhkan Putusannya;
Menimbang, bahwa tentang jalannya pemeriksaan lebih jauh dipersidangan semuanya telah dicatat di dalam berita acara persidangan, sehingga untuk mempersingkat cukuplah kiranya Hakim menunjuk kepada Berita Acara tersebut;
3. Tentang Hukumnya
Menimbang, bahwa perkara ini termasuk dalam kewenangan Pengadilan Agama Kupang;
Menimbang, bahwa Penggugat yang mengajukan gugatan dengan Prodeo telah dapat menunjukkan surat keterangan tidak mampu Nomor : 112/465/IV/1997, yang dikeluarkan oleh Lurah Bonipoi dan telah disahkan oleh Camat Kelapa Lima dan pihak Tergugat menyatakan tidak keberatan bahwa Penggugat beracara dengan Prodeo, maka permohonan perkara dengan Prodeo tersebut dapat dikabulkan sesuai dengan ketentuan pasal 237, 239 ayat (3) HIR jonto pasal 274 ayat (3) Rbg.;
Menimbang bahwa maksud dan tujuan gugatan Pengggugat pada pokoknya adalah sebagaimana telah diuraikan tersebut diatas;
Menimbang, bahwa tergugat melalui Kuasanya memberikan jawaban dalam eksepsi yang menyatakan bahwa Pengadilan Agama tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara perdata ini karena yang menjadi obyek sengketa merupakan perdata murni adalah tidak beralasan maka haruslah ditolak, karena tidak sesuai dengan ketentuan pasal 49 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor : 7 tahun 1989;
Menimbang, bahwa Tergugat melalui Kuasanya memberikan jawaban dalam pokok perkara yang pada dasarnya telah dapat mengakui adanya surat wasiat Penyerahan Hak Milik yang dibuat oleh almarhum YUSUF NOOR pada tanggal 16 Maret 1968 tersebut;
Menimbang, berdasarkan keterangan-keterangan di bawah sumpah dari saksi-saksi yang diajukan oleh Penggugat telah membuktikan kebenaran hal-hal yang dikemukakan oleh Penggugat;
Menimbang, bahwa surat wasiat Penyerahan Hak Milik yang dibuat oleh YUSUF NOOR pada tanggal 16 Maret 1968 adalah disaksikan lebih dari dua orang saksi, hal ini telah sesuai dengan ketentuan pasal 195 ayat (1) yonto pasal 196 Instruksi RI Nomor 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam;
Mengingat dalil Hujah Syari’ah yang disebutkan di dalam kitab Tanwirul Qulub halaman 333 yang berbunyi :
Artinya : Dan tidak boleh tidak (harus) i’tibar Wasiat itu haruslah datang dua orang saksi yang adil.
Menimbang, bahwa berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka Hakim berpendapat bahwa gugatan Penggugat dapat dikabulkan;
Memperhatikan pasal 237, 239 ayat (3) HIR Jo pasal 274 ayat (3) Rbg, pasal 49 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 dan pasal 195 ayat (1) jo pasal 196 Kompilasi Hukum Islam;
Mengingat segala ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan Hujjah Syari’ah yang berkaitan dengan perkara ini;
Mengingat pula surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor : 1/TUADA-AG/III-UM/1996, tanggal 15 April 1996 tentang perpanjangan Izin siding dengan Hakim Tunggal.
4. Menetapkan
1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya;
2. Menyatakan secara Hukum bahwa surat wasiat Penyerahan Hak Milik yang dibuat oleh almarhum YUSUF NOOR pada tanggal 16 Maret 1968 sah dan berharga;
3. Menetapkan bahwa penerima wasiat YUSUF JA’FAR alias LA SUBU berhak sepenuhnya terhadap isi wasiat tersebut di atas;
4. Membebaskan Penggugat dari biaya yang timbul akibat perkara ini;
5. Menghukum kepada para Tergugat untuk membayar semua biaya yang timbul dari akibat perkara ini yang hingga kini dihitung sebesar Rp. 82.000,- (delapan puluh dua ribu rupiah).
5. Analisis Penulis
Kesimpulan
Dari penjabaran perkara perdata gugatan surat wasiat tersebut di atas dan berdasarkan apa yang telah dipertimbangkan oleh putusan Hakim Pengadilan Agama Kupang yang menyatakan bahwa gugatan Penggugat (yaitu Yusuf Jafar alias La Subu) dapat dikabulkan seluruhnya. Dan Pengadilan Agama juga menyatakan secara Hukum bahwa Surat Wasiat Penyerahan Hak Milik yang dibuat oleh almarhum Yusuf Noor pada tanggal 16 Maret 1968 adalah sah dan berharga. Maka kami (penulis) pun berpendapat bahwa putusan Hakim Pengadilan Agama Kupang adalah benar dan menyetujui keputusan tersebut. Hal ini karena keputusan Hakim Pengadilan Agama Kupang telah sesuai Hukum Islam dan Ketentuan-ketentuan yang berlaku. Meskipun pada kenyataan para Tergugat lewat kuasa hukumnya telah mengajukan eksepsi penolakan dan menyatakan banding terhadap keputusan tersebut dengan alasan bahwa Pengadilan Agama Kupang tidak berhak mengadili perkara ini, karena objek perkara mengandung sengketa milik (sebuah rumah yang berdiri di atas tanah Negara), dan bahwa Penggugat tidak dapat membuktikan bahwa ia adalah benar anak angkat dari almarhum (Yusuf Noor) selain itu menurut pihak Tergugat bahwa surat wasiat itu palsu karena menurut sepengetahuan mereka bahwa kakek mereka tidak bersekolah. Selain daripada itu ayah mereka (Husen Yusuf) pun tidak mengetahui tentang adanya wasiat tersebut, hal ini terbukti dengan tidak adanya tanda tangan beliau dalam surat wasiat tersebut.
Sebenarnya wasiat menurut para ahli Hukum Fiqih Islam ialah “pemberian hak (kepada orang atau badan) untuk memiliki atau memanfaatkan sesuatu, yang ditangguhkan pemberian hak tersebut setelah pemiliknya meninggal, dan tanpa disertai imbalan atau penggantian apapun dari pihak yang menerima pemberian itu.”
Sehubungan dengan kasus di atas, maka menurut penulis tindakan eksepsi (penolakan) dari ahli waris (tergugat) dalam hal ini cucu-cucu dari si pemberi warisan (atas nama Yusuf Noor) adalah tidak dapat dibenarkan. Tindakan almarhum Yusuf Noor (pemberi wasiat) maupun Yusuf Jaffar alias La Subu (penerima wasiat) sebenarnya telah sesuai dengan rukun wasiat, yaitu :
- Adanya orang yang berwasiat dan atas kehendak sendiri juga tidak dengan jalan yang maksiat, artinya atas dasar berbuat kebaikan,
- Adanya yang menerima wasiat (mausilah), untuk hal ini tidak tergantung kepada siapa dan tidak mesti anak kandung atau pun anak angkat, karena berwasiat kepada badan atau lembaga pun diperbolehkan,
- Adanya sesuatu yang diwasiatkan, disyaratkan dapat berpindah milik dari seseorang kepada orang lain,
- Adanya lafaz (kalimat) wasiat, yaitu kalimat yang dapat dipahami untuk wasiat.
Selain itu untuk lebih menguatkan dan terjaminnya wasiat tersebut maka sewaktu pengakad-an wasiat tersebut telah pula dipersaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang yang adil dan terpercaya sehingga dapat membuktikan kebenarannya. Hal ini sesuai dengan dalil Hujah Syar’iah yang disebutkan dalan kitab Tanwirul Qulub hlm. 333, yang artinya : “Dan tidak boleh tidak (harus) I’tibar Wasiat it haruslah datang dari dua orang saksi yang adil.”
Berdasarkan pernyataan para saksi pula dalam kasus ini, Sidang Pengadilan Tinggi Agama telah menyatakan bahwa wasiat tersebut benar-benar telah terjadi dan si pewasiat (Yusuf Noor) benar telah menanda tangani surat wasiat di rumahnya, mengingat almarhum pewasiat adalah orang yang ahli ibadah dan pandai mengaji (membaca huruf al-Qur’an).
Demikian juga karena rukun dan syarat sahnya suatu wasiat menurut Hukum Islam tidak mengharuskan adanya persetujuan pada ahli waris dan wasiat hanya ditujukan kepada orang yang bukan ahli waris. Adapun kepada ahli waris, wasiat tidak sah, kecuali apabila diridhoi oleh semua ahli waris yang lain sesudah meninggalnya yang berwasiat.
Selain itu sebanyak-banyaknya wasiat adalah sepertiga dari harta, tidak boleh lebih, kecuali apabila diizinkan oleh semua ahli waris sesudah orang yang berwasiat itu meninggal. Sabda Rasulullah saw, yaitu :
“Dari Ibnu Abbas, Ia berkata, “Alangkah baiknya jika Manusia mengurangi wasiat mereka dari sepertiga ke seperempat. Karena sesungguhnya Rasulullah saw. telah bersabda, ‘Wasiat itu sepertiga, sedangkan sepertiga itu sudah banyak.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Dan dalam kasus ini harta yang diwasiatkan itu tidak melebihi 1/3 dari harta si pewaris. Hal ini berdasarkan pada berita acara sidang Pengadilan Agama tingkat Pertama pada tanggal 7 Juni 1997, dan berdasarkan berita acara pemeriksaaan sidang Pengadilan Tinggi Agama Kupang tanggal 23 Oktober 1997 dan berdasarkan pula pada surat wasiat tertanggal 16 Maret 1968 diperoleh bukti bahwa selain barang-barang perkakas rumah tangga, Yusuf Noor (pewasiat) juga mewasiatkan rumah darurat di atas tanah pekarangan 5 x 6 m (rumah induk) dan di belakangnya terdapat dapur di atas tanah ukuran 7 x 3 m di Desa/Kelurahan Bonipoi Kupang, dengan luas tanah seluruhnya 51 m2. Sementara luas tanah seluruhnya dari Yusuf Noor(pewasiat) adalah 531 m2, sedangkan berdasarkan bukti Tergugat/Pembanding (atas nama Ibrahim Husein La Yusuf sebagai anak pertama Husen Yusuf) telah menerima pembagian tanah seluas 78 m2, sementara Tergugat/Pembanding-Pembanding lain mendapatkan sisa jatah tanah seluas 402m2 secara berserikat (531 m2 – (51 m2 + 78 m2 = 129 m2) = 402 m2). Sisa tanah tersebut berdasarkan bukti (surat wasiat) telah diwariskan kepada Husin Yusuf Noor (ayah Tergugat/Pembanding) beserta sebuah rumah untuk tempat tinggal bersama anak-anaknya.
Berdasarkan kenyataan tersebut maka dalam kasus ini penulis membenarkan hasil keputusan Pengadilan Agama Kupang tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Barkah, Qadariah. 2006. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Fakultas Syari’ah IAIN Raden Fatah: Palembang
Nur, Djamaan. 1993. Fiqh Munakahat. Dina Utama: Semarang
Rasjid, Sulaiman. 1994. Fiqh Islam. Sinar Baru Algesindo: Bandung
Zuhdi, Mastjfuk.1993. Studi Muamalah. Cet. III. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta
http://localhost.htm. Hukum Anak Angkat dan Status Kemuhrimannya Dalam Islam. Diakses : 22 Jan 08 : 06.05. Download : 10 Mei 2010
http://kafemuslmah.com. Hak dan Kewajiban Anak Angkat. Diakses : Senin, 26 Juli 2004. Download : 10 Mei 2010
TINJAUAN ATAS :
PUTUSAN PENGADILAN AGAMA KUPANG No. 14/Pdt.G/1997/PA. Kp
PUTUSAN PENGADILAN TINGGI AGAMA KUPANG
No. 05/Pdt.G/1997/PTA KUPANG
DAN PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO : 145K/AG/1998
TENTANG PERKARA GUGATAN WASIAT
Tugas Pada Mata Kuliah
YURISPRUDENSI HUKUM ISLAM
Disusun Oleh :
Nopiraningrum (090201077)
Dosen Pengampuh :
Prof. DR. Cholidi Zainuddin, MA.
PROGRAM PASCA SARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
2010
PUTUSAN PA No.14/Pdt.G/1997/PA.Kp; PTA No.05/Pdt.G/1997/PTA-Kupang MA No : 145K/AG/1998
A. Pendahuluan
Wasiat menurut para ahli hukum Fikih Islam ialah pemberian hak (kepada seorang atau badan) untuk memiliki atau memanfaatkan sesuatu, yang ditangguhkan pemberian hak tersebut setelah pemiliknya meninggal, tanpa disertai imbalan atau penggantian apapun dari pihak yang menerima pemberian hak itu. Hukum membuat wasiat itu wajib, apabila bersangkutan dengan tanggungan seseorang kepada Allah, misalnya zakat dan nazar.
B. Seputar Wasiat
1. Pengertian Wasiat
Secara bahasa, wasiat artinya berpesan. Kata wasiat disebut dalam al-Qur’an sebanyak 9 kali. Dalam bentuk kata kerja, wasiat disebut 14 kali, dan dalam bentuk kata benda jadian disebut 2 kali. Seluruhnya disebut dalam al-Qur’an sebanyak 25 kali .
Kompilasi Hukum Islam mendefinisikan wasiat sebagai berikut : “Pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia” (psl 171 huruf f KHI).
Didalam terminologi hukum perdata positif, sering disebut dengan istilah testatement. Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan prinsipal antara wasiat menurut hukum Islam dan testatement, terutama menyangkut kriteria dan persyaratannya. Kompilasi mencoba mengambil jalan tengah, yaitu meskipun wasiat merupakan transaksi tabarru’, agar pelaksanaannya mempunyai kekuatan hukum, perlu ditata sedemikian rupa, agar diperoleh ketertiban dan kepastian hukum.
2. Dasar Hukum
a. al-Qur’an
•
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa (QS. Al-Baqarah, 2: 180).
•• •
Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS. Al-Baqarah, 2: 240).
b. al-sunnah
Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Ibn Abbas r.a :
Rasullullah SAW bersabda : “Bukanlah hak seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang ingin diwasiatkan bermalam (diperlambat) selama dua malam, kecuali wasiatnya telah dicatat di sisi-Nya”.
c. Ijma’
Kaum muslimin sepakat bahwa tindakan wasiat merupakan syariat Allah dan Rasul-Nya. Ijma demikian didasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an dan al-Sunnah seperti dikutip diatas .
3. Hukum Wasiat
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia tidak menegaskan status hukum wasiat itu. Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukum wasiat. Mayoritas ulama berpendapat bahwa wasiat tidak fardu ‘ain, baik kepada kedua orang tua atau kerabat yang sudah menerima warisan. Begitu juga kepada mereka yang karena sesuatu hal tidak mendapat bagian warisan . Alasannya, pertama, andaikata wasiat itu diwajibkan, niscaya Nabi SAW telah menjelaskannya nabi tidak menjelaskan masalah ini, lagi pula beliau menjelang meninggal, tidak berwasiat apa-apa. Kedua, para sahabat dalam prakteknya juga tidak melakukan wasiat. Namun menurut Sayyid Sabiq, para sahabat mewasiatkan sebagian hartanya untuk taqarruq kepada Allah. Menurut Mayoritas Ulama, kebiasaan semacam itu dinilainya sebagai ijma’ sukuti (konsensus secara tidak langsung) bahwa wasiat bukan fardhu ‘ain. Ketiga, wasiat adalah pemberian hak yang tidak wajib diserahkan pada waktu yang berwasiat meninggal dunia. Tampaknya hemat penulis, argumentasi yang diajukan Mayoritas Ulama, tidak cukup kuat meskipun rasional. Sebab bagaimanapun juga, tindakan wasiat ini akan sangat tergantung pada saat ia meninggal, mempunyai cukup harta atau tidak.
Implikasi wasiat yang dipahami Mayoritas Ulama tersebut adalah kewajiban wasiat hanya dipenuhi jika seseorang telah berwasiat. Tetapi apabila tidak berwasiat, maka tidak perlu dipenuhi. Mereka beralasan, bahwa kewajiban wasiat seperti dalam ayat, berlaku pada masa awal Islam. Ketentuan dalam QS. Al-baqarah, 2:180 telah dinasakh oleh surat an-nisa’, 4:11-12. Oleh karena itu kedua orang tua dan kerabat, baik yang menerima warisan atau tidak, telah tertutup haknya untuk menerima wasiat.
4. Syarat-syarat dan Rukun Wasiat
a. Orang yang Berwasiat
Kompilasi Hukum Islam dalam hal ini mirip dengan pendapat Hanafi dan Syafi’i dalam satu pendapatnya. Dinyatakan dalam pasal 194:
1). Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta kepada orang lain atau lembaga.
2). Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.
3). Pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal ini baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia .
b. Orang yang Menerima Wasiat
Para ulama sepakat bahwa yang berhak menerima wasiat adalah yang bukan ahli waris, dan secara hukum dapat dipandang sebagai cakap untuk memiliki suatu hak atau benda.
c. Benda yang diwasiatkan
Pada dasarnya benda yang menjadi obyek wasiat adalah benda-benda atau manfaat yang dapat digunakan bagi kepentingan manusia secara positif. Para ulama sepakat dalam masalah tersebut. Namun mereka berbeda dalam wasiat yang berupa manfaat suatu benda, sementara bendanya itu sendiri tetap menjadi pemiliknya atau keluarganya.
d. Redaksi (Sighat) Wasiat
Ibnu Rusyd mengatakan bahwa wasiat dapat dilaksanakan menggunakan redaksi yang jelas dengan kata wasiat dan bisa juga dilakukan dengan kata-kata samaran. Ini dapat ditempuh karena wasiat berbeda dengan hibah. Wasiat bisa dilakukan dengan tertulis dan tidak memerlukan jawaban secara langsung. Dalam konteks kehidupan sekarang ini, cara-cara tersebut di atas, tentu akan mengurangi kepastian hukumnya untuk mengatakan tidak ada. Untuk itu perlu diatur agar dapat dibuktikan secara otentik wasiat tersebut, yaitu dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis di hadapan dua orang saksi, atau dihadapan notaris .
Syarat orang yang diserahi menjalankan wasiat yang akhir ini ada enam, yaitu :
1. Beragama Islam. Berarti orang yang akan menjalankan wasiat itu hendaklah orang Islam.
2. Sudah balig (sampai umur)
3. Orang yang berakal
4. Orang merdeka (bukan hamba sahaya)
5. Amanah (dapat dipercaya)
6. Cakap untuk menjalankan sebagaimana yang dikehendaki oleh yang berwasiat .
Yang tidak boleh menerima wasiat :
Uraian-uraian terdahulu secara implisit telah menunjukkan siapa yang tidak boleh menerima wasiat. Intinya yaitu ahli waris yang telah menerima bagian warisan, ia tidak berhak menerima wasiat, karena telah menerima bagian warisan. Meskipun demikian, jika ahli warisnya menyetujui, dapat dilaksanakan. Namun menurut hemat penulis, dengan memperhatikan ketentuan hadis membatasi maksimal wasiat 1/3, maka selebihnya adalah pemberian yang bukan wasiat .
Wasiat tidak dibolehkan kepada orang yang melakukan pelayanan perawatan bagi seseorang dan kepada orang yang memberi tuntunan kerohanian sewaktu ia menderita sakit hingga meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasa.
Yang tidak boleh menerima wasiat adalah orang atau badan yang diketahui telah mempraktekkan dan menyalahgunakan tindakannya untuk kepentingan maksiat.
Batalnya Wasiat :
Kompilasi mengatur maslah ini cukup rinci, yaitu dalam pasal 197 :
1. Wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, misalnya telah membunuh pewasiat.
2. Wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu, salah satunya adalah tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai ia meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat.
3. Wasiat menjadi batal apabila barang yang diwasiatkan musnah .
Pencabutan Wasiat :
Pencabutan Wasiat telah diatur dalam kompilasi pasal 199, yaitu :
1. Pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat belum menyatakan persetujuannya tetapi kemudian menarik kembali.
2. Pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akte notaris bila wasiat terdahulu di buat secara lisan.
3. Bila wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat dicabut dengan cara tertulis dengan disaksikan dua orang saksi atau berdasarkan akte notaris.
4. Bila wasiat dibuat berdasarkan akte notaris, maka hanya dapat dicabut berdasarkan akte notaris .
Pengertian Anak Angkat :
Pertama, anak angkat adalah mengambil anak orang lain untuk diasuh dan di didik dengan penuh perhatian dan kasih sayang dan diperlakukan oleh orang tua angkatnya seperti anaknya sendiri tanpa memberi status anak kandung kepadanya.
Kedua, aanak angkat adalah mengambil anak orang lain untuk diberi status sebagai anak kandung sehingga ia berhak memakai nasab orang tua angkatnya dan mewarisi harta peninggalannya dan hak-hak lainnya sebagai hubungan anak dengan orang tua.
Hukum Anak Angkat dan Status Kemuhrimannya dalam Islam :
Nasab (keturunan pertalian darah) adalah pondasi ikatan keluarga yang paling kuat yang bias menyatukan anggota keluarganya secara permanen dengan berdasarkan pada kesamaan darah, gen dan turunan. Seorang anak adalah bagian dari bapaknya dan begitu pula seorang bapak adalah bagian dari anaknya.
Ikatan nasab adalah ikatan keluarga yang sangat kokoh dan mempunyai ikatan yang sangat kuat karena dengannya lahirlah perasaan sayang dan rasa memiliki antara anggotanya. Oleh karena itu, Allah telah mengkokohkan keberadaan manusia dengan nasab sebagaimana disebutkan dalam firmanNya :
“Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan Tuhanmu Maha Kuasa”(Qs : al-Furqon : 54).
Oleh karena itu, Islam melarang seorang bapak untuk mengingkari penisbatan anaknya kepadanya, dan melarang seorang Ibu untuk menisbatkan anaknya kepada orang yang bukan bapaknya. Begitu pula Islam melarang menisbatkan anak-anak kepada yang bukan bapaknya.
Hubungan Anak Angkat :
Hubungan anak angkat dengan orang tua angkat dan keluarganya tetap seperti sebelum diadopsi, yang tidak mempengaruhi kemahraman dan kewarisan, baik anak itu diambil dari intern kerabat sendiri, seperti di Jawa, kebanyakan kemenakan sendiri diambil sebagai anak angkatnya, maupun diambil dari luar lingkungan kerabat .
Namun, melihat hubungan yang sangat akrab antar anak angkat dan orang tau angkat, sehingga merupakan suatu kesatuan keluarga yang utuh yang diikat oleh rasa kasih sayang yang murni, dan memperhatikan pula pengabdian dan jasa anak angkat terhadap rumah tangga orang tua angkat termasuk kehidupan ekonominya, maka sesuai dengan asas keadilan yang dijunjung tinggi oleh Islam, secara moral orang tua angkat dituntut memberi hibah atau wasiat sebagian hartanya untuk kesejahteraan anak angkatnya. Dan apabila orang tua angkat waktu masih hidup lalai memberi hibah atau wasiat kepada anak angkat, maka seyogianya ahli waris orang tua angkatnya bersedia memberi hibah yang pantas dari harta peninggalan orang tua angkat yang sesuai dengan pengabdian dan jasa anak angkat.
Demikian pula hendaknya anak angkat yang telah mampu mandiri dan sejahtera hidupnya, bersikap etis dan manusiawi terhadap orang tua angkatnya dengan memberi hibah atu wasiat untuk kesejahteraan orang tua angkatnya yang telah berjasa membesarkan dan mendidiknya. Dan kalau anak angkat lalai memberi hibah atau wasiat untuk orang tua angkatnya, maka hendaknya ahli waris anak angkat hendaknya mau memberi hibah yang layak dari harta warisan anak angkat untuk kesejahteraan orang tua angkatnya.
Sikap orang tua angkat/ahli warisnya dan sebaiknya dengan pendekatan hibah atau wasiat sebagaimana diuraikan di atas, selain sesuai dengan asas keadilan Islam, juga untuk menghindari konflik antara orang tua angkat/ahli warisnya dan anak angkat/ahli warisnya, apalagi kalau mereka yang bersangkutan menuntut pembagian harta warisan menurut hukum adat yang belum tentu mencerminkan rasa keadilan menurut pandangan Islam.
C. PEMBAHASAN
1. Tentang Duduk Perkaranya
Pengadilan Agama Kupang yang mengadili perkara perdata Gugatan Surat Wasiat dalam tingkat pertama telah menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perkara antara :
1. Yusuf Jafar alias La Subu, umur 55 tahun, Agama Islam, Pekerjaan Poja Masjid “Al-Ikhlas” Bonipoi, bertempat tinggal di Jalan Elang, Nomor 22, RT.04/RW 11 Kelurahan Bonipoi, Kecamatan Kelapa Lima, Kodya Dati II Kupang selanjutnya disebut sebagai PENGGUGAT;
2. Ibrahim Husen La Yusuf, pekerjaan Wiraswasta, bertempat tinggal di Kelurahan Bonipoi, Kecamatan Kelapa Lima, Kodya Dati II Kupanng disebut sebagai TERGUGAT I;
3. Rudiah binti Husen La Yusuf, pekerjaan tidak ada, bertempat tinggal di Kelurahan Bonipoi, Kecamatan Kelapa Lima, Kodya Dati II Kupang disebut sebagai TERGUGAT II;
4. Saudah binti Husen La Yusuf, pekerjaan tidak ada, bertempat tinggal di Kelurahan Bonipoi, Kecamatan Kelapa Lima, Kodya Dati II Kupang disebut sebagai TERGUGAT III;
5. Asnawi bin Husen La Yusuf, pekerjaan Wiraswasta, bertempat tinggal di Kelurahan Bonipoi, Kecamatan Kelapa Lima, Kodya Dati II Kupang disebut sebagai TERGUGAT IV;
6. Gazali bin Husen La Yusuf, pekerjaan Wiraswasta, bertempat tinggal di Kelurahan Bonipoi, Kelapa Lima, Kodya Dati II Kupang disebut sebagai TERGUGAT V;
7. Nona binti Husen La Yusuf, pekerjaan tidak ada, bertempat tinggal di Kelurahan Bonipoi, Kecamatan Kelapa Lima, Kodya Dati II Kupang disebut sebagai TERGUGAT VI;
Dalam perkara ini para Tergugat memberikan Kuasa kepada :
1. Stefanus Matutina, SH
2. Henhany K. Ngebu, SH
Menimbang, bahwa Pengggugat berdasarkan gugatannya tertanggal 2 Mei 1997, yang didaftarkan di kepaniteraan Pengadilan Agama Kupang dengan Nomor : 14/Pdt.G/1997/PA.KP tanggal 2 Mei 1997, mengajukan hal-hal sebagai berikut :
- Bahwa, pada tahun 1995, Penggugat diangkat oleh YUSUF NOOR (almarhum) menjadi anak angkat almarhum;
- Bahwa, sebelum almarhum YUSUF NOOR, meninggal dunia, memberikan surat wasiat penyeraha Hak Milik tertanggal 18 Maret 1968 yang diketahui oleh Kepala Desa Bonipoi dan dikuatkan oleh Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah Kupang kepada Penggugat (selaku penerima wasiat terakhir yakni setelah FATMAH YUSUF NOOR meninggal);
Dan di antaranya isi surat wasiat adalah sebagai berikut :
Bahwa, bilamana saya meninggal dunia, maka rumah yang dibangunkan oleh jerih payah istri saya FATMAH YUSUF NOOR yang kini didiami oleh pihak pertama dan pihak kedua terletak dalam desa Bonipoi, Kecamatan Kota Kupang diatas tanah Negara beserta isinya menjadi milik pihak kedua (FATMAH YUSUF NOOR);
- Bahwa, bilamana pihak ke satu dan kedua (FATMAH YUSUF NOOR) meningga dunia, maka apa yang tersebut dalam surat wasiat penyerahan Hak milik menjadi milik YUSUF JAFAR alias LA SUBU (Penggugat);
- Bahwa, setelah FATMAH YUSUF NOOR meninggal dunia, maka rumah tersebut diatas dibongkar oleh Bapak ABD SYUKUR MUIN WARSO selaku wakil Imam Masjid Al-Ikhlas Bonipoi Kupang pada tahun 1991, dengan maksud diperbaiki, tetapi dicegah oleh para Tergugat, sehingga tidak dapat dilanjutkan;
- Bahwa, atas tindakan para Tergugat tersebut, maka Penggugat sangat menderita dan terlantar karena tidak punya tempat tinggal sampai saat ini;
- Bahwa, berdasarkan keterangan yang pengggugat kemukakan diatas, Penggugat mohon kepada Pengadilan Agama Kupang untuk memanggil para pihak dalam perkara ini untuk menyidangkan selanjutnya memberikan keputusan sebagai berikut :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya;
2. Menyatakan secara Hukum untuk menguatkan surat Wasiat Penyerahan Hak Milik kepada Penggugat yang dibuat pada tanggal 16 Maret 1968, yang dikuatkan oleh Pengadilan Agama Kupang;
3. Menyatakan bahwa Penggugat adalah benar-benar tidak mampu membayar ongkos biaya yang timbul akibat perkara ini, berdasarkan surat keterangan tidak mampu Nomor : 112/465/IV/97, tanggal 15 April 1997 yang di keluarkan oleh Kelurahan Bonipoi Kupanng;
4. Menghukum para Tergugat untuk membayar ongkos biaya yang timbul akibat perkara ini;
2. Pertimbangan
Bahwa, para Penggugat menyangkal semua dalil yang dikemukakan oleh pihak Penggugat dalam gugatannya, kecuali hal-hal yang secara tegas diakui kebenarannya oleh para Tergugat sendiri;
Bahwa, Penggugat bukanlah anak angkat dari almarhum YUSUF NOOR, karena pengangkatan seorang anak haruslah dibuktikan dengan akta Pengangkatan anak sebagaimana yang disyaratkan oleh Hukum dan perundang-undangan;
Bahwa, surat wasiat sebagai obyek sengketa dalam perkara ini harus diduga sebagai palsu, karena pemberi wasiat almarhum YUSUF NOOR semasa hidupnya tidak dapat membuktikan tanda tangan apalagi tanda tangan yang mirip huruf Arab, karena ia tidak pernah bersekolah dan satu-satunya anak almarhum YUSUF NOOR adalah HUSEIN LA YUSUF NOOR (ayah kandung para Tergugat) yang berdiam di Kupang tidak pernah mengetahui tentang wasiat ini;
Bahwa, barang-barang yang disebutkan dalam surat wasiat adalah merupakan harta bersama antara almarhum YUSUF NOOR dengan istri pertamanya yang bernama MAIMUNAH, (almarhum Ibu Kandung Husein La Yusuf) maka harta bersama itu menjadi hak bersama dari almarhum YUSUF NOOR dengan anaknya HUSEIN YUSUF NOOR, oleh karena itu maka jika benar ada surat wasiat, maka surat itu tidak sah dan harus batal demi Hukum karena dibuat tanpa sepengetahuan dari HUSEN LA YUSUF ayah dari para Tergugat;
Dan disebutkan dalam surat wasiat itu bahwa HUSEN LA YUSUF sebagai pihak ke-4, namun mengapa tidak diikut sertakan menanda tangani surat wasiat itu sebagai para pihak? Hal ini menunjukkan bahwa wasiat tersebut adalah rekayasa pihak tertentu untuk mengambil alih barang milik almarhum YUSUF NOOR dan HUSEN LA YUSUF;
Bahwa, jika menyimak isi surat wasiat tersebut, maka barang yang diwasiatkan adalah sebuah rumah darurat dan sama sekali tidak menyinggung tanah/tidak termasuk tanahnya, maka setelah rumah tersebut tiada, tanah tersebut menjadi milik dari ayah para Tergugat HUSEN LA YUSUF yang selanjutnya diuraikan kepada para Tergugat sekarang ini;
Menimbang, bahwa Penggugat menguatkan gugatannya dengan mengajukan alat-alat bukti berupa :
1. Kartu Penduduk Nomor : 1098.03.71.1007 yang dikeluarkan oleh lurah Kelurahan Monipoi (Bukti P1);
2. Surat Wasiat penyerahan Hak Milik yang dibuat pada tanggal 16 Maret 1968 yang telah diketahui oleh Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah Kupang (Bukti P2);
3. Surat tanda pembayaran IPEDA tahun 1982 (Bukti P3);
Menimbang, selain bukti-bukti berupa surat-surat, Penggugat juga telah menghadirkan dua orang saksi di muka sidang dan telah memberikan keterangan sebagai berikut :
SAKSI I : ABDUL SYUKUR MUIN WARSO, Umur 69 tahun, Agama Islam, pekerjaan Pensiunan PNS, bertempat tinggal di Kelurahan Bonipoi, Kecamatan Kelapa Lima, Kodya Dati II Kupang, di bawah sumpah pada Pokoknya saksi menerangkan sebagai berikut :
Bahwa, benar saksi kenal dengan almarhum YUSUF NOOR, almarhum FATMAH YUSUF NOOR dan almarhum HUSEN YUSUF;
Bahwa, benar di saat YUSUF NOOR masih hidup membuat surat wasiat Penyerahan Hak Milik kepada FATMAH YUSUF NOOR, sebagai pihak kedua, dan kepada YUSUF JAFAR alias LA SUBU sebagai pihak ketiga, yang dibuat pada tanggal 10 Maret 1968, yang diketahui oleh Kepala Desa Bonipoi, dan dikuatkan oleh Kepala Desa Bonipoi, dan dikuatkan oleh Kepala Kantor Pengadilan Agama Kupang, dan saksi juga memenarkan bahwa dia ikut serta membubukan tanda tangan sebagai saksi kedua dalam surat wasiat tersebut;
SAKSI II : HAMZAH bin ISHAK, umur 55 tahun, Agama Islam, pekerjaan PNS, bertempat tingga di Jalan Kampung Baru Nomor 1 Kelurahan Delete, Kecamatan Oebobo, Kodya Dati II Kupang, di bawah sumpah pada pokoknya saksi menerangkan sebagai berikut :
Bahwa, benar saksi kenal dengan penggugat sejak lama dan kenal pula dengan almarhum YUSUF NOOR, almarhum FATMAH YUSUF NOOR, almarhum HUSEN YUSUF;
Bahwa, benar saat alamrhum YUSUF NOOR masih hidup pernah membuat surat wasiat penyerahan Hak Milik yang dibuat pada tanggal 16 Maret 1968, yang dimintakan pengesahannya pada Kantor Pengadilan Agama Kupang atau Mahkamah Syari’ah Kupang;
Bahwa, saksi mengakui dan membenarkan tanda tangan saksi yang dibubuhkan dalam surat wasiat selaku pejabat Kepala Kantor Pengadilan Agama Kupang/Mahkamah Syari’ah;
Bahwa, benar surat wasiat Penyerahana Hak Milik yang dibuat oleh YUSUF NOOR pada tanggal 16 Maret 1968 itu adalah sah dan mempunyai kekuatan Hukum, karena telah sesuai dengan prosedur yang berlaku;
Bahwa, benar penyerahan terhadap surat wasiat Penyerahan Hak Milik yang dibuat oleh YUSUF NOOR pada tanggal 16 Maret 1968 adalah sudah tepat, karena hal tersebut adalah merupakan kewenangan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah sesuai dengan Stablat 1882;
Menimbang, bahwa kemudian Hakim memberikan kesempatan kepada kedua belah bermusyawarah untuk menempuh jalan damai tetapi tidak berhasil dan memohon agar Pengadilan Agama Kupang menjatuhkan Putusannya;
Menimbang, bahwa tentang jalannya pemeriksaan lebih jauh dipersidangan semuanya telah dicatat di dalam berita acara persidangan, sehingga untuk mempersingkat cukuplah kiranya Hakim menunjuk kepada Berita Acara tersebut;
3. Tentang Hukumnya
Menimbang, bahwa perkara ini termasuk dalam kewenangan Pengadilan Agama Kupang;
Menimbang, bahwa Penggugat yang mengajukan gugatan dengan Prodeo telah dapat menunjukkan surat keterangan tidak mampu Nomor : 112/465/IV/1997, yang dikeluarkan oleh Lurah Bonipoi dan telah disahkan oleh Camat Kelapa Lima dan pihak Tergugat menyatakan tidak keberatan bahwa Penggugat beracara dengan Prodeo, maka permohonan perkara dengan Prodeo tersebut dapat dikabulkan sesuai dengan ketentuan pasal 237, 239 ayat (3) HIR jonto pasal 274 ayat (3) Rbg.;
Menimbang bahwa maksud dan tujuan gugatan Pengggugat pada pokoknya adalah sebagaimana telah diuraikan tersebut diatas;
Menimbang, bahwa tergugat melalui Kuasanya memberikan jawaban dalam eksepsi yang menyatakan bahwa Pengadilan Agama tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara perdata ini karena yang menjadi obyek sengketa merupakan perdata murni adalah tidak beralasan maka haruslah ditolak, karena tidak sesuai dengan ketentuan pasal 49 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor : 7 tahun 1989;
Menimbang, bahwa Tergugat melalui Kuasanya memberikan jawaban dalam pokok perkara yang pada dasarnya telah dapat mengakui adanya surat wasiat Penyerahan Hak Milik yang dibuat oleh almarhum YUSUF NOOR pada tanggal 16 Maret 1968 tersebut;
Menimbang, berdasarkan keterangan-keterangan di bawah sumpah dari saksi-saksi yang diajukan oleh Penggugat telah membuktikan kebenaran hal-hal yang dikemukakan oleh Penggugat;
Menimbang, bahwa surat wasiat Penyerahan Hak Milik yang dibuat oleh YUSUF NOOR pada tanggal 16 Maret 1968 adalah disaksikan lebih dari dua orang saksi, hal ini telah sesuai dengan ketentuan pasal 195 ayat (1) yonto pasal 196 Instruksi RI Nomor 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam;
Mengingat dalil Hujah Syari’ah yang disebutkan di dalam kitab Tanwirul Qulub halaman 333 yang berbunyi :
Artinya : Dan tidak boleh tidak (harus) i’tibar Wasiat itu haruslah datang dua orang saksi yang adil.
Menimbang, bahwa berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka Hakim berpendapat bahwa gugatan Penggugat dapat dikabulkan;
Memperhatikan pasal 237, 239 ayat (3) HIR Jo pasal 274 ayat (3) Rbg, pasal 49 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 dan pasal 195 ayat (1) jo pasal 196 Kompilasi Hukum Islam;
Mengingat segala ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan Hujjah Syari’ah yang berkaitan dengan perkara ini;
Mengingat pula surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor : 1/TUADA-AG/III-UM/1996, tanggal 15 April 1996 tentang perpanjangan Izin siding dengan Hakim Tunggal.
4. Menetapkan
1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya;
2. Menyatakan secara Hukum bahwa surat wasiat Penyerahan Hak Milik yang dibuat oleh almarhum YUSUF NOOR pada tanggal 16 Maret 1968 sah dan berharga;
3. Menetapkan bahwa penerima wasiat YUSUF JA’FAR alias LA SUBU berhak sepenuhnya terhadap isi wasiat tersebut di atas;
4. Membebaskan Penggugat dari biaya yang timbul akibat perkara ini;
5. Menghukum kepada para Tergugat untuk membayar semua biaya yang timbul dari akibat perkara ini yang hingga kini dihitung sebesar Rp. 82.000,- (delapan puluh dua ribu rupiah).
5. Analisis Penulis
Kesimpulan
Dari penjabaran perkara perdata gugatan surat wasiat tersebut di atas dan berdasarkan apa yang telah dipertimbangkan oleh putusan Hakim Pengadilan Agama Kupang yang menyatakan bahwa gugatan Penggugat (yaitu Yusuf Jafar alias La Subu) dapat dikabulkan seluruhnya. Dan Pengadilan Agama juga menyatakan secara Hukum bahwa Surat Wasiat Penyerahan Hak Milik yang dibuat oleh almarhum Yusuf Noor pada tanggal 16 Maret 1968 adalah sah dan berharga. Maka kami (penulis) pun berpendapat bahwa putusan Hakim Pengadilan Agama Kupang adalah benar dan menyetujui keputusan tersebut. Hal ini karena keputusan Hakim Pengadilan Agama Kupang telah sesuai Hukum Islam dan Ketentuan-ketentuan yang berlaku. Meskipun pada kenyataan para Tergugat lewat kuasa hukumnya telah mengajukan eksepsi penolakan dan menyatakan banding terhadap keputusan tersebut dengan alasan bahwa Pengadilan Agama Kupang tidak berhak mengadili perkara ini, karena objek perkara mengandung sengketa milik (sebuah rumah yang berdiri di atas tanah Negara), dan bahwa Penggugat tidak dapat membuktikan bahwa ia adalah benar anak angkat dari almarhum (Yusuf Noor) selain itu menurut pihak Tergugat bahwa surat wasiat itu palsu karena menurut sepengetahuan mereka bahwa kakek mereka tidak bersekolah. Selain daripada itu ayah mereka (Husen Yusuf) pun tidak mengetahui tentang adanya wasiat tersebut, hal ini terbukti dengan tidak adanya tanda tangan beliau dalam surat wasiat tersebut.
Sebenarnya wasiat menurut para ahli Hukum Fiqih Islam ialah “pemberian hak (kepada orang atau badan) untuk memiliki atau memanfaatkan sesuatu, yang ditangguhkan pemberian hak tersebut setelah pemiliknya meninggal, dan tanpa disertai imbalan atau penggantian apapun dari pihak yang menerima pemberian itu.”
Sehubungan dengan kasus di atas, maka menurut penulis tindakan eksepsi (penolakan) dari ahli waris (tergugat) dalam hal ini cucu-cucu dari si pemberi warisan (atas nama Yusuf Noor) adalah tidak dapat dibenarkan. Tindakan almarhum Yusuf Noor (pemberi wasiat) maupun Yusuf Jaffar alias La Subu (penerima wasiat) sebenarnya telah sesuai dengan rukun wasiat, yaitu :
- Adanya orang yang berwasiat dan atas kehendak sendiri juga tidak dengan jalan yang maksiat, artinya atas dasar berbuat kebaikan,
- Adanya yang menerima wasiat (mausilah), untuk hal ini tidak tergantung kepada siapa dan tidak mesti anak kandung atau pun anak angkat, karena berwasiat kepada badan atau lembaga pun diperbolehkan,
- Adanya sesuatu yang diwasiatkan, disyaratkan dapat berpindah milik dari seseorang kepada orang lain,
- Adanya lafaz (kalimat) wasiat, yaitu kalimat yang dapat dipahami untuk wasiat.
Selain itu untuk lebih menguatkan dan terjaminnya wasiat tersebut maka sewaktu pengakad-an wasiat tersebut telah pula dipersaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang yang adil dan terpercaya sehingga dapat membuktikan kebenarannya. Hal ini sesuai dengan dalil Hujah Syar’iah yang disebutkan dalan kitab Tanwirul Qulub hlm. 333, yang artinya : “Dan tidak boleh tidak (harus) I’tibar Wasiat it haruslah datang dari dua orang saksi yang adil.”
Berdasarkan pernyataan para saksi pula dalam kasus ini, Sidang Pengadilan Tinggi Agama telah menyatakan bahwa wasiat tersebut benar-benar telah terjadi dan si pewasiat (Yusuf Noor) benar telah menanda tangani surat wasiat di rumahnya, mengingat almarhum pewasiat adalah orang yang ahli ibadah dan pandai mengaji (membaca huruf al-Qur’an).
Demikian juga karena rukun dan syarat sahnya suatu wasiat menurut Hukum Islam tidak mengharuskan adanya persetujuan pada ahli waris dan wasiat hanya ditujukan kepada orang yang bukan ahli waris. Adapun kepada ahli waris, wasiat tidak sah, kecuali apabila diridhoi oleh semua ahli waris yang lain sesudah meninggalnya yang berwasiat.
Selain itu sebanyak-banyaknya wasiat adalah sepertiga dari harta, tidak boleh lebih, kecuali apabila diizinkan oleh semua ahli waris sesudah orang yang berwasiat itu meninggal. Sabda Rasulullah saw, yaitu :
“Dari Ibnu Abbas, Ia berkata, “Alangkah baiknya jika Manusia mengurangi wasiat mereka dari sepertiga ke seperempat. Karena sesungguhnya Rasulullah saw. telah bersabda, ‘Wasiat itu sepertiga, sedangkan sepertiga itu sudah banyak.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Dan dalam kasus ini harta yang diwasiatkan itu tidak melebihi 1/3 dari harta si pewaris. Hal ini berdasarkan pada berita acara sidang Pengadilan Agama tingkat Pertama pada tanggal 7 Juni 1997, dan berdasarkan berita acara pemeriksaaan sidang Pengadilan Tinggi Agama Kupang tanggal 23 Oktober 1997 dan berdasarkan pula pada surat wasiat tertanggal 16 Maret 1968 diperoleh bukti bahwa selain barang-barang perkakas rumah tangga, Yusuf Noor (pewasiat) juga mewasiatkan rumah darurat di atas tanah pekarangan 5 x 6 m (rumah induk) dan di belakangnya terdapat dapur di atas tanah ukuran 7 x 3 m di Desa/Kelurahan Bonipoi Kupang, dengan luas tanah seluruhnya 51 m2. Sementara luas tanah seluruhnya dari Yusuf Noor(pewasiat) adalah 531 m2, sedangkan berdasarkan bukti Tergugat/Pembanding (atas nama Ibrahim Husein La Yusuf sebagai anak pertama Husen Yusuf) telah menerima pembagian tanah seluas 78 m2, sementara Tergugat/Pembanding-Pembanding lain mendapatkan sisa jatah tanah seluas 402m2 secara berserikat (531 m2 – (51 m2 + 78 m2 = 129 m2) = 402 m2). Sisa tanah tersebut berdasarkan bukti (surat wasiat) telah diwariskan kepada Husin Yusuf Noor (ayah Tergugat/Pembanding) beserta sebuah rumah untuk tempat tinggal bersama anak-anaknya.
Berdasarkan kenyataan tersebut maka dalam kasus ini penulis membenarkan hasil keputusan Pengadilan Agama Kupang tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Barkah, Qadariah. 2006. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Fakultas Syari’ah IAIN Raden Fatah: Palembang
Nur, Djamaan. 1993. Fiqh Munakahat. Dina Utama: Semarang
Rasjid, Sulaiman. 1994. Fiqh Islam. Sinar Baru Algesindo: Bandung
Zuhdi, Mastjfuk.1993. Studi Muamalah. Cet. III. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta
http://localhost.htm. Hukum Anak Angkat dan Status Kemuhrimannya Dalam Islam. Diakses : 22 Jan 08 : 06.05. Download : 10 Mei 2010
http://kafemuslmah.com. Hak dan Kewajiban Anak Angkat. Diakses : Senin, 26 Juli 2004. Download : 10 Mei 2010
TINJAUAN ATAS :
PUTUSAN PENGADILAN AGAMA KUPANG No. 14/Pdt.G/1997/PA. Kp
PUTUSAN PENGADILAN TINGGI AGAMA KUPANG
No. 05/Pdt.G/1997/PTA KUPANG
DAN PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO : 145K/AG/1998
TENTANG PERKARA GUGATAN WASIAT
Tugas Pada Mata Kuliah
YURISPRUDENSI HUKUM ISLAM
Disusun Oleh :
Nopiraningrum (090201077)
Dosen Pengampuh :
Prof. DR. Cholidi Zainuddin, MA.
PROGRAM PASCA SARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
2010
Senin, 24 Mei 2010
di 22.29
FILSAFAT ILMU
(DR. Amsal Bakhtiar, MA)
Diawal pembahasan buku ini dijelaskan sejarah awal pandangan pemikiran manusia yang masih dipengaruhi oleh paham mitosentris yaitu bahwa semua kejadian di dunia ini dipengaruhi oleh para dewa. Berikut tokoh dan pemikirannya: Thales (624-546 SM), sebagai bapak filsafat disusul kemudian oleh Phytagoras (572-497 SM), Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-332 SM) merupakan filosof-filosof pertama yang mengubah pola pikir manusia yaitu dari pola pikir mitosentris ke pola pikir logosentris.
Dilanjutkan pembahasan tentang pengertian dari beberapa filosof serta ruang lingkup Filsafat Ilmu. Filsafat dan Ilmu adalah dua kata yang terpisah tetapi saling terkait. Filsafat sebagai proses berfikir yang sistematis dan radikal mempunyai obyek material dan obyek formal. Obyek materinya adalah segala yang ada baik yang tampak (dunia empirik) maupun yang tidak tampak (alam metafisik). Sementara Ilmu juga memiliki dua obyek yaitu obyek material dan obyek formal. Obyek materialnya adalah alam nyata misalnya tubuh manusia untuk ilmu kedokteran, sedangkan obyek formalnya adalah metode untuk memahami obyek material misalnya pendekatan induktif dan deduktif.
Pengertian ilmu, persamaan dan perbedaan antara filsafat dan ilmu. Oleh penulis, dijelaskan bahwa ilmu adalah bagian dari pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang terklasifikasi, tersistem dan terukur serta dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris. Sementara pengetahuan adalah informasi yang berupa common sense yang belum tersusun secara sistematis baik mengenai metafisik maupun fisik. Penulis juga menyimpulkan bahwa filsafat ilmu merupakan kajian secara mendalam tentang dasar-dasar ilmu sehingga filsafat ilmu perlu menjawab persoalan ontologis (obyek telaah), epistemologis (proses, prosedure, mekanisme) dan aksiologis (untuk apa).
Pada bab berikutnya dijelaskan sejarah perkembangan filsafat yang dibagi dalam tiga periode. Periode pertama merupakan masa awal dari kaum filosof alam yang dimulai dari Thales hingga Parmanides. Dalam periode pertama, para filosof dengan segala pendapat dan pandangan yang berbeda-beda, dianggap tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan tentang manusia dan kebenaran. Periode berikutnya yang dikenal dengan sebutan periode kaum ”sofis” yang dimotori oleh Protagoras yang menyatakan bahwa manusia adalah ukuran kebenaran yang merupakan cikal bakal humanisme. Kaum sofis memberikan ruang gerak pada ilmu untuk berkembang, berspekulasi dan merelatifkan teori ilmu.
Pada bagian ini juga dijelaskan sejarah perkembangan ilmu yang dibagi dalam tiga periode pula yaitu : perkembangan ilmu zaman Islam, kemajuan ilmu zaman Renaisans dan modern serta kemajuan ilmu zaman Kontemporer. Perkembangan pengetahuan zaman Islam dimulai sejak peristiwa Fitnah Al-Kubra yang dimotori oleh Abdullah Ibn Umar dan Abdullah Ibn Abbas. Kemajuan pesat mencapai puncaknya dizaman pemerintahan Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah. Zaman renaisans dipelopori oleh salah satunya yaitu N. Copernicus dan. Copernicus terkenal teori Heliosentris-nya. Revolusi pemikiran ini memicu pertentangan antara pemikir dan gereja Katolik Roma. Akibat revolusi pemikiran ini melahirkan pemikir-pemikir dari beberapa disiplin ilmu (F. Bacon, Tycho Brahe, Y. Keppler, Galileo, Napier, I. Newton dll)
Pada bab berikutnya buku ini membahas mengenai Pengetahuan dan Ukuran Kebenaran. Banyak kutipan definisi para pakar dalam buku ini, diantaranya yang menyatakan: pengetahuan adalah kebenaran. Disepakati bahwa ada empat macam pengetahuan yaitu pengetahuan biasa (common sense), pengetahuan ilmu (pengetahuan common sense yang terorganisasi dan sistematis)) dan pengetahuan filsafat serta pengetahuan agama. Secara teori, hakikat pengetahuan dapat diperoleh melalui dua pandangan yaitu pandangan realisme dan idealisme.
Pada bagian ini juga dijelaskan bahwa ada tiga sumber pengetahuan yaitu secara empiris yaitu melalui pengalaman, rasional dan intuisi serta penjelasan tentang ukuran kebenaran, disebutkan berpikir adalah suatu proses untuk memperoleh kebenaran, namun kebenaran yang didapat adalah kebenaran yang bersifat relatif. Karena sifat relatifnya itulah maka dibuat kategori kebenaran dalam tiga jenis yaitu kebenaran epistemologis, kebenaran ontologis dan kebenaran semantis. Kebenaran epistemologis adalah kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan manusia, kebenaran dalam ontologis adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat pada hakikat segala sesuatu yang ada atau diadakan dan kebenaran semantis adalah kebenaran yang terdapat melalui kata-kata dan bahasa.
Selanjutnya buku ini membahas tentang Dasar-dasar filsafat Ilmu yang dibagi atas tiga bagian yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi yaitu: Secara istilah ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat yang ada (ultimate reality) baik jasmani/konkret maupun rohani/abstrak. Kemudian Epistemologi atau teori pengetahuan adalah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung-jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Lalu aksiologi, upaya pelurusan kekeliruan epistemologi dapat dilakukan dengan menggunakan aksiologi. Aksiologi mempunyai banyak definisi, salah satu diantaranya dikemukakan oleh Bramel bahwa aksiologi terdiri dari tiga bagian yaitu moral conduct, esthetic expression dan sosio-political life. Aksiologi harus membatasi kenetralan tanpa batas terhadap ilmu pengetahuan, dalam arti bahwa kenetralan ilmu pngetahuan hanya sebatas metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya haruslah berlandaskan pada nilai-nilai moral .
Di pembahasan buku ini mejelaskan tentang sarana ilmiah. Bahasa, matematika dan statistik serta logika yang merupakan sarana untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
Demikian simpulan intisari buku Filsafat Ilmu karya DR. Amsal Bakhtiar, MA, semoga dapat membuka wawasan berfikir pembaca dan pembuatnya. Amin
(DR. Amsal Bakhtiar, MA)
Diawal pembahasan buku ini dijelaskan sejarah awal pandangan pemikiran manusia yang masih dipengaruhi oleh paham mitosentris yaitu bahwa semua kejadian di dunia ini dipengaruhi oleh para dewa. Berikut tokoh dan pemikirannya: Thales (624-546 SM), sebagai bapak filsafat disusul kemudian oleh Phytagoras (572-497 SM), Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-332 SM) merupakan filosof-filosof pertama yang mengubah pola pikir manusia yaitu dari pola pikir mitosentris ke pola pikir logosentris.
Dilanjutkan pembahasan tentang pengertian dari beberapa filosof serta ruang lingkup Filsafat Ilmu. Filsafat dan Ilmu adalah dua kata yang terpisah tetapi saling terkait. Filsafat sebagai proses berfikir yang sistematis dan radikal mempunyai obyek material dan obyek formal. Obyek materinya adalah segala yang ada baik yang tampak (dunia empirik) maupun yang tidak tampak (alam metafisik). Sementara Ilmu juga memiliki dua obyek yaitu obyek material dan obyek formal. Obyek materialnya adalah alam nyata misalnya tubuh manusia untuk ilmu kedokteran, sedangkan obyek formalnya adalah metode untuk memahami obyek material misalnya pendekatan induktif dan deduktif.
Pengertian ilmu, persamaan dan perbedaan antara filsafat dan ilmu. Oleh penulis, dijelaskan bahwa ilmu adalah bagian dari pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang terklasifikasi, tersistem dan terukur serta dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris. Sementara pengetahuan adalah informasi yang berupa common sense yang belum tersusun secara sistematis baik mengenai metafisik maupun fisik. Penulis juga menyimpulkan bahwa filsafat ilmu merupakan kajian secara mendalam tentang dasar-dasar ilmu sehingga filsafat ilmu perlu menjawab persoalan ontologis (obyek telaah), epistemologis (proses, prosedure, mekanisme) dan aksiologis (untuk apa).
Pada bab berikutnya dijelaskan sejarah perkembangan filsafat yang dibagi dalam tiga periode. Periode pertama merupakan masa awal dari kaum filosof alam yang dimulai dari Thales hingga Parmanides. Dalam periode pertama, para filosof dengan segala pendapat dan pandangan yang berbeda-beda, dianggap tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan tentang manusia dan kebenaran. Periode berikutnya yang dikenal dengan sebutan periode kaum ”sofis” yang dimotori oleh Protagoras yang menyatakan bahwa manusia adalah ukuran kebenaran yang merupakan cikal bakal humanisme. Kaum sofis memberikan ruang gerak pada ilmu untuk berkembang, berspekulasi dan merelatifkan teori ilmu.
Pada bagian ini juga dijelaskan sejarah perkembangan ilmu yang dibagi dalam tiga periode pula yaitu : perkembangan ilmu zaman Islam, kemajuan ilmu zaman Renaisans dan modern serta kemajuan ilmu zaman Kontemporer. Perkembangan pengetahuan zaman Islam dimulai sejak peristiwa Fitnah Al-Kubra yang dimotori oleh Abdullah Ibn Umar dan Abdullah Ibn Abbas. Kemajuan pesat mencapai puncaknya dizaman pemerintahan Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah. Zaman renaisans dipelopori oleh salah satunya yaitu N. Copernicus dan. Copernicus terkenal teori Heliosentris-nya. Revolusi pemikiran ini memicu pertentangan antara pemikir dan gereja Katolik Roma. Akibat revolusi pemikiran ini melahirkan pemikir-pemikir dari beberapa disiplin ilmu (F. Bacon, Tycho Brahe, Y. Keppler, Galileo, Napier, I. Newton dll)
Pada bab berikutnya buku ini membahas mengenai Pengetahuan dan Ukuran Kebenaran. Banyak kutipan definisi para pakar dalam buku ini, diantaranya yang menyatakan: pengetahuan adalah kebenaran. Disepakati bahwa ada empat macam pengetahuan yaitu pengetahuan biasa (common sense), pengetahuan ilmu (pengetahuan common sense yang terorganisasi dan sistematis)) dan pengetahuan filsafat serta pengetahuan agama. Secara teori, hakikat pengetahuan dapat diperoleh melalui dua pandangan yaitu pandangan realisme dan idealisme.
Pada bagian ini juga dijelaskan bahwa ada tiga sumber pengetahuan yaitu secara empiris yaitu melalui pengalaman, rasional dan intuisi serta penjelasan tentang ukuran kebenaran, disebutkan berpikir adalah suatu proses untuk memperoleh kebenaran, namun kebenaran yang didapat adalah kebenaran yang bersifat relatif. Karena sifat relatifnya itulah maka dibuat kategori kebenaran dalam tiga jenis yaitu kebenaran epistemologis, kebenaran ontologis dan kebenaran semantis. Kebenaran epistemologis adalah kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan manusia, kebenaran dalam ontologis adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat pada hakikat segala sesuatu yang ada atau diadakan dan kebenaran semantis adalah kebenaran yang terdapat melalui kata-kata dan bahasa.
Selanjutnya buku ini membahas tentang Dasar-dasar filsafat Ilmu yang dibagi atas tiga bagian yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi yaitu: Secara istilah ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat yang ada (ultimate reality) baik jasmani/konkret maupun rohani/abstrak. Kemudian Epistemologi atau teori pengetahuan adalah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung-jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Lalu aksiologi, upaya pelurusan kekeliruan epistemologi dapat dilakukan dengan menggunakan aksiologi. Aksiologi mempunyai banyak definisi, salah satu diantaranya dikemukakan oleh Bramel bahwa aksiologi terdiri dari tiga bagian yaitu moral conduct, esthetic expression dan sosio-political life. Aksiologi harus membatasi kenetralan tanpa batas terhadap ilmu pengetahuan, dalam arti bahwa kenetralan ilmu pngetahuan hanya sebatas metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya haruslah berlandaskan pada nilai-nilai moral .
Di pembahasan buku ini mejelaskan tentang sarana ilmiah. Bahasa, matematika dan statistik serta logika yang merupakan sarana untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
Demikian simpulan intisari buku Filsafat Ilmu karya DR. Amsal Bakhtiar, MA, semoga dapat membuka wawasan berfikir pembaca dan pembuatnya. Amin
Pemikiran Ekonomi Ibn Adam: Eksplorasi awal tentang konsep sumber keuangan Negara
di 22.22
Pemikiran Ekonomi Ibn Adam:
Eksplorasi awal tentang konsep sumber keuangan Negara
A. Pendahuluan
Rasulullah saw telah meletakkan dasar sistem moneter dengan menjadikan uang sebagai alat penukar yang bersifat umum untuk membenarkan pertukaran barter sejenis. Oleh sebab itu, masyarakat Islam telah lama menggunakan uang sebagai media transaksi, berbeda dengan negara-negara di eropa, sisitem ini baru diterapkan di akhir abad pertengahan kehadiran Islam. Buku ”The Wealth Nation” yang ditulis Adam Smith merupakan salah satu upaya dalam melanjutkan sistem keuangan, juga menjelaskan konsep negara dalam mengatur kehidupan ekonomi, sumber-sumber anggaran negara dan proses alokasi dana bagi kesejahteraan masyarakat.
Diawal tahun 30-an peran negara hanya terbatas pada pengelolaan sumber-sumber anggaran dan proses alokasi dana dalam memenuhi kehidupan pablik, negara tidak mampu menentukan kebijakan ekonomi, ini disebabkan sistem ekonomi yang berkembang menganut prinsip kebebasan individu atau disebut juga dengan aliran kapitalis. Karena kecewa terhadap sistem kapitalis yang gagal mewujudkan nilai kejahteraan terhadap maasyarakat serta diiringi dengan krisis interval perang dunia menyebabkan timbulnya sistem sosisalis, semua hak kepemilikan dimiliki oleh negara, mereka menilai perlunya intervensi pemerintah dalam segala hal untuk mewujudkan sejahteraaan kehidupan ekonomi, namun sistem ini juga gagal dalam mewujudkan tujuan utamanya.
Secara keilmuan kita beriktikad baik terhadap mereka yang sudah berupaya untuk mencipkatan teori baru untuk mewujudkan kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat, walaupun kesemua teori tersebut gagal mencapai tujuan utamanya, sehingga menjadi intropeksi bagi ummat Islam, bukankah Islam sudah mengatur dasar-dasar keuangan dan bagaimanakah pengawasan keuangan dalam Islam sehingga Islam mencapai masa keemasannya.
Negara Islam terbentuk setelah Rasulullah saw melakukan hijrah dan menetap di Madinah, perkembangan infrastuktur keuangan Islam seiring dengan perluasan daerah Islam dan perkembangannya. Pada awalnya keuangan negara Islam sangat lemah hal ini dapat dilihat dari situasi peperangan Badr al-Kubra dimana ummat Islam hanya memilki 17 ekor unta dan 2 ekor kuda sedangkan jumlah keseluruhan pasukan tidak lebih dari 350 orang.
Setelah penaklukan terhadap Bani Nadhir barulah ada nafas baru bagi perekonomian umat Islam. Akan tetapi masih belum mencakupi untuk mencakupi semua kebutuhan umat Islam baik untuk keperluan menjalakan roda pemerintahan atau untuk peperangan. Hasil yang diperolehi dari tanah bani nadhir dan pendapatan yang diperolehi dari waktu kewaktu disimpan pada satu tempat untuk masa tanggap darurat, sedangkan pendapatan yang diperoleh dari fai, kharaj didistribusikan langsung tanpa disimpan.
Dari uraian diatas dapat kita pahami bahwasanya sistem keuangan sudah diatur dalam pemerintahan Islam sejak zaman Rasulullah saw, hal ini dbuktikan dengan adanya tempat menyimpan harta pendapatan negara, walau sebagian harta lainnya ada yang langsung didistribusikan kepada sahabat yang berhak menerimanya.
Namun pembahasan keuangan negara secara sistematis pertama sekali dilakaukan oleh Abu Yusuf dengan judul bukunya al-Kharaj, ini merupakan permintaan Khalifah Harun ar-Rasyid untuk merumuskan kebijakan keuangan negara, tidak lama kemudian Yahya Ibn Adam menunis sebuah buku yang dinamakan juga dengan al-Kharaj, setelah itu dibahas secara mendalam oleh Imam Syafi’i dalam kitabnya al-Um. Kemudia Abu ’Abid Ibn Salam menyusun materi yang sama dalam sebuah buku yang dinamakan dengan al-Amwal, proses tersebut terjadi pada akhir abad 2 hijriah sampai dengan awal abad 3 hijriah.
Begitu juga dengan karya-karya lainnya seperti Tarikh ad-Daulah al-Islamiyah oleh imam Tabari, begitu juga dengan karya Ibn Atsir, ada sebagian cendikiawan yang mengkatagorikan karya mereka lebih condong kepada politik dan peperangan, atau identik dengan kajian historis, namun tidak sedikit kita jumpai keterangan-keterangan yang berhubungan dengan ekonomi, diantara cendikiawan muslim yang telah banyak memberi kontribusi dalam keilmuan ekonomi dan keuangan ialah al-Maqrizi, Ibn Khaldun, dan Ibn Khardazabah.
Walaupun demikian isu-isu yang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara perspektif konvensional, bank, saham, asuransi, pengenalan uang kertas di negara-negara Islam telah menyebabkan para fuqaha berhadapan dengan berbagai permasalahan yang harus dijawab.
Beberapa tahun pasca Abu Yusuf, muncul pula kitab al-kharaj karya Yahya Ibn Adam al-Qurasyi (140 H/-203/818 M). Buku ini termasuk yang ketiga dalam bidang ekonomi setelah kitab al-Amwal karya Abu Ubaid. Walaupun kebanyakan ahli biografi ulama (al-tarajum) tidak mengetahui tahun lahir Ibn Adam, namun dapat dipastikan beliu hidup pada abad ke II H, semasa dengan Abu Yusuf dan meninggal tahun 203 H. Jumlah guru Ibn Adam menurut catatan Ahmad Syakir sebanyak 90 orang antara lain al-Hasan Ibn Soleh. Mereka kemudian menjadi matarantai (sanad) hadis yang memperkuat kualitas akademik al-kharaj. Muridnya antara lain imam Ahmad Ibn Hanbal, Ishaq Ibn Rahawaih, dan Ali Ibn al-Madini. Beliau tercatat sebagai ahli hadis yang mendapat pujian dari Ibn Ma'in, Nasa'i, dan Ali ibn al-Madini. Kalau Abu Yusuf dikenal ahli fiqh aliran ra'y, maka Ibn Adam akrab dengan argumen-argumen tekstual terutama hadis, keputusan maupun kebijakan para khalifah terdahulu.
Uraian di atas memunculkan beberapa pertanyaan antara lain: metode apakah yang digunakan oleh Ibn Adam dalam menulis karya al-kharaj? Adakah perbedaan konsep al-kharaj menurut Abu Yusuf dan Ibn Adam? Tulisan ini akan berusaha untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut.
B. Metode Abu Yusuf dan Ibn Adam dalam al-Kharaj
Abu Yusuf menjadi salah satu dari dua referensi utama fiqh dalam mazhab Hanafi. Pengetahuannya tentang hadis juga tidak dapat diremehkan. Ini terlihat dalam kitab al-Asar karya putranya Yusuf. Kitab ini sarat dengan wacana fiqh Abu Hanifah dan Abu Yusuf.
Keunggulan karya Abu Yusuf dalam bidang fiqh karena ditulis dengan metode: Pertama, menggabungkan metode fuqaha' (aliran ra'y) di Kufah dengan metode fuqaha' (aliran al-hadis) di Madinah. Kedua, rumusan hukumnya sejalan dengan fenomena aktual di tengah masyarakat sehingga sangat aplikatif dan realistis. Pengalamannya dalam menyelesaikan kasus-kasus rill, membuatnya banyak menghindar dari rumusan fiqh yang asumtif. Ketiga, bebas dalam berpendapat. Kemampuan Abu Yusuf menggabungkan metode fuqaha' aliran ra'yi dan aliran hadis membentuknya menjadi faqih independen, tidak berpihak kepada pendapat tertentu secara subyektif. Beliau melakukan ijtihad secara mandiri dan tidak terpengaruh oleh pendapat guru-gurunya. Keempat, komitmen pada sumber-sumber tekstual dan rasional. Metode ini menjadi tradsisi para ulama ahl al-ra'y yang menggunakan nalar qiyas dan nalar istihsan serta mempertimbangkan al-'urf (tradisi masyarakat yang baik).
Dalam bidang ekonomi , terutama dalam kitab al-kharaj, Abu Yusuf pun menggunakan motode-metode tersebut.i Kitab al-Kharaj, merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh khalifah Harun al-Rasyid dan pertanyaan-pertanyaan yang dibuat sendiri oleh Abu Yusuf. Jawaban atas semua pertanyaan tersebut diperkuat oleh dalil-dalil aqli dan naqli sehingga lebih unggul secara akademik dari pada kitab al-Kharaj karya Ibn Adam yang hanya diperkuat oleh dalil-dalil naqli tanpa memberi kesempatan kepada nalar. Metode Ibn Adam yang mengunggulkan dokumentasi (tausiq) riwayat telah menyeretnya menggunakan hadis da'if, dan menukil pendapat sahabat dan tabi'in dalam jumlah yang cukup banyak tanpa melakukan kritik eksternal (sanad) dan internal (matan) terhadapnya. Sebaliknya, Abu Yusuf menggunakan pendekatan rasional dalam menyimpulkan 'ilal al-hadis. Sehingga kualitas hadis dalam al-kharaj karya Abu Yusuf lebih sahih ketimbang dalam kitab al-kharaj karya Ibn Adam. Tentu saja Abu Yusuf tidak mengabaikan praktek faktual para sahabat (a'mal al-sahabah) sejauh itu relevan dengan situasi yang ada mengingat kemaslahatan umum selalu menjadi pertimbangan utama.
Istilah al-kharaj dalam prespektif Abu Yusuf mengandung dua makna: pertama, makna yang berdimensi umum yaitu al-amwal al-'ammah (keuangan umum), atau sumber pendapatan negara. Hal ini terlihat ketika Abu Yusuf mendiskusikan tema-tema yang berkaitan dengan sumber pendapatan negara seperti ganimah, fai', al-kharaj, al-jzyah, dan harta-harta yang berkedudukan sebagai pengganti seperti al-kharaj seperti 'usyur al-tijarah, dan sadaqah.
Kedua, makna al-kharaj yang berdimensi khusus terlihat ketika beliau menyebutkan sewa tanah atau kompensasi atas pemanfaatan tanah. Kedua dimensi makna al-kharaj tersebut ditemukan pula dalam karya Ibn Adam dan Abu Ubaid. Dengan demikan, istilah al-amwal sinonim dengan istilah al-kharaj yaitu keuangan umum atau sumber pendapatan negara. Pemaknaan al-kharaj secara sempit dan khusus, kata Dhiya' al-Din al-Ris muncul dan dipelopori oleh fuqaha' pasca Abu Yusuf, tetapi pemunculan tersebut tidak mempengaruhi makna dasar al-kharaj.[12]
C. Fiqh Ekonomi Ibn Adam
Kitab al-Kharaj Karya Ibn Adam tidak jauh berbeda dengan al-Kharaj karya Abu Yusuf kecuali pada aspek metode kontruksi terhadap dalil. Abu Yusuf menekankan argumen rasional, sementara Ibn Adam mengacu pada ahadis dan ahdas (hadis dan kebijakan politik pemerintah dalam menghadapi kasus-kasus sebelumnya). Karya Ibn Adam sarat dengan berbagai perbedaan pendapat. Metode penulisan seperti ini, dari satu sisi sangat bagus karena merekam berbagai wacana secara komprehensif. Namun dari sisi lain, dapat membingungkan pembaca karena penulis tidak mengemukakan pendapat secara cermat dan independen yang mencerminkan kpribadian ilmiahnya. Pemandangan seperti ini dalam karya Ibn Adam, terlihat sangat mengasyikkan.
Konsep kebersamaan dalam kehidupan ekonomi (musytarakiyat al-hayat al-iqtisadiyah) dalam karya Ibn Adam muncul ketika beliau mendiskusikan penduduk pedesaan yang satu sama lain saling menjamin pada pajak tanah (jizyah al-ardh) di hadapan kaum muslim yang saling menjamin pula.
Ibn Adam selalu menegaskan al-musytarakiyah (kebersamaan) dengan berbagai pihak yang berbeda agama seperti (umat muslim, kaum zimmi dan kebersamaan yang bersifat lokal seperti penduduk desa dan kota. Beliau juga sering menegaskan berbagai macam perlakuan pada jibayah (penarikan pajak) sesuai dengan karakteristik daerah, bentuk kesepakatan, perjanjian dan keadaan penduduk.
Ibn Adam menyebutkan konsep al-qimah (harga) dan al-nafaqah (beaya hidup) atau al-taklifah. Kedua konsep tersebut hampir tidak ada di benak Abu Yusuf. Hal ini menunjukkan bahwa Ibn Adam menyadari pentingnya keberadaan pasar sebagai unsur prekonomian makro dan merupakan unsur yang menyatukan antara elemen-elemen yang membentuk al-musytarakiyah tersebut.
Baik Ibn Adam maupun Abu Yusuf sepakat pada unsur-unsur yang menggerakkan prekonomian, dan urutan prioritas sumber-sumber ekonomi: al-thabi’ah (sumber alam) dan al-‘amal al-insani (tenaga kerja ). Harta yang dibebankan atas tanah akan menjadi al-kharaj (jizyah) apabila dapat dijangkau oleh air sungai yang berstatus kharaj. Pernyataan ini menegaskan karakteristik air yang dapat melakukan aktivitas produksi secara mandiri.
Agama, masyarakat muslim, kekuasaan dan peran pemimpin, menurut Ibn Adam merupakan unsur-unsur pemersatu dan pengikat antara elemen-elemen yang membentuk bangunan masyarakat dan politik yang ada pada saat itu. Beliau berkata: dari (...) dari (...) barang siapa membuat perjanjian jaminan keamanan maka diyatnya (denda dalam kasus pembunuhan) disamakan dengan diyat muslim. Berdasarkan kutipan ini, Ibn Adam ingin menegaskan bahwa umat Islam bergabung sepenuhnya ke dalam al-musytarakat al-zimmiyah (komunitas kaum zimmi) yang ada di dalam negara Islam. Dengan demikian, kaum zimmi menjadi bagian dari warga negara. Hal serupa juga diungkapkan oleh Abu Yusuf. Beliau mengatakan bahwa bait al-mal wajib menanggung kebutuhan kaum zimmi yang lemah bekerja apabila komunitasnya tidak mampu menanggungnya. Pernyataan ini secara otomatis menjadikan kaum zimmi menjadi bagian dari komunitas "islami".
Akan tetapi yang paling penting dalam karya Ibn Adam adalah konsep yang berkaitan dengan hubungan-hubungan internal atau dalam istilah modern disebut "hubungan-hubungan produksi (hubungan-hubungan yang berimplikasi pada pembagian dan pendistribusian hasil produksi masyarakat). Hal ini tentu sangat wajar karena judul karyanya adalah al-kharaj yaitu pajak tanah (jaziyat al-ardh). Ibn Adam seperti juga halnya dengan Abu Yusuf memasukkan konsep pajak diri (jiziyat al-ra'as)., ganimah, al-'usyur sodaqah, zakat dan bea cukai, sebagai sarana pendapatan umat Islam pada masa itu.
Menurut Ibn Adam al-kharaj adalah lembaga yang eksis pada masa imperium Persia sebelum bangsa Arab menaklukkan dan menguasai tanah Sawad: "Mereka meninggalkan tanah dan penduduk Sawad dan mewajibkan kepada penduduknya untuk membayar jizyah. Mengukur lahan (tanah) yang mereka miliki, kemudian menetapkan pajaknya. Selain itu, mereka mengambil tanah yang belum dimiliki oleh seseorang dan menyerahkannya kepada imam atau penguasa.
Dengan demikian, al-kharaj di daerah-daerah yang dikuasai Persia, dan al-jizyah di daerah-daerah yang dikuasai Bizantium Romawi bukanlah permasalahan baru pada saat itu. Namun yang baru adalah penafsiran khusus dan pelembagaan hukum agama yang dikontruksi oleh Ibn Adam yang berkaitan dengan al-kharaj dan al-jizyah. Hal serupa dilakukan pula oleh Abu Yusuf, dengan mengistimbathkan dua model jizyah dari prinsip-prinsip pembagian al-ganimah dan menjadikannya seperlima serta memperoleh al-fai'. Hal inilah yang didiskusikan Ibn Adam sejak halaman-halamann pertama kitab al-kharaj. Dalam konteks ini Ibn Adam menyebutkan hadis yang berbunyi "Allah menjadikan rezki umat ini pada ujung kuku kudanya, dan kepala panahnya selama mereka tidak bertanam, apabila mereka bertanam maka mereka sama dengan orang lain. Dari hadis tersebut dapat dipahami bahwa jihad telah menganugerahi umat Islam posisi dan status yang istimewa. Mereka juga berhak atas berbagai bentuk jizyah dan ganimah. Ibn Adam juga merujk kepada sejumlah ayat-ayat yang khusus membicarakan khumus (seperlima) dan al-fai' dan perbedaan antara keduanya dengan pembagian ganimah, dan menyimpulkan dari ayat-ayat tersebut kemungkinan mengalihkan tanah-tanah pertanian di daerah taklukkan untuk kepentingan umat Islam dan generasi mereka yang akan datang.
Kaum al-Wasani (penyembah berhala) yang enggan masuk Islam diperangi, seperti juga halnya dengan kaum al-Kitabi (Yahudi dan Kristen), kecuali dua kelompok penganut agama yang samawi terakhir ini sanggup membayar jizyah. Penulis tidak mengedepankan uraian yang memuaskan mengapa terjadi perbedaan perlakuan antara kaum al-Wasani dengan kaum al-Kitabi.
Kaum zimmi yang membayar al-kharaj dan jizyah, senantiasa menguasai kepemilikan atas tanah-tanah mereka, dan juga tidak akan menjadi raqa'iq (budak), tetapi masuk ke dalam kelompok tab'iyah (pengikut) kaum muslim dengan perjanjian zimmah. Tetapi kalau mereka tidak membayar al-kharaj, kepemilikan mereka terhadap tanah sewaktu-waktu dapat dicabut.
"Dari Umar Ibn Abdul Aziz, beliau pernah menulis bahwa penduduk daerah mana pun yang masuk Islam, mereka mendapatkan keluarga dan harta mereka. Sedangkan rumah dan tanah menjadi al-fai' Allah untuk umat Islam.
Beberapa pernyataan dalam karya Ibn Adam menunjukkan bahwa kepemilikan atas tanah di daerah taklukkan beralih kepada umat Islam. Tetapi ada perbedaan antara al-amwal al-manqulah (harta bergerak) dengan harta tidak bergerak (amwal gair al-manqulah). Harta yang masuk dalam kategori pertama senantiasa di bawah penguasaan pemiliknya yang ada di daerah taklukkan. Sedangkan harta dalam kategori kedua seperti tanah pertanian, status kepemilikannya pindah ke tangan umat Islam. Kesimpulan ini dipahami dari kutipan di atas.
Pembedaan tersebut di kalangan pemikir muslim terutama teorikus ekonomi Islam sampai saat ini selalu muncul. Menurut mereka kepemilikan harta tidak bergerak (al-milkiyah al-'iqariyah) dikuasai oleh negara, sedangkan harta bergerak dikuasai oleh individu.
Dari sisi lain, menurut penuturan Ibn Adam bahwa penduduk tanah Sawad terutama tokoh-tokoh keturunan Persia yang tinggal di daerah taklukkan mengundurkan diri dari pemerintahan". Ketika posisi mereka digantikan oleh umat Islam, mereka menerima al-kharaj yang diwajibkan oleh Negara. Dengan demikian terjadi perjanjian jaminan keamanan (‘ahdun) antara mereka dengan umat Islam, sehingga status mereka menjadi ahl al-zimmah. Ikatan kuat antara penguasa baru (umat Islam) dengan hak kepemilikan yang menguasai sumber-sumber utama pendapatan dan memperoleh bagian dari pendapatan masyarakat, lebih didasari oleh perjanjian jaminan keamanan tersebut, dan ini bagian dari ciri-ciri konsep ekonomi Arab klasik.
Yahya Ibn Adam mengisyaratkan bahwa tanah yang ditaklukkan secara kekerasan beralih status menjadi tanah kharaj. Tetapi kalau pemiliknya menjadi penganut agama Islam, mereka dibebaskan dari kewajiban jizyat al-ra'as (pajak diri).[34] Pendapat ini membuka jalan bagi fiqh di Mesir. Misalnya mayoritas tanah pertanian selalu berstatus tanah kharaj meskipun penduduk Mesir telah menjadi penganut Islam dan banyak meninggalkan sektor pertanian.
Kharaj mengandung dimensi sosial bagi al-musytarakat al-qurowiyah (komunitas pedesaan). Kaum zimmi yang status ekonominya cukup bagus bertanggung jawab atas mereka yang miskin atau orang yang meninggal dunia. Baik Ibn Adam maupun Abu Yusuf sama-sama berpendapat bahwa al-kharaj menjadi sumber pendapatan negara terbesar. Namun demikian Ibn Adam juga berpendapat bahwa jizyat al-ra'as (pajak diri) dapat dikenakan terhadap kaum Yahudi baik laki-laki maupun perempuan, meskipun ini berupa pengecualian.
Sehubungan dengan ini, layak untuk diperhatikan bahwa Yahya Ibn Adam meriwayatkan dari Umar Ibn Khattab bahwa kalau tanah Sawad dibagikan maka jatah masing-masing muslim adalah tiga orang dari kaum petani tanah Sawad dan status penduduknya menjadi budak. Model pembagian seperti ini kurang tepat sehingga Umar menetapkan tanah Sawad untuk umat Islam, seraya berkata " da'hum yakununa maddatan lilmuslimin.
Pendapat tersebut sekaligus menjelaskan bahwa Yahya Ibn Adam melihat hubungan produksi dari dua kutub, akan tetapi keduanya tidak dapat dipisahkan: kaum zimmi saling menjamin (mutadhaminun) dalam membayar al-kharaj yang menjadi sarana pendapatan bersama bagi umat Islam.
Pendapat ini sejalan dengan pendapat Abu Yusuf. Bagi Ibn Adam al-kharaj dan al-jizyah dua hal dari satu permasalahan yaitu al-jizyah. Pertama adalah jizyat al-ardh (pajak bumi) dan kedua, jizyat alru'us (pajak diri). Membayar kharaj adalah indikasi perbudakan (dalalah ubudiyah) sama dengan membayar jizyatur ra'as (pajak diri). Itulah sebabnya, jizyah al-ra'as maupun al-kharaj tidak dibebankan kepada warga Arab yang muslim. Pembedaan-pembedaan ini akan ditemukan apabila kita membaca karya Ibn Adam secara seksama. Misalnya beliau mengatakan: "Kami dikabarkan oleh Ismail (...) Umar menulis kepada Sa'ad ketika dia menaklukkan Irak. Amma ba'du (...) sesungguhnya saya telah memerintahkan saudara untuk menyeru orang-orang agar masuk Islam selama tiga hari, maka barang siapa menyambut seruan dan masuk Islam sebelum berperang maka dia menjadi bagian dari masyarakat muslim dan mereka berhak atas semua harta mereka dan diri mereka dan mendapat bagian dalam Islam, barang siapa menerima seruan itu setelah berperang dan kalah maka dia adalah bagian dari masyarakat muslim dan mereka memiliki harta mereka karena telah menguasainya sejak sebelum mereka menganut Islam, (...). Dan 'usyur (bea cukai sebesar sepersepuluh) tidak dikenakan kepada orang Islam yang telah membayar zakat, atau kaum zimmi yang telah mengeluarkan jizyah sebagai kompensasi dari perlindungan keamanan. Karena al-'usayur diwajibkan bagi ahl harbi apabila mereka minta izin melakukan aktifitas bisnis di negara Islam.
Jelas sekali dari kutipan di atas, Ibn Adam membedakan antara orang dengan tanah yang dikuasainya, karena tanah maupun pemiliknya terikat pada salah satu status: tab'iyah (pengikut) atau al-hurriyah (merdeka). Apabila seseorang menganut Islam sebelum kalah berperang maka statusnya dan status tanah miliknya menjadi merdeka. Apabila seseorang menganut Islam setelah ditaklukkan maka orang tersebut menjadi merdeka, dan tanah miliknya mengikuti statusnya, namun dibebankan untuk membayar al-kharaj. Dan apabila seseorang tetap menganut agamanya, maka orang tersebut berstatus kaum zimmi yang harus mengealuarkan jizyat al-ra'as. Tetapi tanah tetap di bawah penguasaan mereka dengan kewajiban membayar al-kharaj.
Sehubungan dengan permasalahan tersebut, terpenting dalam konteks ini adalah hubungan kuat antara sumber ekonomi; alam dari satu sisi, dan manusia dari sisi lain. Keduanya adalah faktor produksi dan pertumbuhan. Berdasarkan fenomena ini, maka manusia maupun tanah dibiarkan dalam keadaan merdeka, atau dialihkan ke status tab'iyah (pengikut) yang masing-masing bersifat independen.
Masih terkait dengan permasalahan tersebut, menurut Ibn Adam: pedagang muslim atau kaum zimmi yang berdomisili di dar al-Islam tidak dibebankan untuk membayar beacukai. Pendapat ini sejauh pengetahuan kami hanya dikemukakan oleh Ibn Adam. Sedangkan penulis lain seperti Abu Yusuf dan Imam Syafi'i mewajibkan pajak kepada semua pedagang tanpa melihat agama yang dianut dan tempat tinggal mereka, walaupun pajak yang dibebankan tersebut secara kuantitatif terdapat perbedaan sesuai dengan status dan tingkat keberadaan mereka dalam negara Islam. Kedudukan pengusaha dari kaum zimmi atau dari kaum harbi misalnya, sangat istimewa bila dibandingkan dengan kedudukan petani dari kaum zimmi. Karena dua kelompok pertama mebayar 'usyr (sepersepuluh) atau separuhnya. Beban atas pembayaran tersebut tidak akan mencerminkan status mereka menjadi rendah di tengah masyarakat. Sementara kelompok ketiga (kalangan petani dari kaum zimmi) membayar al-kharaj sebagai salah satu bentuk al-jizyah. Membayar al-jizyah mencerminkan keberadaan status mereka yang rendah di tengah masyarakat. Adapun Ibn Adam memposisikan pengusaha kaum zimmi lebih istimewa hampir sejajar dengan pengusaha muslim karena mereka dibebaskan dari kewajiban pajak. Meskipun Ibn Adam sendiri dalam halaman berikutnya menyebutkan kebijakan Umar Ibn Khattab menetapkan " 'usyur atau separuhnya dari harta perdagangkan kaum zimmi). Tetapi pendapat Umar ini tidak dijadikan referensi oleh Ibn Adam.
Bersamaan dengan pengkategorisasian dan pengklasifikasian status penduduk di dalam negara Islam dan implikasi kewajibannya terhadap negara, Ibn Adam beberapa ide walaupun sebagian di antaranya ditolak. Misalnya pendapat yang tidak membolehkan seorang muslim membeli tanah kharajiyah dari seorang zimmi, karena pengalihan kepemilikan dengan cara jual beli terhadap tanah tersebut tidak dapat menggugurkan status tanah kharajiyah menjadi non kharajiyah. Dengan kata lain adanya transaksi jual beli tanah tersebut akan mewajibkan orang muslim mengeluarkan kharaj. Beban mengeluarkan kharaj ini merendahkan status muslim di dalam komunitas penduduk Dar al-Islam. Pendapat sebaliknya pun juga muncul. Umar misalnya memandang hal tersebut tidak memiliki konsekuensi apa pun. Senada dengan makna tersebut kita temukan dalam halaman-halaman yang lain. Pendapat lain misalnya, menyebutkan bahwa semua umat Islam memperoleh bagian dari al-fai', kecuali mereka yang berstatus hamba sahaya menurut sebagian pendapat. Pendapat-pendapat yang beragam ini – dan upaya Ibn Adam memaparkan pendapat-pendapat tersebut mencerminkan pleksebilitas pemikiran penulis, dan juga mencerminkan adanya pase transisi terhadap ide tersebut tergantung pada situasi yang ada. Hal ini, kata Sa’ad, efeknya sangat terasa di Mesir ketika mengalihkan status tanah pertanian dari kharajiyah menjadi usyuriyah, dan dari usyuriyah menjadi wakaf, kemudian kembali menjadi kharajiyah.
Adapun umat Islam diwajibkan untuk mengeluarkan zakat. Uraian tentang zakat terutama syarat, hukum dan lainnya banyak terungkap dalam karya Ibn Adam dan karya fuqaha' pada umumnya. Hanya saja sifat-sifat yang inheren pada zakat telah menafikan sifat al-daribah atau al-jibayah dalam zakat itu sendiri. Kalau al-daribah dan al-jibayah merupakan kewajiban yang ditetapkan negara kepada rakyat, maka zakat berada pada ruang lingkup hubungan-hubungan solidaritas yang lebih sederhana bagi setiap individu muslim. Oleh karena itu, meskipun ada hubungannya dengan pendapatan, namun agak sulit menempatkan zakat sebagai sumber pendapatan Negara.
Kesimpulan tersebut diperkuat oleh perkataan Ibn Adam "dari satu sisi zakat adalah bagian dari sadaqah, yaitu al-'usyr yang diwajibkan bagi umat Islam atas tanah non kharaj, dari sisi lain misalnya jizyah penduduk jazirah Arab tidak dapat diterima. Mereka harus memilih Islam atau dibunuh, tanah mereka berstatus 'usyur. Dengan demikian, pendapat Ibn Adam bahwa al-'usyur, zakat dan sadaqah mengandung makna yang saling berdekatan, atau satu sama lain saling berhubungan. Pendapat ini sangat umum di kalangan beberapa fuqaha'.
Meskipun zakat merupakan simbol dan memperkuat solidaritas bersama antara sesama muslim, namun zakat itu sendiri merupakan aktivitas simbolistis pada waktu tertentu sehingga tidak ada kepastian jumlah nominalnya seperti halnya al-kharaj dan al-jizyah. Yahya Ibn Adam menyebutkan zakat, menyusul ganimah dan seperlima di antaranya untuk Allah. Setelah itu Ibn Adam menyebutkan ratio zakat misalnya (al-‘usyr untuk zakat hasil pertanian dari sawah tadah hujan, dan hasil pertanian yang diairi oleh usaha manusia adalah nisfu al-usyr". Nas ini mengandung konsep dualistis yaitu hasil produksi alam, dan hasil kerja manusia: hasil pertanian yang diperoleh secara alami, zakatnya lebih besar dari pada hasil pertanian yang diperoleh dengan usaha manusia, ini dari satu sisi. Dari sisi lain, terdapat pembedaan keadaan individu masing-masing calon muzakki. Ini merupakan permasalahan yang selalu diulang dalam karya Ibn Adam ketika menghitung ratio zakat hasil bumi, hasil produksi, hewan ternak dan lain-lain.
Oleh karena itu tidaklah kebetulan jika dalam pembahasan tentang zakat, Ibn Adam memunculkan dua istilah yaitu al-qimah dan al-nafaqah. Padahal pemunculan kedua istilah tersebut pada saat mendiskusikan al-kharaj relatif jarang, kecuali pada rincian hitungan awal jumlah nominal yang harus dibayar setelah pengurangan (diskon) untuk memenuhi kebutuhan hidup kaum zimmi.
Bersamaan dengan perbedaan antara pajak tanah (al-kharaj al-ardh) dan zakat tanah (zakat al-ardh), ditemukan pula adanya peluang untuk menggabungkan keduanya. Disebutkan oleh Ibn Adam bahwa jika seorang muslim menyewa sebidang tanah kharaj: ada pendapat bahwa al-kharaj dibebankan kepada pemilik tanah dan zakat dibebankan kepada penyewa tanah yang muslim. Dalam waktu yang sama ada pendapat lain yang mengatakan bahwa kharaj maupun zakat dibebankan kepada penyewa. Bahkan ada kasus bahwa al-kharaj inklud dalam sadaqah khusus bagi suku (kabilah) bani Taglab yang beragama Kristen yang tanahnya berstatus 'usyuriyah. jadi tidak terkena al-kharaj, tetapi dha'fu al-'uayr (kelipatan dari 'usyur).
Konsep sadaqah dan jizyah semakin saling memasuki pada kasus beacukai yang diwajibkan bagi barang perdagangan (masalah ini juga kita temukan dalam karya Abu Yusuf). Tarip beacukai yang dikenakan kepada kaum muslim adalah rub'ul usyr, dan bagi kaum zimmi (yang tinggal di Dar al-Islam) nisfu al-'usyr, dan pedagang yang datang dari Dar al-harb dikenakan al-'usyr. Tarip beacukai ini tidak bersifat sukarela seperti halnya zakat, melainkan mirip dengan daribah (pajak). Akan tetapi dihitung atas dasar ajza' min al-'usyr (bagian-bagian ‘usyr) yang diwarnai dengan pewarnaan sadaqah seperti sudah disebutkan sebelumnya. Sadaqah adalah pemberian atas dasar solidaritas di kalangan umat Islam. Tentu saja, kedekatan sepersepuluh pajak ('asyr al-makas) dari sepersepuluh sadaqah lebih kuat bagi pengusaha muslim. Perbedaan antara muslim dengan non muslim dalam ratio pajak merupakan perbedaan yang bersifat kuantitatif bukan kualitatif (bagian-bagian dari al-'usyr). Hanya saja Ibn Adam memposisikan pajak bagi kaum zimmi dan kaum harbi "sama kedudukannya dengan al-fa'i karena konsekuensi dari perdamaian, jadi kedudukannya tidak sama dengan sadaqah, melainkan sama dengan al-kharaj dan al-jizyah".
Sepertinya Yahya Ibn Adam memfokuskan kekuasaan pada penguasa (imam) dengan cara ekstrim dibandingkan Abu Yusuf. Artinya penguasa diberi kebebasan penuh untuk melakukan sesuatu di daerah taklukkan. Dalam waktu yang sama beliau juga membebaskan hak kepada orang untuk menggali sumur di tempat-tempat sekitar daerah taklukkan tersebut.
Ide sebagian misi ekonomi menurut Ibn Adam melekat pada alat-alat negara atau pemerintah, khususnya ketika melakukan perintah untuk bercocok tanam pada tanah yang tidak diinginkan oleh seseorang. Namun dalam konteks penggarapan tanah kosong, Ibn Adam mengutamakan masyarakat secara personal. Merekalah yang harus berinisiatif dalam melakukan pekerjaan ini, bukan inisiatif dari alat pemerintah kecuali untuk melindungi kekayaan umum. Dia menghubungkan misi ekonomi dengan misi politik bagi aparat penguasa, yaitu mengantisipasi dan mencegah agar tidak terjadi kekacauan dan perselisihan internal yang dapat menimbulkan priksi di kalangan umat Islam. Mungkin dapat disimpulkan bahwa pendapat Ibn Adam tentang kepemilikan bersama atas kekayaan dasar (musytarokat al-strwat al-asasiyah) untuk menjamin agar tidak terjadi keretakan di dalam tubuh umat Islam. Sehubungan dengan ini, lagi-lagi Ibn Adam mengutip riwayat yang mengatakan bahwa Umar Ibn al-Khattab membagi-bagi tanah Sawad, kemudian terjadi perselisihan yang dapat mengancam persatuan umat Islam. akhirnya Umar menarik tanah-tanah tersebut dari umat Islam (sebagai pemilik baru).
Tema kekuasaan kemudian menggiring Ibn Adam mendiskusikan kepemilikan. Terdapat perbedaan antara kepemilikan harta bergerak (tidak tetap) dengan kepemilikan harta tidak bergerak (tetap) seperti bangunan dan lain-lain. Sepertinya kepemilikan terhadap barang yang bergerak tidak mengalami paersoalan serius, karena hak bagi pemilik harta tersebut sangat permanen walaupun bukan dalam arti mutlak mengingat ada kewajiban zakat dari satu sisi, dan pajak dari sisi lain. Akan tetapi kepemilikan terhadap harta tetap termasuk tanah mengalami persoalan dan menimbulkan polemik yang besar.
Ide yang mengatakan bahwa barang siapa menggarap lahan kosong dan irigasinya atau menjadikannya lahan produktif, maka orang itu berhak atas tanah tersebut "barang siapa menggarap lahan mati maka ia mempunyai hak atas tanah tersebut.
Akan tetapi menggarap tanah tidak selalu dengan cara bertanam, melainkan juga dengan cara mendirikan bangunan di atasnya atau dengan sekadar memagarnya. Masalah ini menunjukkan bahwa ihya’ al-mawat tidak mesti dengan menanam atau mendirikan bangunan, tetapi cukup juga dengan memberi tanda.
Namun hak untuk mengawasi atas tanah (ihya’) tersebut belum jelas dan tidak pasti karena mereka kadang-kadang hanya diberi prioritas, tidak lebih dari itu. Sehubungan dengan ini, Ibn Adam berkata: "akhbarana (…)anna 'adiyu al-ardh lillahi wa lirasulihi wa lakum min ba'du min man ahya syaian min mawatan al-ardh, fahuwa ahaqqu bihi".
Dengan metode yang sama juga terjadi pada rikaz. Ada pendapat yang menyebutkan arba'ata akhmasihi (empat dari seperlima) untuk penemu harta rikaz, al-khumus atau seperlima untuk imam (pemimpin) atau Bait al-mal. Pendapat lain juga mengatakan bahwa pemilik tanah tempat menemukan rikaz lebih berhak atas harta temuan tersebut. Dan ada juga pendapat bahwa barang tambang yang ditemukan tersebut menjadi milik orang yang menemukannya, muslim mapun non muslim yang terikat perjanjian dengan pemerintah muslim.
Terakhir dalam tulisan ini, memaparkan bahwa hak kepemilikan atas tanah menurut Ibn Adam tunduk pada sejumlah syarat, jadi tidak bersifat mutlak. Namun yang paling penting adalah syarat yang berhubungan dengan pengelolaan tanah seperti menanaminya dan lain sebagainya. Sehubungan dengan ini Ibn Adam menyebutkan riwayat dari Abdullah Ibn Abi Bakar bahwa Nabi Muhammad SW memberikan tanah yang luas kepada Bilal Ibn Haris al-Muzani. Bilal tidak menanami keseluruhan tanah tersebut, maka Umar berusaha meyakinkan Bilal agar melepas sebagian tanah itu. Ternyata Bilal enggan melepas tanah tersebut. Tetapi karena Bilal tidak mampu menggarapnya, maka tanah itu pun dibagi-bagi kepada sejumlah umat Islam.
Dari pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa Yahya Ibn Adam tidak hanya mengedepankan konsep ekonomi an sich, tetapi juga konsep keagamaan dan militer.
D. Penutup
Abu Yusuf dan Ibn Adam memiliki perbedaan metodologis dalam menulis al-Kharaj. Abu Yusuf lebih rasional dalam mengungkapkan dalil-dalil, dan rumusan fiqh ekonominya lebih realistis dan independen. Sementara Ibn Adam memperkuat fiqh ekonominya dengan argumen-argumen tekstual mengacu kepada ahadis dan ahdas tanpa melakukan kritik eksternal dan internal terhadapnya.
Al-Kharaj, menurut mereka mengandung makna umum yaitu sumber-sumber pendapatan negara, dan makna khusus yaitu pajak tanah. al-Kharaj dan al-jizyah dibebankan kepada kaum zimmi, sementara kaum muslim diwajibkan mengeluarkan zakat sebagai simbol solidaritas antar sesama muslim.Namun demikian, al-kharaj, jizyah dan zakat menurut Ibn Adam mengandung makna yang berdekatan. Akan tetapi sifat-sifat inhern pada zakat menafikan persamaan zakat dengan al-kharaj dan al-jizyah.
Daftar Rujukan
Asmuni.. http://msi-uii.net. Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf dan Ibn Adam: Eksplorasi awal tentang konsep sumber keuangan Negara. Diakses pada tanggal 26 April 2010.
Damanhur. http://www.acehforum.or.id. Pengawasan Keuangan Dalam Ekonomi Islam. Diakses pada tanggal 9 Mei 2010.
http://hauzahrinjani.com. Pemikiran Ekonomi Abu yusuf dan ibn Adam. Diakses pada tanggal 9 Mei 2010.
Eksplorasi awal tentang konsep sumber keuangan Negara
A. Pendahuluan
Rasulullah saw telah meletakkan dasar sistem moneter dengan menjadikan uang sebagai alat penukar yang bersifat umum untuk membenarkan pertukaran barter sejenis. Oleh sebab itu, masyarakat Islam telah lama menggunakan uang sebagai media transaksi, berbeda dengan negara-negara di eropa, sisitem ini baru diterapkan di akhir abad pertengahan kehadiran Islam. Buku ”The Wealth Nation” yang ditulis Adam Smith merupakan salah satu upaya dalam melanjutkan sistem keuangan, juga menjelaskan konsep negara dalam mengatur kehidupan ekonomi, sumber-sumber anggaran negara dan proses alokasi dana bagi kesejahteraan masyarakat.
Diawal tahun 30-an peran negara hanya terbatas pada pengelolaan sumber-sumber anggaran dan proses alokasi dana dalam memenuhi kehidupan pablik, negara tidak mampu menentukan kebijakan ekonomi, ini disebabkan sistem ekonomi yang berkembang menganut prinsip kebebasan individu atau disebut juga dengan aliran kapitalis. Karena kecewa terhadap sistem kapitalis yang gagal mewujudkan nilai kejahteraan terhadap maasyarakat serta diiringi dengan krisis interval perang dunia menyebabkan timbulnya sistem sosisalis, semua hak kepemilikan dimiliki oleh negara, mereka menilai perlunya intervensi pemerintah dalam segala hal untuk mewujudkan sejahteraaan kehidupan ekonomi, namun sistem ini juga gagal dalam mewujudkan tujuan utamanya.
Secara keilmuan kita beriktikad baik terhadap mereka yang sudah berupaya untuk mencipkatan teori baru untuk mewujudkan kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat, walaupun kesemua teori tersebut gagal mencapai tujuan utamanya, sehingga menjadi intropeksi bagi ummat Islam, bukankah Islam sudah mengatur dasar-dasar keuangan dan bagaimanakah pengawasan keuangan dalam Islam sehingga Islam mencapai masa keemasannya.
Negara Islam terbentuk setelah Rasulullah saw melakukan hijrah dan menetap di Madinah, perkembangan infrastuktur keuangan Islam seiring dengan perluasan daerah Islam dan perkembangannya. Pada awalnya keuangan negara Islam sangat lemah hal ini dapat dilihat dari situasi peperangan Badr al-Kubra dimana ummat Islam hanya memilki 17 ekor unta dan 2 ekor kuda sedangkan jumlah keseluruhan pasukan tidak lebih dari 350 orang.
Setelah penaklukan terhadap Bani Nadhir barulah ada nafas baru bagi perekonomian umat Islam. Akan tetapi masih belum mencakupi untuk mencakupi semua kebutuhan umat Islam baik untuk keperluan menjalakan roda pemerintahan atau untuk peperangan. Hasil yang diperolehi dari tanah bani nadhir dan pendapatan yang diperolehi dari waktu kewaktu disimpan pada satu tempat untuk masa tanggap darurat, sedangkan pendapatan yang diperoleh dari fai, kharaj didistribusikan langsung tanpa disimpan.
Dari uraian diatas dapat kita pahami bahwasanya sistem keuangan sudah diatur dalam pemerintahan Islam sejak zaman Rasulullah saw, hal ini dbuktikan dengan adanya tempat menyimpan harta pendapatan negara, walau sebagian harta lainnya ada yang langsung didistribusikan kepada sahabat yang berhak menerimanya.
Namun pembahasan keuangan negara secara sistematis pertama sekali dilakaukan oleh Abu Yusuf dengan judul bukunya al-Kharaj, ini merupakan permintaan Khalifah Harun ar-Rasyid untuk merumuskan kebijakan keuangan negara, tidak lama kemudian Yahya Ibn Adam menunis sebuah buku yang dinamakan juga dengan al-Kharaj, setelah itu dibahas secara mendalam oleh Imam Syafi’i dalam kitabnya al-Um. Kemudia Abu ’Abid Ibn Salam menyusun materi yang sama dalam sebuah buku yang dinamakan dengan al-Amwal, proses tersebut terjadi pada akhir abad 2 hijriah sampai dengan awal abad 3 hijriah.
Begitu juga dengan karya-karya lainnya seperti Tarikh ad-Daulah al-Islamiyah oleh imam Tabari, begitu juga dengan karya Ibn Atsir, ada sebagian cendikiawan yang mengkatagorikan karya mereka lebih condong kepada politik dan peperangan, atau identik dengan kajian historis, namun tidak sedikit kita jumpai keterangan-keterangan yang berhubungan dengan ekonomi, diantara cendikiawan muslim yang telah banyak memberi kontribusi dalam keilmuan ekonomi dan keuangan ialah al-Maqrizi, Ibn Khaldun, dan Ibn Khardazabah.
Walaupun demikian isu-isu yang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara perspektif konvensional, bank, saham, asuransi, pengenalan uang kertas di negara-negara Islam telah menyebabkan para fuqaha berhadapan dengan berbagai permasalahan yang harus dijawab.
Beberapa tahun pasca Abu Yusuf, muncul pula kitab al-kharaj karya Yahya Ibn Adam al-Qurasyi (140 H/-203/818 M). Buku ini termasuk yang ketiga dalam bidang ekonomi setelah kitab al-Amwal karya Abu Ubaid. Walaupun kebanyakan ahli biografi ulama (al-tarajum) tidak mengetahui tahun lahir Ibn Adam, namun dapat dipastikan beliu hidup pada abad ke II H, semasa dengan Abu Yusuf dan meninggal tahun 203 H. Jumlah guru Ibn Adam menurut catatan Ahmad Syakir sebanyak 90 orang antara lain al-Hasan Ibn Soleh. Mereka kemudian menjadi matarantai (sanad) hadis yang memperkuat kualitas akademik al-kharaj. Muridnya antara lain imam Ahmad Ibn Hanbal, Ishaq Ibn Rahawaih, dan Ali Ibn al-Madini. Beliau tercatat sebagai ahli hadis yang mendapat pujian dari Ibn Ma'in, Nasa'i, dan Ali ibn al-Madini. Kalau Abu Yusuf dikenal ahli fiqh aliran ra'y, maka Ibn Adam akrab dengan argumen-argumen tekstual terutama hadis, keputusan maupun kebijakan para khalifah terdahulu.
Uraian di atas memunculkan beberapa pertanyaan antara lain: metode apakah yang digunakan oleh Ibn Adam dalam menulis karya al-kharaj? Adakah perbedaan konsep al-kharaj menurut Abu Yusuf dan Ibn Adam? Tulisan ini akan berusaha untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut.
B. Metode Abu Yusuf dan Ibn Adam dalam al-Kharaj
Abu Yusuf menjadi salah satu dari dua referensi utama fiqh dalam mazhab Hanafi. Pengetahuannya tentang hadis juga tidak dapat diremehkan. Ini terlihat dalam kitab al-Asar karya putranya Yusuf. Kitab ini sarat dengan wacana fiqh Abu Hanifah dan Abu Yusuf.
Keunggulan karya Abu Yusuf dalam bidang fiqh karena ditulis dengan metode: Pertama, menggabungkan metode fuqaha' (aliran ra'y) di Kufah dengan metode fuqaha' (aliran al-hadis) di Madinah. Kedua, rumusan hukumnya sejalan dengan fenomena aktual di tengah masyarakat sehingga sangat aplikatif dan realistis. Pengalamannya dalam menyelesaikan kasus-kasus rill, membuatnya banyak menghindar dari rumusan fiqh yang asumtif. Ketiga, bebas dalam berpendapat. Kemampuan Abu Yusuf menggabungkan metode fuqaha' aliran ra'yi dan aliran hadis membentuknya menjadi faqih independen, tidak berpihak kepada pendapat tertentu secara subyektif. Beliau melakukan ijtihad secara mandiri dan tidak terpengaruh oleh pendapat guru-gurunya. Keempat, komitmen pada sumber-sumber tekstual dan rasional. Metode ini menjadi tradsisi para ulama ahl al-ra'y yang menggunakan nalar qiyas dan nalar istihsan serta mempertimbangkan al-'urf (tradisi masyarakat yang baik).
Dalam bidang ekonomi , terutama dalam kitab al-kharaj, Abu Yusuf pun menggunakan motode-metode tersebut.i Kitab al-Kharaj, merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh khalifah Harun al-Rasyid dan pertanyaan-pertanyaan yang dibuat sendiri oleh Abu Yusuf. Jawaban atas semua pertanyaan tersebut diperkuat oleh dalil-dalil aqli dan naqli sehingga lebih unggul secara akademik dari pada kitab al-Kharaj karya Ibn Adam yang hanya diperkuat oleh dalil-dalil naqli tanpa memberi kesempatan kepada nalar. Metode Ibn Adam yang mengunggulkan dokumentasi (tausiq) riwayat telah menyeretnya menggunakan hadis da'if, dan menukil pendapat sahabat dan tabi'in dalam jumlah yang cukup banyak tanpa melakukan kritik eksternal (sanad) dan internal (matan) terhadapnya. Sebaliknya, Abu Yusuf menggunakan pendekatan rasional dalam menyimpulkan 'ilal al-hadis. Sehingga kualitas hadis dalam al-kharaj karya Abu Yusuf lebih sahih ketimbang dalam kitab al-kharaj karya Ibn Adam. Tentu saja Abu Yusuf tidak mengabaikan praktek faktual para sahabat (a'mal al-sahabah) sejauh itu relevan dengan situasi yang ada mengingat kemaslahatan umum selalu menjadi pertimbangan utama.
Istilah al-kharaj dalam prespektif Abu Yusuf mengandung dua makna: pertama, makna yang berdimensi umum yaitu al-amwal al-'ammah (keuangan umum), atau sumber pendapatan negara. Hal ini terlihat ketika Abu Yusuf mendiskusikan tema-tema yang berkaitan dengan sumber pendapatan negara seperti ganimah, fai', al-kharaj, al-jzyah, dan harta-harta yang berkedudukan sebagai pengganti seperti al-kharaj seperti 'usyur al-tijarah, dan sadaqah.
Kedua, makna al-kharaj yang berdimensi khusus terlihat ketika beliau menyebutkan sewa tanah atau kompensasi atas pemanfaatan tanah. Kedua dimensi makna al-kharaj tersebut ditemukan pula dalam karya Ibn Adam dan Abu Ubaid. Dengan demikan, istilah al-amwal sinonim dengan istilah al-kharaj yaitu keuangan umum atau sumber pendapatan negara. Pemaknaan al-kharaj secara sempit dan khusus, kata Dhiya' al-Din al-Ris muncul dan dipelopori oleh fuqaha' pasca Abu Yusuf, tetapi pemunculan tersebut tidak mempengaruhi makna dasar al-kharaj.[12]
C. Fiqh Ekonomi Ibn Adam
Kitab al-Kharaj Karya Ibn Adam tidak jauh berbeda dengan al-Kharaj karya Abu Yusuf kecuali pada aspek metode kontruksi terhadap dalil. Abu Yusuf menekankan argumen rasional, sementara Ibn Adam mengacu pada ahadis dan ahdas (hadis dan kebijakan politik pemerintah dalam menghadapi kasus-kasus sebelumnya). Karya Ibn Adam sarat dengan berbagai perbedaan pendapat. Metode penulisan seperti ini, dari satu sisi sangat bagus karena merekam berbagai wacana secara komprehensif. Namun dari sisi lain, dapat membingungkan pembaca karena penulis tidak mengemukakan pendapat secara cermat dan independen yang mencerminkan kpribadian ilmiahnya. Pemandangan seperti ini dalam karya Ibn Adam, terlihat sangat mengasyikkan.
Konsep kebersamaan dalam kehidupan ekonomi (musytarakiyat al-hayat al-iqtisadiyah) dalam karya Ibn Adam muncul ketika beliau mendiskusikan penduduk pedesaan yang satu sama lain saling menjamin pada pajak tanah (jizyah al-ardh) di hadapan kaum muslim yang saling menjamin pula.
Ibn Adam selalu menegaskan al-musytarakiyah (kebersamaan) dengan berbagai pihak yang berbeda agama seperti (umat muslim, kaum zimmi dan kebersamaan yang bersifat lokal seperti penduduk desa dan kota. Beliau juga sering menegaskan berbagai macam perlakuan pada jibayah (penarikan pajak) sesuai dengan karakteristik daerah, bentuk kesepakatan, perjanjian dan keadaan penduduk.
Ibn Adam menyebutkan konsep al-qimah (harga) dan al-nafaqah (beaya hidup) atau al-taklifah. Kedua konsep tersebut hampir tidak ada di benak Abu Yusuf. Hal ini menunjukkan bahwa Ibn Adam menyadari pentingnya keberadaan pasar sebagai unsur prekonomian makro dan merupakan unsur yang menyatukan antara elemen-elemen yang membentuk al-musytarakiyah tersebut.
Baik Ibn Adam maupun Abu Yusuf sepakat pada unsur-unsur yang menggerakkan prekonomian, dan urutan prioritas sumber-sumber ekonomi: al-thabi’ah (sumber alam) dan al-‘amal al-insani (tenaga kerja ). Harta yang dibebankan atas tanah akan menjadi al-kharaj (jizyah) apabila dapat dijangkau oleh air sungai yang berstatus kharaj. Pernyataan ini menegaskan karakteristik air yang dapat melakukan aktivitas produksi secara mandiri.
Agama, masyarakat muslim, kekuasaan dan peran pemimpin, menurut Ibn Adam merupakan unsur-unsur pemersatu dan pengikat antara elemen-elemen yang membentuk bangunan masyarakat dan politik yang ada pada saat itu. Beliau berkata: dari (...) dari (...) barang siapa membuat perjanjian jaminan keamanan maka diyatnya (denda dalam kasus pembunuhan) disamakan dengan diyat muslim. Berdasarkan kutipan ini, Ibn Adam ingin menegaskan bahwa umat Islam bergabung sepenuhnya ke dalam al-musytarakat al-zimmiyah (komunitas kaum zimmi) yang ada di dalam negara Islam. Dengan demikian, kaum zimmi menjadi bagian dari warga negara. Hal serupa juga diungkapkan oleh Abu Yusuf. Beliau mengatakan bahwa bait al-mal wajib menanggung kebutuhan kaum zimmi yang lemah bekerja apabila komunitasnya tidak mampu menanggungnya. Pernyataan ini secara otomatis menjadikan kaum zimmi menjadi bagian dari komunitas "islami".
Akan tetapi yang paling penting dalam karya Ibn Adam adalah konsep yang berkaitan dengan hubungan-hubungan internal atau dalam istilah modern disebut "hubungan-hubungan produksi (hubungan-hubungan yang berimplikasi pada pembagian dan pendistribusian hasil produksi masyarakat). Hal ini tentu sangat wajar karena judul karyanya adalah al-kharaj yaitu pajak tanah (jaziyat al-ardh). Ibn Adam seperti juga halnya dengan Abu Yusuf memasukkan konsep pajak diri (jiziyat al-ra'as)., ganimah, al-'usyur sodaqah, zakat dan bea cukai, sebagai sarana pendapatan umat Islam pada masa itu.
Menurut Ibn Adam al-kharaj adalah lembaga yang eksis pada masa imperium Persia sebelum bangsa Arab menaklukkan dan menguasai tanah Sawad: "Mereka meninggalkan tanah dan penduduk Sawad dan mewajibkan kepada penduduknya untuk membayar jizyah. Mengukur lahan (tanah) yang mereka miliki, kemudian menetapkan pajaknya. Selain itu, mereka mengambil tanah yang belum dimiliki oleh seseorang dan menyerahkannya kepada imam atau penguasa.
Dengan demikian, al-kharaj di daerah-daerah yang dikuasai Persia, dan al-jizyah di daerah-daerah yang dikuasai Bizantium Romawi bukanlah permasalahan baru pada saat itu. Namun yang baru adalah penafsiran khusus dan pelembagaan hukum agama yang dikontruksi oleh Ibn Adam yang berkaitan dengan al-kharaj dan al-jizyah. Hal serupa dilakukan pula oleh Abu Yusuf, dengan mengistimbathkan dua model jizyah dari prinsip-prinsip pembagian al-ganimah dan menjadikannya seperlima serta memperoleh al-fai'. Hal inilah yang didiskusikan Ibn Adam sejak halaman-halamann pertama kitab al-kharaj. Dalam konteks ini Ibn Adam menyebutkan hadis yang berbunyi "Allah menjadikan rezki umat ini pada ujung kuku kudanya, dan kepala panahnya selama mereka tidak bertanam, apabila mereka bertanam maka mereka sama dengan orang lain. Dari hadis tersebut dapat dipahami bahwa jihad telah menganugerahi umat Islam posisi dan status yang istimewa. Mereka juga berhak atas berbagai bentuk jizyah dan ganimah. Ibn Adam juga merujk kepada sejumlah ayat-ayat yang khusus membicarakan khumus (seperlima) dan al-fai' dan perbedaan antara keduanya dengan pembagian ganimah, dan menyimpulkan dari ayat-ayat tersebut kemungkinan mengalihkan tanah-tanah pertanian di daerah taklukkan untuk kepentingan umat Islam dan generasi mereka yang akan datang.
Kaum al-Wasani (penyembah berhala) yang enggan masuk Islam diperangi, seperti juga halnya dengan kaum al-Kitabi (Yahudi dan Kristen), kecuali dua kelompok penganut agama yang samawi terakhir ini sanggup membayar jizyah. Penulis tidak mengedepankan uraian yang memuaskan mengapa terjadi perbedaan perlakuan antara kaum al-Wasani dengan kaum al-Kitabi.
Kaum zimmi yang membayar al-kharaj dan jizyah, senantiasa menguasai kepemilikan atas tanah-tanah mereka, dan juga tidak akan menjadi raqa'iq (budak), tetapi masuk ke dalam kelompok tab'iyah (pengikut) kaum muslim dengan perjanjian zimmah. Tetapi kalau mereka tidak membayar al-kharaj, kepemilikan mereka terhadap tanah sewaktu-waktu dapat dicabut.
"Dari Umar Ibn Abdul Aziz, beliau pernah menulis bahwa penduduk daerah mana pun yang masuk Islam, mereka mendapatkan keluarga dan harta mereka. Sedangkan rumah dan tanah menjadi al-fai' Allah untuk umat Islam.
Beberapa pernyataan dalam karya Ibn Adam menunjukkan bahwa kepemilikan atas tanah di daerah taklukkan beralih kepada umat Islam. Tetapi ada perbedaan antara al-amwal al-manqulah (harta bergerak) dengan harta tidak bergerak (amwal gair al-manqulah). Harta yang masuk dalam kategori pertama senantiasa di bawah penguasaan pemiliknya yang ada di daerah taklukkan. Sedangkan harta dalam kategori kedua seperti tanah pertanian, status kepemilikannya pindah ke tangan umat Islam. Kesimpulan ini dipahami dari kutipan di atas.
Pembedaan tersebut di kalangan pemikir muslim terutama teorikus ekonomi Islam sampai saat ini selalu muncul. Menurut mereka kepemilikan harta tidak bergerak (al-milkiyah al-'iqariyah) dikuasai oleh negara, sedangkan harta bergerak dikuasai oleh individu.
Dari sisi lain, menurut penuturan Ibn Adam bahwa penduduk tanah Sawad terutama tokoh-tokoh keturunan Persia yang tinggal di daerah taklukkan mengundurkan diri dari pemerintahan". Ketika posisi mereka digantikan oleh umat Islam, mereka menerima al-kharaj yang diwajibkan oleh Negara. Dengan demikian terjadi perjanjian jaminan keamanan (‘ahdun) antara mereka dengan umat Islam, sehingga status mereka menjadi ahl al-zimmah. Ikatan kuat antara penguasa baru (umat Islam) dengan hak kepemilikan yang menguasai sumber-sumber utama pendapatan dan memperoleh bagian dari pendapatan masyarakat, lebih didasari oleh perjanjian jaminan keamanan tersebut, dan ini bagian dari ciri-ciri konsep ekonomi Arab klasik.
Yahya Ibn Adam mengisyaratkan bahwa tanah yang ditaklukkan secara kekerasan beralih status menjadi tanah kharaj. Tetapi kalau pemiliknya menjadi penganut agama Islam, mereka dibebaskan dari kewajiban jizyat al-ra'as (pajak diri).[34] Pendapat ini membuka jalan bagi fiqh di Mesir. Misalnya mayoritas tanah pertanian selalu berstatus tanah kharaj meskipun penduduk Mesir telah menjadi penganut Islam dan banyak meninggalkan sektor pertanian.
Kharaj mengandung dimensi sosial bagi al-musytarakat al-qurowiyah (komunitas pedesaan). Kaum zimmi yang status ekonominya cukup bagus bertanggung jawab atas mereka yang miskin atau orang yang meninggal dunia. Baik Ibn Adam maupun Abu Yusuf sama-sama berpendapat bahwa al-kharaj menjadi sumber pendapatan negara terbesar. Namun demikian Ibn Adam juga berpendapat bahwa jizyat al-ra'as (pajak diri) dapat dikenakan terhadap kaum Yahudi baik laki-laki maupun perempuan, meskipun ini berupa pengecualian.
Sehubungan dengan ini, layak untuk diperhatikan bahwa Yahya Ibn Adam meriwayatkan dari Umar Ibn Khattab bahwa kalau tanah Sawad dibagikan maka jatah masing-masing muslim adalah tiga orang dari kaum petani tanah Sawad dan status penduduknya menjadi budak. Model pembagian seperti ini kurang tepat sehingga Umar menetapkan tanah Sawad untuk umat Islam, seraya berkata " da'hum yakununa maddatan lilmuslimin.
Pendapat tersebut sekaligus menjelaskan bahwa Yahya Ibn Adam melihat hubungan produksi dari dua kutub, akan tetapi keduanya tidak dapat dipisahkan: kaum zimmi saling menjamin (mutadhaminun) dalam membayar al-kharaj yang menjadi sarana pendapatan bersama bagi umat Islam.
Pendapat ini sejalan dengan pendapat Abu Yusuf. Bagi Ibn Adam al-kharaj dan al-jizyah dua hal dari satu permasalahan yaitu al-jizyah. Pertama adalah jizyat al-ardh (pajak bumi) dan kedua, jizyat alru'us (pajak diri). Membayar kharaj adalah indikasi perbudakan (dalalah ubudiyah) sama dengan membayar jizyatur ra'as (pajak diri). Itulah sebabnya, jizyah al-ra'as maupun al-kharaj tidak dibebankan kepada warga Arab yang muslim. Pembedaan-pembedaan ini akan ditemukan apabila kita membaca karya Ibn Adam secara seksama. Misalnya beliau mengatakan: "Kami dikabarkan oleh Ismail (...) Umar menulis kepada Sa'ad ketika dia menaklukkan Irak. Amma ba'du (...) sesungguhnya saya telah memerintahkan saudara untuk menyeru orang-orang agar masuk Islam selama tiga hari, maka barang siapa menyambut seruan dan masuk Islam sebelum berperang maka dia menjadi bagian dari masyarakat muslim dan mereka berhak atas semua harta mereka dan diri mereka dan mendapat bagian dalam Islam, barang siapa menerima seruan itu setelah berperang dan kalah maka dia adalah bagian dari masyarakat muslim dan mereka memiliki harta mereka karena telah menguasainya sejak sebelum mereka menganut Islam, (...). Dan 'usyur (bea cukai sebesar sepersepuluh) tidak dikenakan kepada orang Islam yang telah membayar zakat, atau kaum zimmi yang telah mengeluarkan jizyah sebagai kompensasi dari perlindungan keamanan. Karena al-'usayur diwajibkan bagi ahl harbi apabila mereka minta izin melakukan aktifitas bisnis di negara Islam.
Jelas sekali dari kutipan di atas, Ibn Adam membedakan antara orang dengan tanah yang dikuasainya, karena tanah maupun pemiliknya terikat pada salah satu status: tab'iyah (pengikut) atau al-hurriyah (merdeka). Apabila seseorang menganut Islam sebelum kalah berperang maka statusnya dan status tanah miliknya menjadi merdeka. Apabila seseorang menganut Islam setelah ditaklukkan maka orang tersebut menjadi merdeka, dan tanah miliknya mengikuti statusnya, namun dibebankan untuk membayar al-kharaj. Dan apabila seseorang tetap menganut agamanya, maka orang tersebut berstatus kaum zimmi yang harus mengealuarkan jizyat al-ra'as. Tetapi tanah tetap di bawah penguasaan mereka dengan kewajiban membayar al-kharaj.
Sehubungan dengan permasalahan tersebut, terpenting dalam konteks ini adalah hubungan kuat antara sumber ekonomi; alam dari satu sisi, dan manusia dari sisi lain. Keduanya adalah faktor produksi dan pertumbuhan. Berdasarkan fenomena ini, maka manusia maupun tanah dibiarkan dalam keadaan merdeka, atau dialihkan ke status tab'iyah (pengikut) yang masing-masing bersifat independen.
Masih terkait dengan permasalahan tersebut, menurut Ibn Adam: pedagang muslim atau kaum zimmi yang berdomisili di dar al-Islam tidak dibebankan untuk membayar beacukai. Pendapat ini sejauh pengetahuan kami hanya dikemukakan oleh Ibn Adam. Sedangkan penulis lain seperti Abu Yusuf dan Imam Syafi'i mewajibkan pajak kepada semua pedagang tanpa melihat agama yang dianut dan tempat tinggal mereka, walaupun pajak yang dibebankan tersebut secara kuantitatif terdapat perbedaan sesuai dengan status dan tingkat keberadaan mereka dalam negara Islam. Kedudukan pengusaha dari kaum zimmi atau dari kaum harbi misalnya, sangat istimewa bila dibandingkan dengan kedudukan petani dari kaum zimmi. Karena dua kelompok pertama mebayar 'usyr (sepersepuluh) atau separuhnya. Beban atas pembayaran tersebut tidak akan mencerminkan status mereka menjadi rendah di tengah masyarakat. Sementara kelompok ketiga (kalangan petani dari kaum zimmi) membayar al-kharaj sebagai salah satu bentuk al-jizyah. Membayar al-jizyah mencerminkan keberadaan status mereka yang rendah di tengah masyarakat. Adapun Ibn Adam memposisikan pengusaha kaum zimmi lebih istimewa hampir sejajar dengan pengusaha muslim karena mereka dibebaskan dari kewajiban pajak. Meskipun Ibn Adam sendiri dalam halaman berikutnya menyebutkan kebijakan Umar Ibn Khattab menetapkan " 'usyur atau separuhnya dari harta perdagangkan kaum zimmi). Tetapi pendapat Umar ini tidak dijadikan referensi oleh Ibn Adam.
Bersamaan dengan pengkategorisasian dan pengklasifikasian status penduduk di dalam negara Islam dan implikasi kewajibannya terhadap negara, Ibn Adam beberapa ide walaupun sebagian di antaranya ditolak. Misalnya pendapat yang tidak membolehkan seorang muslim membeli tanah kharajiyah dari seorang zimmi, karena pengalihan kepemilikan dengan cara jual beli terhadap tanah tersebut tidak dapat menggugurkan status tanah kharajiyah menjadi non kharajiyah. Dengan kata lain adanya transaksi jual beli tanah tersebut akan mewajibkan orang muslim mengeluarkan kharaj. Beban mengeluarkan kharaj ini merendahkan status muslim di dalam komunitas penduduk Dar al-Islam. Pendapat sebaliknya pun juga muncul. Umar misalnya memandang hal tersebut tidak memiliki konsekuensi apa pun. Senada dengan makna tersebut kita temukan dalam halaman-halaman yang lain. Pendapat lain misalnya, menyebutkan bahwa semua umat Islam memperoleh bagian dari al-fai', kecuali mereka yang berstatus hamba sahaya menurut sebagian pendapat. Pendapat-pendapat yang beragam ini – dan upaya Ibn Adam memaparkan pendapat-pendapat tersebut mencerminkan pleksebilitas pemikiran penulis, dan juga mencerminkan adanya pase transisi terhadap ide tersebut tergantung pada situasi yang ada. Hal ini, kata Sa’ad, efeknya sangat terasa di Mesir ketika mengalihkan status tanah pertanian dari kharajiyah menjadi usyuriyah, dan dari usyuriyah menjadi wakaf, kemudian kembali menjadi kharajiyah.
Adapun umat Islam diwajibkan untuk mengeluarkan zakat. Uraian tentang zakat terutama syarat, hukum dan lainnya banyak terungkap dalam karya Ibn Adam dan karya fuqaha' pada umumnya. Hanya saja sifat-sifat yang inheren pada zakat telah menafikan sifat al-daribah atau al-jibayah dalam zakat itu sendiri. Kalau al-daribah dan al-jibayah merupakan kewajiban yang ditetapkan negara kepada rakyat, maka zakat berada pada ruang lingkup hubungan-hubungan solidaritas yang lebih sederhana bagi setiap individu muslim. Oleh karena itu, meskipun ada hubungannya dengan pendapatan, namun agak sulit menempatkan zakat sebagai sumber pendapatan Negara.
Kesimpulan tersebut diperkuat oleh perkataan Ibn Adam "dari satu sisi zakat adalah bagian dari sadaqah, yaitu al-'usyr yang diwajibkan bagi umat Islam atas tanah non kharaj, dari sisi lain misalnya jizyah penduduk jazirah Arab tidak dapat diterima. Mereka harus memilih Islam atau dibunuh, tanah mereka berstatus 'usyur. Dengan demikian, pendapat Ibn Adam bahwa al-'usyur, zakat dan sadaqah mengandung makna yang saling berdekatan, atau satu sama lain saling berhubungan. Pendapat ini sangat umum di kalangan beberapa fuqaha'.
Meskipun zakat merupakan simbol dan memperkuat solidaritas bersama antara sesama muslim, namun zakat itu sendiri merupakan aktivitas simbolistis pada waktu tertentu sehingga tidak ada kepastian jumlah nominalnya seperti halnya al-kharaj dan al-jizyah. Yahya Ibn Adam menyebutkan zakat, menyusul ganimah dan seperlima di antaranya untuk Allah. Setelah itu Ibn Adam menyebutkan ratio zakat misalnya (al-‘usyr untuk zakat hasil pertanian dari sawah tadah hujan, dan hasil pertanian yang diairi oleh usaha manusia adalah nisfu al-usyr". Nas ini mengandung konsep dualistis yaitu hasil produksi alam, dan hasil kerja manusia: hasil pertanian yang diperoleh secara alami, zakatnya lebih besar dari pada hasil pertanian yang diperoleh dengan usaha manusia, ini dari satu sisi. Dari sisi lain, terdapat pembedaan keadaan individu masing-masing calon muzakki. Ini merupakan permasalahan yang selalu diulang dalam karya Ibn Adam ketika menghitung ratio zakat hasil bumi, hasil produksi, hewan ternak dan lain-lain.
Oleh karena itu tidaklah kebetulan jika dalam pembahasan tentang zakat, Ibn Adam memunculkan dua istilah yaitu al-qimah dan al-nafaqah. Padahal pemunculan kedua istilah tersebut pada saat mendiskusikan al-kharaj relatif jarang, kecuali pada rincian hitungan awal jumlah nominal yang harus dibayar setelah pengurangan (diskon) untuk memenuhi kebutuhan hidup kaum zimmi.
Bersamaan dengan perbedaan antara pajak tanah (al-kharaj al-ardh) dan zakat tanah (zakat al-ardh), ditemukan pula adanya peluang untuk menggabungkan keduanya. Disebutkan oleh Ibn Adam bahwa jika seorang muslim menyewa sebidang tanah kharaj: ada pendapat bahwa al-kharaj dibebankan kepada pemilik tanah dan zakat dibebankan kepada penyewa tanah yang muslim. Dalam waktu yang sama ada pendapat lain yang mengatakan bahwa kharaj maupun zakat dibebankan kepada penyewa. Bahkan ada kasus bahwa al-kharaj inklud dalam sadaqah khusus bagi suku (kabilah) bani Taglab yang beragama Kristen yang tanahnya berstatus 'usyuriyah. jadi tidak terkena al-kharaj, tetapi dha'fu al-'uayr (kelipatan dari 'usyur).
Konsep sadaqah dan jizyah semakin saling memasuki pada kasus beacukai yang diwajibkan bagi barang perdagangan (masalah ini juga kita temukan dalam karya Abu Yusuf). Tarip beacukai yang dikenakan kepada kaum muslim adalah rub'ul usyr, dan bagi kaum zimmi (yang tinggal di Dar al-Islam) nisfu al-'usyr, dan pedagang yang datang dari Dar al-harb dikenakan al-'usyr. Tarip beacukai ini tidak bersifat sukarela seperti halnya zakat, melainkan mirip dengan daribah (pajak). Akan tetapi dihitung atas dasar ajza' min al-'usyr (bagian-bagian ‘usyr) yang diwarnai dengan pewarnaan sadaqah seperti sudah disebutkan sebelumnya. Sadaqah adalah pemberian atas dasar solidaritas di kalangan umat Islam. Tentu saja, kedekatan sepersepuluh pajak ('asyr al-makas) dari sepersepuluh sadaqah lebih kuat bagi pengusaha muslim. Perbedaan antara muslim dengan non muslim dalam ratio pajak merupakan perbedaan yang bersifat kuantitatif bukan kualitatif (bagian-bagian dari al-'usyr). Hanya saja Ibn Adam memposisikan pajak bagi kaum zimmi dan kaum harbi "sama kedudukannya dengan al-fa'i karena konsekuensi dari perdamaian, jadi kedudukannya tidak sama dengan sadaqah, melainkan sama dengan al-kharaj dan al-jizyah".
Sepertinya Yahya Ibn Adam memfokuskan kekuasaan pada penguasa (imam) dengan cara ekstrim dibandingkan Abu Yusuf. Artinya penguasa diberi kebebasan penuh untuk melakukan sesuatu di daerah taklukkan. Dalam waktu yang sama beliau juga membebaskan hak kepada orang untuk menggali sumur di tempat-tempat sekitar daerah taklukkan tersebut.
Ide sebagian misi ekonomi menurut Ibn Adam melekat pada alat-alat negara atau pemerintah, khususnya ketika melakukan perintah untuk bercocok tanam pada tanah yang tidak diinginkan oleh seseorang. Namun dalam konteks penggarapan tanah kosong, Ibn Adam mengutamakan masyarakat secara personal. Merekalah yang harus berinisiatif dalam melakukan pekerjaan ini, bukan inisiatif dari alat pemerintah kecuali untuk melindungi kekayaan umum. Dia menghubungkan misi ekonomi dengan misi politik bagi aparat penguasa, yaitu mengantisipasi dan mencegah agar tidak terjadi kekacauan dan perselisihan internal yang dapat menimbulkan priksi di kalangan umat Islam. Mungkin dapat disimpulkan bahwa pendapat Ibn Adam tentang kepemilikan bersama atas kekayaan dasar (musytarokat al-strwat al-asasiyah) untuk menjamin agar tidak terjadi keretakan di dalam tubuh umat Islam. Sehubungan dengan ini, lagi-lagi Ibn Adam mengutip riwayat yang mengatakan bahwa Umar Ibn al-Khattab membagi-bagi tanah Sawad, kemudian terjadi perselisihan yang dapat mengancam persatuan umat Islam. akhirnya Umar menarik tanah-tanah tersebut dari umat Islam (sebagai pemilik baru).
Tema kekuasaan kemudian menggiring Ibn Adam mendiskusikan kepemilikan. Terdapat perbedaan antara kepemilikan harta bergerak (tidak tetap) dengan kepemilikan harta tidak bergerak (tetap) seperti bangunan dan lain-lain. Sepertinya kepemilikan terhadap barang yang bergerak tidak mengalami paersoalan serius, karena hak bagi pemilik harta tersebut sangat permanen walaupun bukan dalam arti mutlak mengingat ada kewajiban zakat dari satu sisi, dan pajak dari sisi lain. Akan tetapi kepemilikan terhadap harta tetap termasuk tanah mengalami persoalan dan menimbulkan polemik yang besar.
Ide yang mengatakan bahwa barang siapa menggarap lahan kosong dan irigasinya atau menjadikannya lahan produktif, maka orang itu berhak atas tanah tersebut "barang siapa menggarap lahan mati maka ia mempunyai hak atas tanah tersebut.
Akan tetapi menggarap tanah tidak selalu dengan cara bertanam, melainkan juga dengan cara mendirikan bangunan di atasnya atau dengan sekadar memagarnya. Masalah ini menunjukkan bahwa ihya’ al-mawat tidak mesti dengan menanam atau mendirikan bangunan, tetapi cukup juga dengan memberi tanda.
Namun hak untuk mengawasi atas tanah (ihya’) tersebut belum jelas dan tidak pasti karena mereka kadang-kadang hanya diberi prioritas, tidak lebih dari itu. Sehubungan dengan ini, Ibn Adam berkata: "akhbarana (…)anna 'adiyu al-ardh lillahi wa lirasulihi wa lakum min ba'du min man ahya syaian min mawatan al-ardh, fahuwa ahaqqu bihi".
Dengan metode yang sama juga terjadi pada rikaz. Ada pendapat yang menyebutkan arba'ata akhmasihi (empat dari seperlima) untuk penemu harta rikaz, al-khumus atau seperlima untuk imam (pemimpin) atau Bait al-mal. Pendapat lain juga mengatakan bahwa pemilik tanah tempat menemukan rikaz lebih berhak atas harta temuan tersebut. Dan ada juga pendapat bahwa barang tambang yang ditemukan tersebut menjadi milik orang yang menemukannya, muslim mapun non muslim yang terikat perjanjian dengan pemerintah muslim.
Terakhir dalam tulisan ini, memaparkan bahwa hak kepemilikan atas tanah menurut Ibn Adam tunduk pada sejumlah syarat, jadi tidak bersifat mutlak. Namun yang paling penting adalah syarat yang berhubungan dengan pengelolaan tanah seperti menanaminya dan lain sebagainya. Sehubungan dengan ini Ibn Adam menyebutkan riwayat dari Abdullah Ibn Abi Bakar bahwa Nabi Muhammad SW memberikan tanah yang luas kepada Bilal Ibn Haris al-Muzani. Bilal tidak menanami keseluruhan tanah tersebut, maka Umar berusaha meyakinkan Bilal agar melepas sebagian tanah itu. Ternyata Bilal enggan melepas tanah tersebut. Tetapi karena Bilal tidak mampu menggarapnya, maka tanah itu pun dibagi-bagi kepada sejumlah umat Islam.
Dari pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa Yahya Ibn Adam tidak hanya mengedepankan konsep ekonomi an sich, tetapi juga konsep keagamaan dan militer.
D. Penutup
Abu Yusuf dan Ibn Adam memiliki perbedaan metodologis dalam menulis al-Kharaj. Abu Yusuf lebih rasional dalam mengungkapkan dalil-dalil, dan rumusan fiqh ekonominya lebih realistis dan independen. Sementara Ibn Adam memperkuat fiqh ekonominya dengan argumen-argumen tekstual mengacu kepada ahadis dan ahdas tanpa melakukan kritik eksternal dan internal terhadapnya.
Al-Kharaj, menurut mereka mengandung makna umum yaitu sumber-sumber pendapatan negara, dan makna khusus yaitu pajak tanah. al-Kharaj dan al-jizyah dibebankan kepada kaum zimmi, sementara kaum muslim diwajibkan mengeluarkan zakat sebagai simbol solidaritas antar sesama muslim.Namun demikian, al-kharaj, jizyah dan zakat menurut Ibn Adam mengandung makna yang berdekatan. Akan tetapi sifat-sifat inhern pada zakat menafikan persamaan zakat dengan al-kharaj dan al-jizyah.
Daftar Rujukan
Asmuni.. http://msi-uii.net. Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf dan Ibn Adam: Eksplorasi awal tentang konsep sumber keuangan Negara. Diakses pada tanggal 26 April 2010.
Damanhur. http://www.acehforum.or.id. Pengawasan Keuangan Dalam Ekonomi Islam. Diakses pada tanggal 9 Mei 2010.
http://hauzahrinjani.com. Pemikiran Ekonomi Abu yusuf dan ibn Adam. Diakses pada tanggal 9 Mei 2010.
PEMIKIRAN EKONOMI IBNU TAIMIYYAH
di 21.37
PEMIKIRAN EKONOMI IBNU TAIMIYYAH
Pendahuluan
Dalam literatur Islam, sangat jarang ditemukan tulisan tentang sejarah pemikiran ekonomi Islam atau sejarah ekonomi Islam. Buku-buku sejarah Islam atau sejarah peradaban Islam sekalipun tidak menyentuh sejarah pemikiran ekonomi Islam klasik. Buku-buku sejarah Islam lebih dominan bermuatan sejarah politik.
Kajian yang khusus tentang sejarah pemikiran ekonomi Islam adalah tulisan Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqi yang berjudul, Muslim Economic Thinking, A Survey of Contemporary Literature , dan Artikelnya berjudul History of Islamic Economics Thought . Buku dan artikel tersebut ditulis pada tahun 1976. Paparannya tentang studi historis ini lebih banyak bersifat diskriptif. Ia belum melakukan analisa kritik, khususnya terhadap “kejahatan” intelektual yang dilakukan ilmuwan Barat yang menyembunyikan peranan ilmuwan Islam dalam mengembangkan pemikiran ekonomi, sehingga kontribusi pemikiran ekonomi Islam tidak begitu terlihat pengaruhnya terhadap ekonomi modern.
Sejarah membuktikan bahwa Ilmuwan muslim pada era klasik telah banyak menulis dan mengkaji ekonomi Islam tidak saja secara normatif, tetapi juga secara empiris dan ilmiah dengan metodologi yang sistimatis, seperti buku Ibnu Khaldun (1332-1406) dan Ibnu Taymiyah, bahkan Al-Ghazali (w.1111) Al-Maqrizi . Selain itu masih banyak ditemukan buku-buku yang khusus membahas bagian tertentu dari ekonomi Islam, seperti, Kitab Al-Kharaj karangan Abu Yusuf (w.182 H/798 M), Kitab Al-Kharaj karangan Yahya bin Adam (.w.203 H), Kitab Al-Kharaj karangan Ahmad bin Hanbal (w.221 M), Kitab Al-Amwal karangan Abu ’Ubaid ( w.224 H ), Al-Iktisab fi al Rizqi, oleh Muhammad Hasan Asy-Syabany. (w.234 H).
Permasalahan
Dari beberapa tokoh pemikir muslim di atas, yang akan kami paparkan dalam makalah ini adalah Ibnu Taimiyyah. Kami mulai dari biografi singkat sampai pemikiran-pemikiran ekonomi Ibnu Taimiyyah.
Pembahasan
Biografi Ibnu Taimiyyah
Ibnu Taimiyah atau lengkapnya Abu al-Abbas Taqi al-Din Ahmad ibn Abd al-Salaam ibn Abdullah ibn Taymiya al-Harrani (lahir: 22 Januari 1263 (10 Rabiul Awwal 661 H) – wafat: 1328 (20 Dzulhijjah 728 H) ), adalah seorang pemikir dan ulama Islam dari Harran, Turki. Ia berasal dari keluarga religius. Ayahnya Syihabuddin bin Taymiyyah. Seorang Syaikh, hakim, khatib. Kakeknya Majduddin Abul Birkan Abdussalam bin Abdullah bin Taymiyyah Al-Harrani Seorang Ulama yang menguasai fiqih, ahli hadits, tafsir, ilmu ushul dan penghafal Al Qur’an (hafidz).
Ibnu Taymiyyah lahir di zaman ketika Baghdad merupakan pusat kekuasaan dan budaya Islam pada masa Dinasti Abbasiyah. Ketika berusia enam tahun (tahun 1268), Ibnu Taymiyyah dibawa ayahnya ke Damaskus disebabkan serbuan tentara Mongol atas Irak. Di Damaskus ia belajar pada banyak guru, dan memperoleh berbagai macam ilmu diantaranya ilmu hitung (matematika), khat (ilmu tulis menulis Arab), nahwu, ushul fiqih . Dan satu hal ia dikaruniai kemampuan mudah hafal dan sukar lupa. Hingga dalam usia muda, ia telah hafal Al-Qur’an. Kemampuan beliau dalam menuntut ilmu mulai terlihat pada usia 17 tahun. Dan usia 19, ia telah memberi fatwa dalam masalah masalah keagamaan.
Ibnu Taymiyyah amat menguasai ilmu Rijalul Hadits (perawi hadits) yang berguna dalam menelusuri Hadits dari periwayat atau pembawanya dan Fununul hadits (macam-macam hadits) baik yang lemah, cacat atau shahih. Beliau memahami semua hadits yang termuat dalam Kutubus Sittah dan Al-Musnad. Dalam mengemukakan ayat-ayat sebagai hujjah atau dalil, ia memiliki kehebatan yang luar biasa, sehingga mampu mengemukakan kesalahan dan kelemahan para mufassir atau ahli tafsir. Tiap malam ia menulis tafsir, fiqh, ilmu ‘ushul sambil mengomentari para filusuf . Sehari semalam ia mampu menulis empat buah kurrosah (buku kecil) yang memuat berbagai pendapatnya dalam bidang syari’ah. Ibnul Wardi menuturkan dalam Tarikh Ibnul Wardi bahwa karangan beliau mencapai lima ratus judul. Karya-karya beliau yang terkenal adalah Majmu’ Fatawa yang berisi masalah fatwa-fatwa dalam agama Islam.
Dalam satu riwayat disebutkan bahwa dia menulis buku lebih dari 300.000 judul buku. Pada masa selanjutnya para ulama berusaha mengumpulkan buku-buku tersebut dalam satu judul buku. Meskipun masih banyak kekurangan dan banyak buku yang belum dicantumkan, namun buku Majmu'ah al-Fatawa –yang diterbitkan pertama kali tahun 1326 H oleh Syaikh Farjullah al-Kurdi al-Azhari– sudah cukup mewakili pemikiran Ibnu Taimiyah dalam usahanya menegakkan ajaran Islam. Buku ini merupakan sekelumit kutipan pembahasan Ibnu Taimiyah tentang; Wilayah al-Amir bi al-Ma'ruf wa al-Nahy 'an al-Munkar (kekuasaan yang membawahi semua kekuasaan baik agama dan muamalat, selain kekuasaan eksekutif dan yudikatif), siyasah syar'iyah (politik Islam), dan Jihad fi Sabilillah.
Sekalipun kecintaannya terhadap ilmu sangatlah mendalam, Ibnu Taymiyyah tidaklah lantas meninggalkan kegiatan-kegiatan amaliyah dan aktivitas-aktivitas dakwah dan jihad seperti yang telah ditinggalkan kebanyakan ulama-ulama masa kini yang hanya puas bergelut dengan buku dan kitab-kitab saja. Ibnu Taymiyyah tidak berdiam diri jika melihat kemungkaran yang di lihatnya. Tak hanya itu, dengan tangannya sendiri, ia juga pernah mengobrak-abrik tempat pemabukan dan pendukungnya. Bahkan, pernah pada suatu Jum’at, Ibnu Taymiyyah dan pengikutnya memerangi penduduk yang tinggal di gunung Jurdu dan Kasrawan karena mereka sesat dan rusak aqidahnya akibat perlakuan tentara Tar-Tar yang pernah menghancurkan kota itu. Beliau kemudian menerangkan hakikat Islam pada mereka.
Amaliyah amar ma’ruf nahi munkarnya tak berhenti di situ. Ia melanjutkannya dengan berjihad dalam arti perang. Sesuatu yang sangat jauh sekali dilakukan oleh para ulama-ulama kebanyakan hari ini. Ia adalah seorang mujahid yang menjadikan jihad sebagai jalan hidupnya. Tahun 700 H, saat Syam dikepung tentara Tar-Tar. Ia segera mendatangi walikota Syam guna memecahkan segala kemungkinan yang terjadi. Dengan mengemukakan ayat Alqur’an, ia bangkitkan keberanian membela tanah air menghalau musuh. Kegigihannya itu membuat ia dipercaya untuk meminta bantuan bala tentara dari sultan di Kairo. Dengan argumentasi yang matang dan tepat, ia mampu menggugah hati Sultan. Ia kerahkan seluruh tentaranya menuju Syam sehingga akhirnya diperoleh kemenangan yang gemilang.
Pada Ramadhan 702 H, ia terjun sendiri ke medan perang Syuquq yang menjadi pusat komando pasukan Tar-Tar. Bersama tentara Mesir, mereka semua maju bersama dibawah komando Sultan. Dengan semangat Allahu Akbar yang menggema mereka berhasil mengusir tentara Tar-Tar.
Dalam perjalanan hidupnya, ia tak hanya sekali merasakan kehidupan penjara. Tahun 726 H, berdasarkan fakta yang diputar balikkan, Sultan megeluarkan perintah penangkapannya. Mendengar hal ini beliau berujar, “Saya menunggu hal itu. Disana ada kebaikan banyak sekali.”
Itulah Ibnu Taimiyah, ulama besar yang meringkuk dalam penjara Mesir. Baru saja ia bebas dari penjara, kemudian ditangkap lagi dan dipenjarakan yang kedua kalinya selama setengah tahun lagi. Sebabnya karena ia menulis sebuah kitab yang isinya tentang masalah ketuhanan yang tidak di terima banyak kalangan. Jadi, pribadi Ibnu Taymiyyah pun bukanlah tergolong ulama yang dekat dengan penguasa serta menjadi penjilat di sisinya. Banyak pula orang-orang maupun ulama yang menganggapnya sesat dan menyesatkan. Di dalam, penjara yang hanya setengah tahun itu ia berhasil menginsafkan penghuni penjara yang tinggal bersama beliau sehingga semua yang insaf dan kemudian menjadi pengikut yang setia.
Pemikiran Ekonomi Ibnu Taimiyyah
Kompensasi dan Harga yang Adil
Pembahasan Ibnu Taimiyah tentang masalah harga: kompensasi yang setara (‘iwad al-mithl) dan harga yang setara (thaman al-mithl). Dia berkata: “kompensasi yang setara akan diukur dan ditaksir oleh hal-hal yang setara dan itulah esensi dari keadilan (nafs al-‘adl). Dimana pun, ia membedakan antara dua jenis harga: harga yang tak adil dan terlarang serta harga yang adil dan disukai. Dia mempertimbangkan harga yang setara itu sebagai harga yang adil. Jadi, dua kata, “adil” dan “setara” digunakan saling mengganti.
Dalam mendefinisikan “kompensasin yang setara”, Ibnu Taimiyah berkata: “yang dimaksud kesetaraan adalah kuantitas dari objek khusus dalam penggunaan secara umum (‘urf). Itu juga berkait dengan nilai dasar (rate/si’r) dan kebiasaan (‘adah). Lebih dari itu ia menambahkan: “evaluasi yang benar terhadap kompensasi yang adil didasarkan atas analogi dan taksiran dari barang tersebut dengan barang lain yang setara (ekuvalen). Inilah benar-benar adil dan benar-benar diterima dalam penggunaannya.
Tampaknya, konsep kompensasi yang adil itu merupakan petunjuk masyarakat yang adil. Juga bagi seorang hakim, dalam melaksanakan tugasnya dipengadilan. Harus diingat, ringkasnya tujuan dari harga yang adil juga merupakan petunjuk pengungkap bagi pemegang otoritas, sebagai dasar bagi pengembangan ekonomi. Jadi, banyak kemiripan antara konsep Ibnu Taimiyah tentang kompensasi yang adil dan konsep harga yang adil dari para pemikir skolastik terdahulu. Ibu Taimiyah membedakan antara soal legal-etik dengan aspek ekonomi dari harga yang adil. Ia menggunakan term, “kompensasi yang setara” untuk yang awal dan “harga yang setara” untuk yang berikutnya. Pembedaan seperti itu, tak lazim di zamannya. Ia berakata: “sering kali menjadi ambigu dimata ahli jurisprudensi (fiqh) dan mereka saling membantah satu sama lain dalam kompensasi yang setara, terutama menyangkut jenis (jins) dan kuantitas (miqdar).
Mulanya, kompensasi yang setara juga dimulai sebagai konsep moral dan hukum. Ia mengatakan, keduanya hanya membutuhkan keterlibatan hukum secara minimum dan lebih membutuhkan keterlibatan moral yang sebaik-baiknya. Dia berkata: “mengkompensasikan suatu barang yang lain yang setara merupakan kewajiban berlaku adil (adl wajib) dan bila pembayarannya secara sukarela dinaikkan itu lebih baik dan merupakan perbuatan yang sangat diharapkan (ihsan mustahabb). Tetapi, sebaliknya, mengurangi kuantitas dari nilai kompensasi sangat dilarang dan merupakan ketidakadilan (dzulum muharram). Demikian juga, mengganti barang yang cacat dengan yang setara merupakan keadilan yang diperbolehkan (adl jaiz). Meningkatkan kerusakannya justru melanggar hukum (muharram), sedang mengurangi kerusakan merupakan kebaikan yang dianjurkan (ihsan mustahabb).
Tentang perbedaan antara kompensasi yang setara dengan harga yang setara, ia menguraikan: “jumlah kuantitas yang tercatat dalam kontrak ada dua macam. Pertama, jumlah kuantitas yang sangat akrab di masa masyarakat, yang biasa mereka gunakan. Kedua, jenis yang tak lazim (nadir), sebagai akibat dari meningkat atau menurunnya kemauan (raghbah) atau faktor lainnya. Ini menyatakan tentang harga yang setara.
Pemikiran Ibnu Taimiyah Tentang Uang
Ibnu Taimiyah lahir di kota Harran pada tanggal 22 Januari 1263 M, dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga ulama besar mazhab Hambali. Tradisi lingkungan keilmuan yang baik ditunjang dengan kejeniusannya telah mengantarkan beliau menjadi ahli dalam tafsir, hadits, fiqih, matematika dan filsafat dalam usia masih belasan tahun. Selain itu beliau terkenal sebagai penulis, orator dan sekaligus pemimpin perang yang handal. Cukup banyak karya-karya pemikirannya termasuk dalam bidang ekonomi yang dihasilkan. Pemikiran ekonomi beliau banyak terdapat dalam sejumlah karya tulisnya, seperti Majmu’ Fatawa Syaikh Al-Islam, As-Siyasah Asy-Syar’iyyah fi Ishlah Ar-Ra’i wa Ar-Ra’iyah, serta Al-Hasbah fi Al-Islam. Pemikiran ekonomi beliau lebih banyak pada wilayah makro ekonomi, seperti harga yang adil, mekanisme pasar, regulasi harga, uang dan kebijakan moneter.
Fungsi Uang dan Perdagangan Uang
Dalam hal uang, beliau menyatakan bahwa fungsi utama uang adalah sebagai alat pengukur nilai dan sebagai media untuk memperlancar pertukaran barang. Hal itu sebagaimana yang beliau ungkapakan sebagai berikut :
Atsman (harga atau yang dibayarkan sebagai harga, yaitu uang) dimaksudkan sebagai pengukur nilai barang-barang (mi’yar al-amwal) yang dengannya jumlah nilai barang-barang (maqadir al-amwal) dapat diketahui; dan uang tidak pernah dimaksudkan untuk diri mereka sendiri.
Pada kalimat terakhir pernyataannya tersebut (…dan uang tidak pernah dimaksudkan untuk diri mereka sendiri), sebagaimana yang diungkapkan juga oleh Al-Ghazali, menunjukkan bahwa beliau menentang bentuk perdagangan uang untuk mendapatkan keuntungan. Perdagangan uang berarti menjadikan uang sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan, dan ini akan mengalihkan fungsi uang dari tujuan yang sebenarnya. Terdapat sejumlah alasan mengapa uang dalam Islam dianggap sebagai alat untuk melakukan transaksi, bukan diperlakukan sebagai komoditas yaitu :
1. Uang tidak mempunyai kepuasan intrinsik (intrinsic utility) yang dapat memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia secara langsung. Uang harus digunakan untuk membeli barang dan jasa yang memuaskan kebutuhan. Sedangkan komoditi mempunyai kepuasan intrinsik, seperti rumah untuk ditempati, mobil untuk dikendarai. Oleh karena itu uang tidak boleh diperdagangkan dalam Islam.
2. Komoditas mempunyai kualitas yang berbeda-beda, sementara uang tidak. Contohnya uang dengan nominal Rp.10.000,- yang kertasnya kumal nilainya sama dengan kertas yang bersih. Hal itu berbeda dengan harga mobil baru dan mobil bekas meskipun model dan tahun pembuatannya sama.
3. Komoditas akan menyertai secara fisik dalam transaksi jual beli. Misalnya kita akan memilih sepeda motor tertentu yang dijual di showroom. Sementara uang tidak mempunyai identitas khusus, kita dapat membeli mobil tersebut secara tunai maupun cek. Penjual tidak akan menanyakan bentuk uangnya seperti apa.
Islam menempatkan fungsi uang semata-mata sebagai alat tukar dan bukan sebagai komoditi, sehingga tidak layak untuk diperdagangkan apalagi mengandung unsur ketidakpastian atau spekulasi (gharar) sehingga yang ada adalah bukan harga uang apalagi dikaitkan dengan berlalunya waktu tetapi nilai uang untuk ditukar dengan barang.
Apabila uang dipertukarkan dengan uang yang lain, maka pertukaran tersebut harus dilakukan secara simultan (taqabud), dan tanpa penundaan (hulul). Apabila dua orang saling mempertukarkan uang dengan kondisi di satu pihak membayar tunai sementara pihak lainnya berjanji membayar di kemudian hari, maka pihak pertama tidak akan dapat menggunakan uang yang dijanjikan untuk bertransaksi hingga benar-benar uang tersebut dibayar, sehingga sebenarnya pihak pertama telah kehilangan kesempatan. Dalam pandangan Ibnu Taimiyah hal itulah yang menjadi alasan mengapa Rasulullah Saw melarang jenis transaksi seperti ini.
Pencetakan Uang sebagai Alat Tukar Resmi
Ibnu Taimiyah hidup pada zaman pemerintahan Bani Mamluk. Pada saat itu harga-harga barang ditetapkan dalam Dirham, yaitu mata uang peninggalan Bani Ayyubi. Karena desakan kebutuhan masyarakat terhadap mata uang dengan pecahan lebih kecil, maka Sultan Kamil Ayyubi memperkenalkan mata uang baru yang berasal dari tembaga yang disebut dengan Fulus. Dirham ditetapkan sebagai alat transaksi besar, dan Fulus digunakan untuk transaksi-transaksi dalam nilai kecil. Inilah yang kelak kemudian menginspirasi pemerintahan Sultan Kitbugha dan Sultan Dzahir Barquq untuk mencetak Fulus dalam jumlah sangat besar dengan nilai nominal yang melebihi kandungan tembaganya (intrinsic value). Akibatnya kondisi perekonomian semakin memburuk, karena nilai mata uang menjadi turun. Berkenaan dengan adanya fenomena penurunan nilai mata uang tersebut, Ibnu Taimiyah berpendapat sebagai berikut :
Penguasa seharusnya mencetak fulus (mata uang selain emas dan perak) sesuai dengan nilai yang adil (proporsional) atas transaksi masyarakat, tanpa menimbulkan kezaliman terhadap mereka.
Dari yang beliau nyatakan tersebut, dapat dipahami bahwa beliau melihat adanya hubungan antara jumlah uang yang beredar di masyarakat, total volume transaksi yang dilakukan, dan tingkat harga produk yang berlaku. Pernyataan dalam kalimat pertama (penguasa seharusnya mencetak Fulus sesuai dengan nilai yang adil (proporsional) atas transaksi masyarakat) dimaksudkan untuk menjaga harga agar tetap stabil. Menurutnya, nilai intrinsik mata uang harus sesuai dengan daya beli masyarakat di pasar sehingga tidak seorang pun, termasuk pemerintah dapat mengambil untung dengan melebur uang dan menjualnya dalam bentuk logam lantakan, atau mengubah logam tersebut menjadi koin dan memasukkannya dalam peredaran mata uang, karena sifat-sifat alamiah uang yang termasuk kategori token money, semakin sulit bagi pemerintah untuk menjaga nilai uang. Yang dapat dilakukan pemerintah adalah tidak mencetak uang selama tidak ada kenaikan daya serap sektor riil terhadap uang yang dicetak tersebut. Melalui teori kuantitas uangnya Irving Fisher di atas, hal ini dapat dijelaskan melalui persamaan :
MV = PT.
dimana M (Money) adalah jumlah uang beredar, V (Velocity) adalah kecepatan uang beredar, P (Price) adalah tingkat harga produk dan T (Trade) adalah nilai produk yang diperdagangkan. Apabila pemerintah setiap kali butuh uang melakukan pencetakan mata uang tanpa memperhatikan daya serap sektor riil, maka jumlah uang beredar di masyarakat, M akan meningkat. Sementara bila V dan T tidak mengalami perubahan, dalam persamaan di atas agar sisi kanan sama dengan sisi kiri, maka otomatis P akan naik. Dengan kata lain, konsekuensi naiknya M akan mengakibatkan harga-harga produk mengalami kenaikan (tidak stabil), yang berarti terjadi inflasi yang meningkat.
Implikasi Penerapan Lebih dari Satu Standar Mata Uang
Setelah sadar akan kesalahan yang dilakukannya, Sultan Kitbugha menetapkan bahwa nilai Fulus ditentukan berdasarkan beratnya, dan bukan berdasarkan nilai nominalnya. Namun pencetakan Fulus dalam jumlah besar masih dilakukan oleh Sultan Dzahir Barquq dengan mengimpor tembaga dari negara-negara Eropa. Untuk mendapatkan tembaga saat itu memang sangat mudah dan murah. Di tengah penggunaan Fulus secara luas pada masyarakat, pada saat yang bersamaan penggunaan Dirham semakin sedikit dalam kegiatan transaksi. Dirham semakin menghilang dari peredaran dan inflasi semakin melambung yang ditandai dengan semakin meningkatnya harga-harga produk. Dampak pemberlakuan Fulus sebagai mata uang resmi adalah terjadinya kelaparan sebagai akibat inflasi keuangan yang mendorong naiknya harga. Persoalan kelaparan ini diungkapkan Al-Maqrizi dalam kitabnya Ightsatul Ummah bi Kayfi Al-Ghummah sebagai berikut :
Ketahuilah, semoga Allah memberi taufiq kepadamu untuk mendengarkan kebenaran dan memberi ilham kepadamu nasehat makhluk, bahwa sudah jelas seperti yang telah lewat, rusaknya perkara adalah karena perencanaan yang buruk bukan karena naiknya harga-harga. Jikalau mereka yang dibebankan oleh Allah untuk mengatur perkara hamba mendapat taufiq lalu mengembalikan interaksi ekonomi kepada bentuk sebelumnya menggunakan emas saja dan mengembalikan harga-harga barang dan nilai pembayaran kepada dinar atau kepada apa yang terjadi setelah itu, yakni transaksi menggunakan perak yang dicetak, maka pada keadaan yang demikianlah pertolongan kepada umat, perbaikan persoalan-persoalan, dan kesadaran terhadap kerusakan yang sudah mencapai tahap kehancuran ini. Lebih jelas dari itu bahwa mata uang apabila dikembalikan pada bentuknya yang semula, dan orang yang mendapatkan uang dari pajak bumi, atau sewa bangunan, atau pegawai pemerintahan, atau pembayaran jasa, dia mendapatkannya dalam bentuk emas atau perak sesuai dengan apa dilihat oleh mereka yang mengurus persoalan public. Pada saat sekarang dengan beragamnya kondisi apabila diberlakukan emas dan perak, tentunya semua transaksi tidak ditemukan lagi penipuan sama sekali, karena semua harga yang berlaku diukur berdasarkan emas dan perak. Namun ada beberapa sebab yang menjadi harga menjdi naik, yaitu, pertama, rusknya cara pandang orang yang ditugaskan untuk memikirkan hal itu dan kebodohannya dalam mengatur persoalan. Ini penyebab utama kebanyakannya. Kedua, musibah yang menimpa sesuatu sehingga persediaan menjadi sedikit seperti yang terjadi pada daging sapi yang tertimpa kematian missal pada tahun 808, dan yang terjadi pada gula karena kurangnya tebu dan perasannya pada tahun 807 dan 808. dan ini hanya penyebab kecil dibandingkan sebab pertama.
Selanjutnya, Dirham juga mengalami perubahan komposisi kandungan pada zaman pemerintahan Nasir. Satu Dirham yang semula mengandung 2/3 perak dan 1/3 tembaga, sekarang menjadi terdiri atas 1/3 perak dan 2/3 tembaga. Pada saat pemerintahan di bawah cucu Nasir, yaitu Nasir Hasan (1358 M) pemerintah menetapkan keputusan bahwa Fulus yang sedang beredar di masyarakat dinyatakan tidak berlaku lagi, dan pemerintah mengeluarkan mata uang baru sebagai penggantinya. Merespon berbagai kebijakan uang yang dilakukan oleh penguasa pada saat itu, Ibnu Taimiyah menyatakan :
Apabila penguasa membatalkan penggunaan mata uang tertentu dan mencetak jenis mata uang yang lain bagi masyarakat, hal ini akan merugikan orang-orang kaya yang memiliki uang karena jatuhnya nilai mata uang lama menjadi hanya sebuah barang. Ia berarti telah melakukan kezaliman karena menghilangkan nilai tinggi yang semula mereka miliki.
Beliau menyarankan agar penguasa tidak membatalkan masa berlaku suatu mata uang yang sedang berada di tangan masyarakat. Ketika pemerintah menyatakan tidak berlaku lagi atas mata uang yang dipegang masyarakat, yang berarti uang diperlakukan sebagai barang biasa yang tidak mempunyai nilai yang sama dibandingkan dengan ketika berfungsi sebagai uang, maka masyarakat sangat dirugikan dalam hal ini. Daya beli masyarakat secara langsung akan terpangkas drastis karena terjadi penurunan nilai asetnya dengan adanya kebijakan tersebut.
Menurutnya, penciptaan mata uang dengan nilai nominal yang lebih besar daripada nilai intrinsiknya, dan kemudian menggunakan uang tersebut untuk membeli emas, perak atau benda berharga lainnya dari masyarakat akan menyebabkan terjadinya penurunan nilai mata uang serta akan menyebabkan inflasi serta pemalsuan uang. Beliau menganggap bahwa perdagangan mata uang sebagai bentuk kezaliman terhadap masyarakat dan bertentangan dengan kepentingan umum. Dalam masalah ini Ibnu Taimiyah mengungkapkan :
Lebih daripada itu, apabila nilai intrinsik mata uang tersebut berbeda, hal ini akan menjadi sebuah sumber keuntungan bagi para penjahat untuk mengumpulkan mata uang yang buruk dan menukarkanya dengan mata uang yang baik, dan kemudian mereka akan membawanya ke daerah lain dan menukarkannya dengan mata uang yang buruk di daerah tersebut untuk dibawa kembali ke daerahnya. Dengan demikian, nilai barang-barang masyarakat akan menjadi hancur.
Ibnu Taimiyah menyarankan kepada penguasa agar tidak mempelopori bisnis mata uang dengan cara membeli tembaga serta mencetaknya menjadi uang, dengan kata lain mengambil untung dari hasil mencetak uang (seignorage). Saran beliau cukup beralasan, karena setiap pemerintah butuh uang kemudian dengan seenaknya mencetak uang, apalagi nilai nominal mata uang tersebut lebih kecil daripada nilai intrinsiknya, maka kondisi tersebut akan memicu inflasi yang tinggi. Pada saat inflasi tinggi, ketika jumlah uang beredar berlebihan, sementara pendapatan masyarakat nominal tidak bertambah, maka pendapatan riil masyarakat akan menurun, yang berarti masyarakat menjadi semakin miskin. Sungguh memprihatinkan, dan tidak ada artinya ketika pendapatan penguasa/pemerintah meningkat hasil menikmati keuntungan (selisih antara nilai nominal dan nilai intrinsik mata uang Fulus), namun di sisi lain pendapatan riil masyarakat secara umum semakin berkurang. Penguasa juga harus mencetak uang sesuai dengan nilai riilnya tanpa bertujuan untuk mencari keuntungan apapun agar kesejahteraan masyarakat tetap terjamin.
Di bagian akhir pernyataan beliau di atas, dinyatakan bahwa uang dengan kualitas buruk akan menyingkirkan uang dengan kualitas baik dari peredaran. Hal itu akibat beredarnya mata uang lebih dari satu jenis pada saat itu dengan nilai kandungan logam mulia yang berbeda. Sebagaimana dinyatakan di atas, bahwa 1 Dirham yang semula mengandung 2/3 perak dan 1/3 tembaga, sekarang menjadi terdiri atas 1/3 perak dan 2/3 tembaga. Masyarakat yang masih memegang Dinar dan Dirham lama termotivasi untuk menukar uangnya tersebut dengan produk-produk dari luar negeri karena akan mendapatkan jumlah produk yang lebih banyak atau lebih menguntungkan. Selanjutnya, makin banyak masyarakat beralih pada penggunaan Fulus sebagai alat transaksi. Akibatnya, peredaran Dinar sangat terbatas, Dirham berfluktuasi, bahkan kadang-kadang menghilang. Sementara Fulus beredar secara luas. Banyaknya Fulus yang beredar akibat meningkatnya kandungan tembaga dalam mata uang Dirham mengakibatkan sistem moneter pada waktu itu tidak stabil. Ungkapan Al-Maqrizi berikut ini akan memperjelas kondisi tersebut :
Ketika pada masa Mahmud bin Ali, penanggung jawab raja Al-Dzahir Barquq—semoga Allah merahmatinya—memperbanyak uang tembaga. Pencetakan uang tembaga terus berlanjut beberapa tahun sedangkan orang asing membawa dirham-dirham yang ada di Mesir ke negeri mereka, dan penduduk negeri meleburnya untuk dimanfaatkan sehingga berkurang dan bahkan hampir punah (habis) dan uang tembaga beredar secara luas sehingga seluruh barang jualan dihitung dengannya.
Dia (Al-Dzahir Barquq) membangun gedung percetakan uang tembaga di Alexandria sehingga uang tembaga semakin banyak di tangan orang-orang dan beredar luas karena itu menjadi mata uang dominan di negeri ini. Dirham semakin berkurang karena dua sebab: pertama, sama sekali tidak dicetak lagi. Kedua, orang-orang melebur dirham untuk dijadikan perhiasan.
Fenomena yang diamati, dianalisis yang kemudian dinyatakan secara tertulis oleh Ibnu Taimiyah di atas dan disempurnakan oleh Al-Maqrizi, ternyata sekitar 1.000 tahun kemudian dengan situasi dan kondisi sedikit berbeda fenomena sejenis terjadi di Amerika (1782-1834). Pada waktu itu Amerika mempertahankan kurs mata uang emas dan perak sebesar 1 : 15, meskipun nilai mata uang emas di negara-negara Eropa menguat berkisar pada kurs 1 : 15,5 hingga 1 : 16,6. Akibatnya, mata uang emas Amerika mengalir ke Eropa, dan sebaliknya mata uang perak membanjiri Amerika. Fenomena itulah yang diamati oleh Thomas Gresham (1857 M) dan dia nyatakan dengan bahasanya bahwa, “uang dengan kualitas rendah menendang ke luar uang berkualitas baik”. Pernyataan itu sangat dimungkinkan terinspirasi pemikiran Ibnu Taimiyah dan Al-Maqrizi mengingat karya kedua pemikir Islam tersebut hingga kini masih dapat dibaca. Namun pernyataan itulah yang kelak di kemudian hari dikenal sebagai Hukum Gresham yang sangat terkenal dan sering dikutip hampir semua buku teks ekonomi konvensional, dan tanpa pernah menyebutkan bahwa Ibnu Taimiyah jauh sebelumnya pernah menyatakan hal serupa.
Lebih jauh beliau menyarankan agar gaji para pegawai hendaknya dibayar dari perbendaharaan negara (baitul mal). Saran beliau tersebut setidaknya dapat dijelaskan sebagai berikut, pembayaran gaji yang diambilkan dari hasil pencetakan mata uang akan menimbulkan kenaikan penawaran uang, sedangkan pembayaran yang berasal dari perbendaharaan negara berarti menggunakan uang yang telah ada dalam peredaran, yang berarti juga dapat menambah harta perbendaharaan negara melalui kharaj dan sumber pendapatan negara lainnya.
KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa ulama-ulama klasik Islam telah tidak hanya berkutat pada agama dalam arti sebatas ritual keagamaan, akan tetapi telah menaruh perhatian pada masalah perekonomian masyarakat bahkan diindikasikan teori-teori ekonomi konvensional modern merupakan adopsi dari hasil pemikiran mereka (Islam). Gresham telah mengadopsi teori Ibnu Taymiyah tentang mata uang (curency) berkulitas buruk dan berkualitas baik. Menurut Ibnu Taymiyah, uang berkualitas buruk akan menendang keluar uang yang berkualitas baik, contohnya fulus (mata uang tembaga) akan menendang keluar mata uang emas dan perak.
Fungsi utama uang hanya sebagai alat tukar dalam transaksi (medium of exchange for transaction) dan sebagai satuan nilai (unit of account). Semua kebijakan tentang uang yang dibuat pemerintah harus dalam rangka untuk kesejahteraan masyarakat (maslahat). Pencetakan uang yang tidak didasarkan pada daya serap sektor riil dilarang, karena hanya akan meningkatkan inflasi dan menurunkan kesejahteraan masyarakat. Penimbunan uang dilarang, karena menyebabkan melambatnya perputaran uang yang berdampak pada turunnya jumlah produksi dan kenaikan harga-harga produk. Peleburan uang logam dilarang, karena akan mengurangi pasokan uang secara permanent yang berdampak pada kenaikan harga-harga produk.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas Mirakhor, Moslem Contribution to Economics, dalam Baqir Al-Hasani dan Abbas Mirakhor (ed)., Essay on Iqtishad: The Islamic Approach to Economic Problems, USA: Nur Corporation, 1989.
Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam, Suatu Kajian Ekonomi Makro, The Interntional Institute of Islamic Thought Indonesia, 2002.
————————–, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Edisi Ketiga, Raja Grafindo Persada, 2006.
A.L.M. Abdul Gafoor, Interest, Usury, Riba, and the Operational Costs of a Bank, http://www.riba-free-banking.com/
Al-Maqrizi, Ightsatul Ummah bi Kayfi Al-Ghummah, hal 82-83 dalam A. Hasan, Mata Uang Islami, Telaah Komprehensif Sistem Keuangan Islam, Raja Grafindo Persada, 2005.
Ahmad Hasan, Mata Uang Islami, Telaah Komprehensif Sistem Keuangan Islam, Raja Grafindo Persada, 2005.
Al-Ghazali, Mustashfa min ‘Ilmi Al-Ushul, Baghdad: Maktabah al-Mutsanna, dalam Mata Uang Islami, Telaah Komprehensif Sistem Keuangan Islam, 2005
Ibnu Taimiyah, Majmu; Fatawa Ibnu Taimiyah, Mathabi’ Al-Riyadh, 1383 dalam Ahmad Hasan, Mata Uang Islami, Telaah Komprehensif Sistem Keuangan Islam, 2005.
Mohammad Ziaul Hoque dan Masudul Alam Choudhury, Islamic Finance: A Western Perspective-Revisted, International Journal of Financial Services,Vol.5,No. 1,2004.
Muhammad Anwar, Evolution of Euro: Lessons for Muslim Countries, International Journal of Financial Services,Vol.5, No. 2, 2004.
Muhammad Taqi Usmani, Judgement on Rib, dalam Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam, Suatu Kajian Ekonomi Makro, IIIT, 2002.
M. Nejatullah Siddiqi, Recent Works on History of Economic Thought in Islam: A Survey, Jeddah, ICRE King abdul Aziz University, 1982.
M. Umer Chapra, Sistem Moneter Islam, Gema Insani Press, 2000.
——————–, The Future of Economics: An Islamic Perspective, Shari’ah Economics and Banking Institute, 2001.
Sufyan Ismail, Why Islam has Prohibited Interest and Islamic Alternative for Financing, www.1stethical.com
Pendahuluan
Dalam literatur Islam, sangat jarang ditemukan tulisan tentang sejarah pemikiran ekonomi Islam atau sejarah ekonomi Islam. Buku-buku sejarah Islam atau sejarah peradaban Islam sekalipun tidak menyentuh sejarah pemikiran ekonomi Islam klasik. Buku-buku sejarah Islam lebih dominan bermuatan sejarah politik.
Kajian yang khusus tentang sejarah pemikiran ekonomi Islam adalah tulisan Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqi yang berjudul, Muslim Economic Thinking, A Survey of Contemporary Literature , dan Artikelnya berjudul History of Islamic Economics Thought . Buku dan artikel tersebut ditulis pada tahun 1976. Paparannya tentang studi historis ini lebih banyak bersifat diskriptif. Ia belum melakukan analisa kritik, khususnya terhadap “kejahatan” intelektual yang dilakukan ilmuwan Barat yang menyembunyikan peranan ilmuwan Islam dalam mengembangkan pemikiran ekonomi, sehingga kontribusi pemikiran ekonomi Islam tidak begitu terlihat pengaruhnya terhadap ekonomi modern.
Sejarah membuktikan bahwa Ilmuwan muslim pada era klasik telah banyak menulis dan mengkaji ekonomi Islam tidak saja secara normatif, tetapi juga secara empiris dan ilmiah dengan metodologi yang sistimatis, seperti buku Ibnu Khaldun (1332-1406) dan Ibnu Taymiyah, bahkan Al-Ghazali (w.1111) Al-Maqrizi . Selain itu masih banyak ditemukan buku-buku yang khusus membahas bagian tertentu dari ekonomi Islam, seperti, Kitab Al-Kharaj karangan Abu Yusuf (w.182 H/798 M), Kitab Al-Kharaj karangan Yahya bin Adam (.w.203 H), Kitab Al-Kharaj karangan Ahmad bin Hanbal (w.221 M), Kitab Al-Amwal karangan Abu ’Ubaid ( w.224 H ), Al-Iktisab fi al Rizqi, oleh Muhammad Hasan Asy-Syabany. (w.234 H).
Permasalahan
Dari beberapa tokoh pemikir muslim di atas, yang akan kami paparkan dalam makalah ini adalah Ibnu Taimiyyah. Kami mulai dari biografi singkat sampai pemikiran-pemikiran ekonomi Ibnu Taimiyyah.
Pembahasan
Biografi Ibnu Taimiyyah
Ibnu Taimiyah atau lengkapnya Abu al-Abbas Taqi al-Din Ahmad ibn Abd al-Salaam ibn Abdullah ibn Taymiya al-Harrani (lahir: 22 Januari 1263 (10 Rabiul Awwal 661 H) – wafat: 1328 (20 Dzulhijjah 728 H) ), adalah seorang pemikir dan ulama Islam dari Harran, Turki. Ia berasal dari keluarga religius. Ayahnya Syihabuddin bin Taymiyyah. Seorang Syaikh, hakim, khatib. Kakeknya Majduddin Abul Birkan Abdussalam bin Abdullah bin Taymiyyah Al-Harrani Seorang Ulama yang menguasai fiqih, ahli hadits, tafsir, ilmu ushul dan penghafal Al Qur’an (hafidz).
Ibnu Taymiyyah lahir di zaman ketika Baghdad merupakan pusat kekuasaan dan budaya Islam pada masa Dinasti Abbasiyah. Ketika berusia enam tahun (tahun 1268), Ibnu Taymiyyah dibawa ayahnya ke Damaskus disebabkan serbuan tentara Mongol atas Irak. Di Damaskus ia belajar pada banyak guru, dan memperoleh berbagai macam ilmu diantaranya ilmu hitung (matematika), khat (ilmu tulis menulis Arab), nahwu, ushul fiqih . Dan satu hal ia dikaruniai kemampuan mudah hafal dan sukar lupa. Hingga dalam usia muda, ia telah hafal Al-Qur’an. Kemampuan beliau dalam menuntut ilmu mulai terlihat pada usia 17 tahun. Dan usia 19, ia telah memberi fatwa dalam masalah masalah keagamaan.
Ibnu Taymiyyah amat menguasai ilmu Rijalul Hadits (perawi hadits) yang berguna dalam menelusuri Hadits dari periwayat atau pembawanya dan Fununul hadits (macam-macam hadits) baik yang lemah, cacat atau shahih. Beliau memahami semua hadits yang termuat dalam Kutubus Sittah dan Al-Musnad. Dalam mengemukakan ayat-ayat sebagai hujjah atau dalil, ia memiliki kehebatan yang luar biasa, sehingga mampu mengemukakan kesalahan dan kelemahan para mufassir atau ahli tafsir. Tiap malam ia menulis tafsir, fiqh, ilmu ‘ushul sambil mengomentari para filusuf . Sehari semalam ia mampu menulis empat buah kurrosah (buku kecil) yang memuat berbagai pendapatnya dalam bidang syari’ah. Ibnul Wardi menuturkan dalam Tarikh Ibnul Wardi bahwa karangan beliau mencapai lima ratus judul. Karya-karya beliau yang terkenal adalah Majmu’ Fatawa yang berisi masalah fatwa-fatwa dalam agama Islam.
Dalam satu riwayat disebutkan bahwa dia menulis buku lebih dari 300.000 judul buku. Pada masa selanjutnya para ulama berusaha mengumpulkan buku-buku tersebut dalam satu judul buku. Meskipun masih banyak kekurangan dan banyak buku yang belum dicantumkan, namun buku Majmu'ah al-Fatawa –yang diterbitkan pertama kali tahun 1326 H oleh Syaikh Farjullah al-Kurdi al-Azhari– sudah cukup mewakili pemikiran Ibnu Taimiyah dalam usahanya menegakkan ajaran Islam. Buku ini merupakan sekelumit kutipan pembahasan Ibnu Taimiyah tentang; Wilayah al-Amir bi al-Ma'ruf wa al-Nahy 'an al-Munkar (kekuasaan yang membawahi semua kekuasaan baik agama dan muamalat, selain kekuasaan eksekutif dan yudikatif), siyasah syar'iyah (politik Islam), dan Jihad fi Sabilillah.
Sekalipun kecintaannya terhadap ilmu sangatlah mendalam, Ibnu Taymiyyah tidaklah lantas meninggalkan kegiatan-kegiatan amaliyah dan aktivitas-aktivitas dakwah dan jihad seperti yang telah ditinggalkan kebanyakan ulama-ulama masa kini yang hanya puas bergelut dengan buku dan kitab-kitab saja. Ibnu Taymiyyah tidak berdiam diri jika melihat kemungkaran yang di lihatnya. Tak hanya itu, dengan tangannya sendiri, ia juga pernah mengobrak-abrik tempat pemabukan dan pendukungnya. Bahkan, pernah pada suatu Jum’at, Ibnu Taymiyyah dan pengikutnya memerangi penduduk yang tinggal di gunung Jurdu dan Kasrawan karena mereka sesat dan rusak aqidahnya akibat perlakuan tentara Tar-Tar yang pernah menghancurkan kota itu. Beliau kemudian menerangkan hakikat Islam pada mereka.
Amaliyah amar ma’ruf nahi munkarnya tak berhenti di situ. Ia melanjutkannya dengan berjihad dalam arti perang. Sesuatu yang sangat jauh sekali dilakukan oleh para ulama-ulama kebanyakan hari ini. Ia adalah seorang mujahid yang menjadikan jihad sebagai jalan hidupnya. Tahun 700 H, saat Syam dikepung tentara Tar-Tar. Ia segera mendatangi walikota Syam guna memecahkan segala kemungkinan yang terjadi. Dengan mengemukakan ayat Alqur’an, ia bangkitkan keberanian membela tanah air menghalau musuh. Kegigihannya itu membuat ia dipercaya untuk meminta bantuan bala tentara dari sultan di Kairo. Dengan argumentasi yang matang dan tepat, ia mampu menggugah hati Sultan. Ia kerahkan seluruh tentaranya menuju Syam sehingga akhirnya diperoleh kemenangan yang gemilang.
Pada Ramadhan 702 H, ia terjun sendiri ke medan perang Syuquq yang menjadi pusat komando pasukan Tar-Tar. Bersama tentara Mesir, mereka semua maju bersama dibawah komando Sultan. Dengan semangat Allahu Akbar yang menggema mereka berhasil mengusir tentara Tar-Tar.
Dalam perjalanan hidupnya, ia tak hanya sekali merasakan kehidupan penjara. Tahun 726 H, berdasarkan fakta yang diputar balikkan, Sultan megeluarkan perintah penangkapannya. Mendengar hal ini beliau berujar, “Saya menunggu hal itu. Disana ada kebaikan banyak sekali.”
Itulah Ibnu Taimiyah, ulama besar yang meringkuk dalam penjara Mesir. Baru saja ia bebas dari penjara, kemudian ditangkap lagi dan dipenjarakan yang kedua kalinya selama setengah tahun lagi. Sebabnya karena ia menulis sebuah kitab yang isinya tentang masalah ketuhanan yang tidak di terima banyak kalangan. Jadi, pribadi Ibnu Taymiyyah pun bukanlah tergolong ulama yang dekat dengan penguasa serta menjadi penjilat di sisinya. Banyak pula orang-orang maupun ulama yang menganggapnya sesat dan menyesatkan. Di dalam, penjara yang hanya setengah tahun itu ia berhasil menginsafkan penghuni penjara yang tinggal bersama beliau sehingga semua yang insaf dan kemudian menjadi pengikut yang setia.
Pemikiran Ekonomi Ibnu Taimiyyah
Kompensasi dan Harga yang Adil
Pembahasan Ibnu Taimiyah tentang masalah harga: kompensasi yang setara (‘iwad al-mithl) dan harga yang setara (thaman al-mithl). Dia berkata: “kompensasi yang setara akan diukur dan ditaksir oleh hal-hal yang setara dan itulah esensi dari keadilan (nafs al-‘adl). Dimana pun, ia membedakan antara dua jenis harga: harga yang tak adil dan terlarang serta harga yang adil dan disukai. Dia mempertimbangkan harga yang setara itu sebagai harga yang adil. Jadi, dua kata, “adil” dan “setara” digunakan saling mengganti.
Dalam mendefinisikan “kompensasin yang setara”, Ibnu Taimiyah berkata: “yang dimaksud kesetaraan adalah kuantitas dari objek khusus dalam penggunaan secara umum (‘urf). Itu juga berkait dengan nilai dasar (rate/si’r) dan kebiasaan (‘adah). Lebih dari itu ia menambahkan: “evaluasi yang benar terhadap kompensasi yang adil didasarkan atas analogi dan taksiran dari barang tersebut dengan barang lain yang setara (ekuvalen). Inilah benar-benar adil dan benar-benar diterima dalam penggunaannya.
Tampaknya, konsep kompensasi yang adil itu merupakan petunjuk masyarakat yang adil. Juga bagi seorang hakim, dalam melaksanakan tugasnya dipengadilan. Harus diingat, ringkasnya tujuan dari harga yang adil juga merupakan petunjuk pengungkap bagi pemegang otoritas, sebagai dasar bagi pengembangan ekonomi. Jadi, banyak kemiripan antara konsep Ibnu Taimiyah tentang kompensasi yang adil dan konsep harga yang adil dari para pemikir skolastik terdahulu. Ibu Taimiyah membedakan antara soal legal-etik dengan aspek ekonomi dari harga yang adil. Ia menggunakan term, “kompensasi yang setara” untuk yang awal dan “harga yang setara” untuk yang berikutnya. Pembedaan seperti itu, tak lazim di zamannya. Ia berakata: “sering kali menjadi ambigu dimata ahli jurisprudensi (fiqh) dan mereka saling membantah satu sama lain dalam kompensasi yang setara, terutama menyangkut jenis (jins) dan kuantitas (miqdar).
Mulanya, kompensasi yang setara juga dimulai sebagai konsep moral dan hukum. Ia mengatakan, keduanya hanya membutuhkan keterlibatan hukum secara minimum dan lebih membutuhkan keterlibatan moral yang sebaik-baiknya. Dia berkata: “mengkompensasikan suatu barang yang lain yang setara merupakan kewajiban berlaku adil (adl wajib) dan bila pembayarannya secara sukarela dinaikkan itu lebih baik dan merupakan perbuatan yang sangat diharapkan (ihsan mustahabb). Tetapi, sebaliknya, mengurangi kuantitas dari nilai kompensasi sangat dilarang dan merupakan ketidakadilan (dzulum muharram). Demikian juga, mengganti barang yang cacat dengan yang setara merupakan keadilan yang diperbolehkan (adl jaiz). Meningkatkan kerusakannya justru melanggar hukum (muharram), sedang mengurangi kerusakan merupakan kebaikan yang dianjurkan (ihsan mustahabb).
Tentang perbedaan antara kompensasi yang setara dengan harga yang setara, ia menguraikan: “jumlah kuantitas yang tercatat dalam kontrak ada dua macam. Pertama, jumlah kuantitas yang sangat akrab di masa masyarakat, yang biasa mereka gunakan. Kedua, jenis yang tak lazim (nadir), sebagai akibat dari meningkat atau menurunnya kemauan (raghbah) atau faktor lainnya. Ini menyatakan tentang harga yang setara.
Pemikiran Ibnu Taimiyah Tentang Uang
Ibnu Taimiyah lahir di kota Harran pada tanggal 22 Januari 1263 M, dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga ulama besar mazhab Hambali. Tradisi lingkungan keilmuan yang baik ditunjang dengan kejeniusannya telah mengantarkan beliau menjadi ahli dalam tafsir, hadits, fiqih, matematika dan filsafat dalam usia masih belasan tahun. Selain itu beliau terkenal sebagai penulis, orator dan sekaligus pemimpin perang yang handal. Cukup banyak karya-karya pemikirannya termasuk dalam bidang ekonomi yang dihasilkan. Pemikiran ekonomi beliau banyak terdapat dalam sejumlah karya tulisnya, seperti Majmu’ Fatawa Syaikh Al-Islam, As-Siyasah Asy-Syar’iyyah fi Ishlah Ar-Ra’i wa Ar-Ra’iyah, serta Al-Hasbah fi Al-Islam. Pemikiran ekonomi beliau lebih banyak pada wilayah makro ekonomi, seperti harga yang adil, mekanisme pasar, regulasi harga, uang dan kebijakan moneter.
Fungsi Uang dan Perdagangan Uang
Dalam hal uang, beliau menyatakan bahwa fungsi utama uang adalah sebagai alat pengukur nilai dan sebagai media untuk memperlancar pertukaran barang. Hal itu sebagaimana yang beliau ungkapakan sebagai berikut :
Atsman (harga atau yang dibayarkan sebagai harga, yaitu uang) dimaksudkan sebagai pengukur nilai barang-barang (mi’yar al-amwal) yang dengannya jumlah nilai barang-barang (maqadir al-amwal) dapat diketahui; dan uang tidak pernah dimaksudkan untuk diri mereka sendiri.
Pada kalimat terakhir pernyataannya tersebut (…dan uang tidak pernah dimaksudkan untuk diri mereka sendiri), sebagaimana yang diungkapkan juga oleh Al-Ghazali, menunjukkan bahwa beliau menentang bentuk perdagangan uang untuk mendapatkan keuntungan. Perdagangan uang berarti menjadikan uang sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan, dan ini akan mengalihkan fungsi uang dari tujuan yang sebenarnya. Terdapat sejumlah alasan mengapa uang dalam Islam dianggap sebagai alat untuk melakukan transaksi, bukan diperlakukan sebagai komoditas yaitu :
1. Uang tidak mempunyai kepuasan intrinsik (intrinsic utility) yang dapat memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia secara langsung. Uang harus digunakan untuk membeli barang dan jasa yang memuaskan kebutuhan. Sedangkan komoditi mempunyai kepuasan intrinsik, seperti rumah untuk ditempati, mobil untuk dikendarai. Oleh karena itu uang tidak boleh diperdagangkan dalam Islam.
2. Komoditas mempunyai kualitas yang berbeda-beda, sementara uang tidak. Contohnya uang dengan nominal Rp.10.000,- yang kertasnya kumal nilainya sama dengan kertas yang bersih. Hal itu berbeda dengan harga mobil baru dan mobil bekas meskipun model dan tahun pembuatannya sama.
3. Komoditas akan menyertai secara fisik dalam transaksi jual beli. Misalnya kita akan memilih sepeda motor tertentu yang dijual di showroom. Sementara uang tidak mempunyai identitas khusus, kita dapat membeli mobil tersebut secara tunai maupun cek. Penjual tidak akan menanyakan bentuk uangnya seperti apa.
Islam menempatkan fungsi uang semata-mata sebagai alat tukar dan bukan sebagai komoditi, sehingga tidak layak untuk diperdagangkan apalagi mengandung unsur ketidakpastian atau spekulasi (gharar) sehingga yang ada adalah bukan harga uang apalagi dikaitkan dengan berlalunya waktu tetapi nilai uang untuk ditukar dengan barang.
Apabila uang dipertukarkan dengan uang yang lain, maka pertukaran tersebut harus dilakukan secara simultan (taqabud), dan tanpa penundaan (hulul). Apabila dua orang saling mempertukarkan uang dengan kondisi di satu pihak membayar tunai sementara pihak lainnya berjanji membayar di kemudian hari, maka pihak pertama tidak akan dapat menggunakan uang yang dijanjikan untuk bertransaksi hingga benar-benar uang tersebut dibayar, sehingga sebenarnya pihak pertama telah kehilangan kesempatan. Dalam pandangan Ibnu Taimiyah hal itulah yang menjadi alasan mengapa Rasulullah Saw melarang jenis transaksi seperti ini.
Pencetakan Uang sebagai Alat Tukar Resmi
Ibnu Taimiyah hidup pada zaman pemerintahan Bani Mamluk. Pada saat itu harga-harga barang ditetapkan dalam Dirham, yaitu mata uang peninggalan Bani Ayyubi. Karena desakan kebutuhan masyarakat terhadap mata uang dengan pecahan lebih kecil, maka Sultan Kamil Ayyubi memperkenalkan mata uang baru yang berasal dari tembaga yang disebut dengan Fulus. Dirham ditetapkan sebagai alat transaksi besar, dan Fulus digunakan untuk transaksi-transaksi dalam nilai kecil. Inilah yang kelak kemudian menginspirasi pemerintahan Sultan Kitbugha dan Sultan Dzahir Barquq untuk mencetak Fulus dalam jumlah sangat besar dengan nilai nominal yang melebihi kandungan tembaganya (intrinsic value). Akibatnya kondisi perekonomian semakin memburuk, karena nilai mata uang menjadi turun. Berkenaan dengan adanya fenomena penurunan nilai mata uang tersebut, Ibnu Taimiyah berpendapat sebagai berikut :
Penguasa seharusnya mencetak fulus (mata uang selain emas dan perak) sesuai dengan nilai yang adil (proporsional) atas transaksi masyarakat, tanpa menimbulkan kezaliman terhadap mereka.
Dari yang beliau nyatakan tersebut, dapat dipahami bahwa beliau melihat adanya hubungan antara jumlah uang yang beredar di masyarakat, total volume transaksi yang dilakukan, dan tingkat harga produk yang berlaku. Pernyataan dalam kalimat pertama (penguasa seharusnya mencetak Fulus sesuai dengan nilai yang adil (proporsional) atas transaksi masyarakat) dimaksudkan untuk menjaga harga agar tetap stabil. Menurutnya, nilai intrinsik mata uang harus sesuai dengan daya beli masyarakat di pasar sehingga tidak seorang pun, termasuk pemerintah dapat mengambil untung dengan melebur uang dan menjualnya dalam bentuk logam lantakan, atau mengubah logam tersebut menjadi koin dan memasukkannya dalam peredaran mata uang, karena sifat-sifat alamiah uang yang termasuk kategori token money, semakin sulit bagi pemerintah untuk menjaga nilai uang. Yang dapat dilakukan pemerintah adalah tidak mencetak uang selama tidak ada kenaikan daya serap sektor riil terhadap uang yang dicetak tersebut. Melalui teori kuantitas uangnya Irving Fisher di atas, hal ini dapat dijelaskan melalui persamaan :
MV = PT.
dimana M (Money) adalah jumlah uang beredar, V (Velocity) adalah kecepatan uang beredar, P (Price) adalah tingkat harga produk dan T (Trade) adalah nilai produk yang diperdagangkan. Apabila pemerintah setiap kali butuh uang melakukan pencetakan mata uang tanpa memperhatikan daya serap sektor riil, maka jumlah uang beredar di masyarakat, M akan meningkat. Sementara bila V dan T tidak mengalami perubahan, dalam persamaan di atas agar sisi kanan sama dengan sisi kiri, maka otomatis P akan naik. Dengan kata lain, konsekuensi naiknya M akan mengakibatkan harga-harga produk mengalami kenaikan (tidak stabil), yang berarti terjadi inflasi yang meningkat.
Implikasi Penerapan Lebih dari Satu Standar Mata Uang
Setelah sadar akan kesalahan yang dilakukannya, Sultan Kitbugha menetapkan bahwa nilai Fulus ditentukan berdasarkan beratnya, dan bukan berdasarkan nilai nominalnya. Namun pencetakan Fulus dalam jumlah besar masih dilakukan oleh Sultan Dzahir Barquq dengan mengimpor tembaga dari negara-negara Eropa. Untuk mendapatkan tembaga saat itu memang sangat mudah dan murah. Di tengah penggunaan Fulus secara luas pada masyarakat, pada saat yang bersamaan penggunaan Dirham semakin sedikit dalam kegiatan transaksi. Dirham semakin menghilang dari peredaran dan inflasi semakin melambung yang ditandai dengan semakin meningkatnya harga-harga produk. Dampak pemberlakuan Fulus sebagai mata uang resmi adalah terjadinya kelaparan sebagai akibat inflasi keuangan yang mendorong naiknya harga. Persoalan kelaparan ini diungkapkan Al-Maqrizi dalam kitabnya Ightsatul Ummah bi Kayfi Al-Ghummah sebagai berikut :
Ketahuilah, semoga Allah memberi taufiq kepadamu untuk mendengarkan kebenaran dan memberi ilham kepadamu nasehat makhluk, bahwa sudah jelas seperti yang telah lewat, rusaknya perkara adalah karena perencanaan yang buruk bukan karena naiknya harga-harga. Jikalau mereka yang dibebankan oleh Allah untuk mengatur perkara hamba mendapat taufiq lalu mengembalikan interaksi ekonomi kepada bentuk sebelumnya menggunakan emas saja dan mengembalikan harga-harga barang dan nilai pembayaran kepada dinar atau kepada apa yang terjadi setelah itu, yakni transaksi menggunakan perak yang dicetak, maka pada keadaan yang demikianlah pertolongan kepada umat, perbaikan persoalan-persoalan, dan kesadaran terhadap kerusakan yang sudah mencapai tahap kehancuran ini. Lebih jelas dari itu bahwa mata uang apabila dikembalikan pada bentuknya yang semula, dan orang yang mendapatkan uang dari pajak bumi, atau sewa bangunan, atau pegawai pemerintahan, atau pembayaran jasa, dia mendapatkannya dalam bentuk emas atau perak sesuai dengan apa dilihat oleh mereka yang mengurus persoalan public. Pada saat sekarang dengan beragamnya kondisi apabila diberlakukan emas dan perak, tentunya semua transaksi tidak ditemukan lagi penipuan sama sekali, karena semua harga yang berlaku diukur berdasarkan emas dan perak. Namun ada beberapa sebab yang menjadi harga menjdi naik, yaitu, pertama, rusknya cara pandang orang yang ditugaskan untuk memikirkan hal itu dan kebodohannya dalam mengatur persoalan. Ini penyebab utama kebanyakannya. Kedua, musibah yang menimpa sesuatu sehingga persediaan menjadi sedikit seperti yang terjadi pada daging sapi yang tertimpa kematian missal pada tahun 808, dan yang terjadi pada gula karena kurangnya tebu dan perasannya pada tahun 807 dan 808. dan ini hanya penyebab kecil dibandingkan sebab pertama.
Selanjutnya, Dirham juga mengalami perubahan komposisi kandungan pada zaman pemerintahan Nasir. Satu Dirham yang semula mengandung 2/3 perak dan 1/3 tembaga, sekarang menjadi terdiri atas 1/3 perak dan 2/3 tembaga. Pada saat pemerintahan di bawah cucu Nasir, yaitu Nasir Hasan (1358 M) pemerintah menetapkan keputusan bahwa Fulus yang sedang beredar di masyarakat dinyatakan tidak berlaku lagi, dan pemerintah mengeluarkan mata uang baru sebagai penggantinya. Merespon berbagai kebijakan uang yang dilakukan oleh penguasa pada saat itu, Ibnu Taimiyah menyatakan :
Apabila penguasa membatalkan penggunaan mata uang tertentu dan mencetak jenis mata uang yang lain bagi masyarakat, hal ini akan merugikan orang-orang kaya yang memiliki uang karena jatuhnya nilai mata uang lama menjadi hanya sebuah barang. Ia berarti telah melakukan kezaliman karena menghilangkan nilai tinggi yang semula mereka miliki.
Beliau menyarankan agar penguasa tidak membatalkan masa berlaku suatu mata uang yang sedang berada di tangan masyarakat. Ketika pemerintah menyatakan tidak berlaku lagi atas mata uang yang dipegang masyarakat, yang berarti uang diperlakukan sebagai barang biasa yang tidak mempunyai nilai yang sama dibandingkan dengan ketika berfungsi sebagai uang, maka masyarakat sangat dirugikan dalam hal ini. Daya beli masyarakat secara langsung akan terpangkas drastis karena terjadi penurunan nilai asetnya dengan adanya kebijakan tersebut.
Menurutnya, penciptaan mata uang dengan nilai nominal yang lebih besar daripada nilai intrinsiknya, dan kemudian menggunakan uang tersebut untuk membeli emas, perak atau benda berharga lainnya dari masyarakat akan menyebabkan terjadinya penurunan nilai mata uang serta akan menyebabkan inflasi serta pemalsuan uang. Beliau menganggap bahwa perdagangan mata uang sebagai bentuk kezaliman terhadap masyarakat dan bertentangan dengan kepentingan umum. Dalam masalah ini Ibnu Taimiyah mengungkapkan :
Lebih daripada itu, apabila nilai intrinsik mata uang tersebut berbeda, hal ini akan menjadi sebuah sumber keuntungan bagi para penjahat untuk mengumpulkan mata uang yang buruk dan menukarkanya dengan mata uang yang baik, dan kemudian mereka akan membawanya ke daerah lain dan menukarkannya dengan mata uang yang buruk di daerah tersebut untuk dibawa kembali ke daerahnya. Dengan demikian, nilai barang-barang masyarakat akan menjadi hancur.
Ibnu Taimiyah menyarankan kepada penguasa agar tidak mempelopori bisnis mata uang dengan cara membeli tembaga serta mencetaknya menjadi uang, dengan kata lain mengambil untung dari hasil mencetak uang (seignorage). Saran beliau cukup beralasan, karena setiap pemerintah butuh uang kemudian dengan seenaknya mencetak uang, apalagi nilai nominal mata uang tersebut lebih kecil daripada nilai intrinsiknya, maka kondisi tersebut akan memicu inflasi yang tinggi. Pada saat inflasi tinggi, ketika jumlah uang beredar berlebihan, sementara pendapatan masyarakat nominal tidak bertambah, maka pendapatan riil masyarakat akan menurun, yang berarti masyarakat menjadi semakin miskin. Sungguh memprihatinkan, dan tidak ada artinya ketika pendapatan penguasa/pemerintah meningkat hasil menikmati keuntungan (selisih antara nilai nominal dan nilai intrinsik mata uang Fulus), namun di sisi lain pendapatan riil masyarakat secara umum semakin berkurang. Penguasa juga harus mencetak uang sesuai dengan nilai riilnya tanpa bertujuan untuk mencari keuntungan apapun agar kesejahteraan masyarakat tetap terjamin.
Di bagian akhir pernyataan beliau di atas, dinyatakan bahwa uang dengan kualitas buruk akan menyingkirkan uang dengan kualitas baik dari peredaran. Hal itu akibat beredarnya mata uang lebih dari satu jenis pada saat itu dengan nilai kandungan logam mulia yang berbeda. Sebagaimana dinyatakan di atas, bahwa 1 Dirham yang semula mengandung 2/3 perak dan 1/3 tembaga, sekarang menjadi terdiri atas 1/3 perak dan 2/3 tembaga. Masyarakat yang masih memegang Dinar dan Dirham lama termotivasi untuk menukar uangnya tersebut dengan produk-produk dari luar negeri karena akan mendapatkan jumlah produk yang lebih banyak atau lebih menguntungkan. Selanjutnya, makin banyak masyarakat beralih pada penggunaan Fulus sebagai alat transaksi. Akibatnya, peredaran Dinar sangat terbatas, Dirham berfluktuasi, bahkan kadang-kadang menghilang. Sementara Fulus beredar secara luas. Banyaknya Fulus yang beredar akibat meningkatnya kandungan tembaga dalam mata uang Dirham mengakibatkan sistem moneter pada waktu itu tidak stabil. Ungkapan Al-Maqrizi berikut ini akan memperjelas kondisi tersebut :
Ketika pada masa Mahmud bin Ali, penanggung jawab raja Al-Dzahir Barquq—semoga Allah merahmatinya—memperbanyak uang tembaga. Pencetakan uang tembaga terus berlanjut beberapa tahun sedangkan orang asing membawa dirham-dirham yang ada di Mesir ke negeri mereka, dan penduduk negeri meleburnya untuk dimanfaatkan sehingga berkurang dan bahkan hampir punah (habis) dan uang tembaga beredar secara luas sehingga seluruh barang jualan dihitung dengannya.
Dia (Al-Dzahir Barquq) membangun gedung percetakan uang tembaga di Alexandria sehingga uang tembaga semakin banyak di tangan orang-orang dan beredar luas karena itu menjadi mata uang dominan di negeri ini. Dirham semakin berkurang karena dua sebab: pertama, sama sekali tidak dicetak lagi. Kedua, orang-orang melebur dirham untuk dijadikan perhiasan.
Fenomena yang diamati, dianalisis yang kemudian dinyatakan secara tertulis oleh Ibnu Taimiyah di atas dan disempurnakan oleh Al-Maqrizi, ternyata sekitar 1.000 tahun kemudian dengan situasi dan kondisi sedikit berbeda fenomena sejenis terjadi di Amerika (1782-1834). Pada waktu itu Amerika mempertahankan kurs mata uang emas dan perak sebesar 1 : 15, meskipun nilai mata uang emas di negara-negara Eropa menguat berkisar pada kurs 1 : 15,5 hingga 1 : 16,6. Akibatnya, mata uang emas Amerika mengalir ke Eropa, dan sebaliknya mata uang perak membanjiri Amerika. Fenomena itulah yang diamati oleh Thomas Gresham (1857 M) dan dia nyatakan dengan bahasanya bahwa, “uang dengan kualitas rendah menendang ke luar uang berkualitas baik”. Pernyataan itu sangat dimungkinkan terinspirasi pemikiran Ibnu Taimiyah dan Al-Maqrizi mengingat karya kedua pemikir Islam tersebut hingga kini masih dapat dibaca. Namun pernyataan itulah yang kelak di kemudian hari dikenal sebagai Hukum Gresham yang sangat terkenal dan sering dikutip hampir semua buku teks ekonomi konvensional, dan tanpa pernah menyebutkan bahwa Ibnu Taimiyah jauh sebelumnya pernah menyatakan hal serupa.
Lebih jauh beliau menyarankan agar gaji para pegawai hendaknya dibayar dari perbendaharaan negara (baitul mal). Saran beliau tersebut setidaknya dapat dijelaskan sebagai berikut, pembayaran gaji yang diambilkan dari hasil pencetakan mata uang akan menimbulkan kenaikan penawaran uang, sedangkan pembayaran yang berasal dari perbendaharaan negara berarti menggunakan uang yang telah ada dalam peredaran, yang berarti juga dapat menambah harta perbendaharaan negara melalui kharaj dan sumber pendapatan negara lainnya.
KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa ulama-ulama klasik Islam telah tidak hanya berkutat pada agama dalam arti sebatas ritual keagamaan, akan tetapi telah menaruh perhatian pada masalah perekonomian masyarakat bahkan diindikasikan teori-teori ekonomi konvensional modern merupakan adopsi dari hasil pemikiran mereka (Islam). Gresham telah mengadopsi teori Ibnu Taymiyah tentang mata uang (curency) berkulitas buruk dan berkualitas baik. Menurut Ibnu Taymiyah, uang berkualitas buruk akan menendang keluar uang yang berkualitas baik, contohnya fulus (mata uang tembaga) akan menendang keluar mata uang emas dan perak.
Fungsi utama uang hanya sebagai alat tukar dalam transaksi (medium of exchange for transaction) dan sebagai satuan nilai (unit of account). Semua kebijakan tentang uang yang dibuat pemerintah harus dalam rangka untuk kesejahteraan masyarakat (maslahat). Pencetakan uang yang tidak didasarkan pada daya serap sektor riil dilarang, karena hanya akan meningkatkan inflasi dan menurunkan kesejahteraan masyarakat. Penimbunan uang dilarang, karena menyebabkan melambatnya perputaran uang yang berdampak pada turunnya jumlah produksi dan kenaikan harga-harga produk. Peleburan uang logam dilarang, karena akan mengurangi pasokan uang secara permanent yang berdampak pada kenaikan harga-harga produk.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas Mirakhor, Moslem Contribution to Economics, dalam Baqir Al-Hasani dan Abbas Mirakhor (ed)., Essay on Iqtishad: The Islamic Approach to Economic Problems, USA: Nur Corporation, 1989.
Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam, Suatu Kajian Ekonomi Makro, The Interntional Institute of Islamic Thought Indonesia, 2002.
————————–, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Edisi Ketiga, Raja Grafindo Persada, 2006.
A.L.M. Abdul Gafoor, Interest, Usury, Riba, and the Operational Costs of a Bank, http://www.riba-free-banking.com/
Al-Maqrizi, Ightsatul Ummah bi Kayfi Al-Ghummah, hal 82-83 dalam A. Hasan, Mata Uang Islami, Telaah Komprehensif Sistem Keuangan Islam, Raja Grafindo Persada, 2005.
Ahmad Hasan, Mata Uang Islami, Telaah Komprehensif Sistem Keuangan Islam, Raja Grafindo Persada, 2005.
Al-Ghazali, Mustashfa min ‘Ilmi Al-Ushul, Baghdad: Maktabah al-Mutsanna, dalam Mata Uang Islami, Telaah Komprehensif Sistem Keuangan Islam, 2005
Ibnu Taimiyah, Majmu; Fatawa Ibnu Taimiyah, Mathabi’ Al-Riyadh, 1383 dalam Ahmad Hasan, Mata Uang Islami, Telaah Komprehensif Sistem Keuangan Islam, 2005.
Mohammad Ziaul Hoque dan Masudul Alam Choudhury, Islamic Finance: A Western Perspective-Revisted, International Journal of Financial Services,Vol.5,No. 1,2004.
Muhammad Anwar, Evolution of Euro: Lessons for Muslim Countries, International Journal of Financial Services,Vol.5, No. 2, 2004.
Muhammad Taqi Usmani, Judgement on Rib, dalam Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam, Suatu Kajian Ekonomi Makro, IIIT, 2002.
M. Nejatullah Siddiqi, Recent Works on History of Economic Thought in Islam: A Survey, Jeddah, ICRE King abdul Aziz University, 1982.
M. Umer Chapra, Sistem Moneter Islam, Gema Insani Press, 2000.
——————–, The Future of Economics: An Islamic Perspective, Shari’ah Economics and Banking Institute, 2001.
Sufyan Ismail, Why Islam has Prohibited Interest and Islamic Alternative for Financing, www.1stethical.com
Langganan:
Postingan (Atom)