RSS

Senin, 24 Mei 2010

Pemikiran Ekonomi Ibn Adam: Eksplorasi awal tentang konsep sumber keuangan Negara

Pemikiran Ekonomi Ibn Adam:
Eksplorasi awal tentang konsep sumber keuangan Negara


A. Pendahuluan
Rasulullah saw telah meletakkan dasar sistem moneter dengan menjadikan uang sebagai alat penukar yang bersifat umum untuk membenarkan pertukaran barter sejenis. Oleh sebab itu, masyarakat Islam telah lama menggunakan uang sebagai media transaksi, berbeda dengan negara-negara di eropa, sisitem ini baru diterapkan di akhir abad pertengahan kehadiran Islam. Buku ”The Wealth Nation” yang ditulis Adam Smith merupakan salah satu upaya dalam melanjutkan sistem keuangan, juga menjelaskan konsep negara dalam mengatur kehidupan ekonomi, sumber-sumber anggaran negara dan proses alokasi dana bagi kesejahteraan masyarakat.
Diawal tahun 30-an peran negara hanya terbatas pada pengelolaan sumber-sumber anggaran dan proses alokasi dana dalam memenuhi kehidupan pablik, negara tidak mampu menentukan kebijakan ekonomi, ini disebabkan sistem ekonomi yang berkembang menganut prinsip kebebasan individu atau disebut juga dengan aliran kapitalis. Karena kecewa terhadap sistem kapitalis yang gagal mewujudkan nilai kejahteraan terhadap maasyarakat serta diiringi dengan krisis interval perang dunia menyebabkan timbulnya sistem sosisalis, semua hak kepemilikan dimiliki oleh negara, mereka menilai perlunya intervensi pemerintah dalam segala hal untuk mewujudkan sejahteraaan kehidupan ekonomi, namun sistem ini juga gagal dalam mewujudkan tujuan utamanya.
Secara keilmuan kita beriktikad baik terhadap mereka yang sudah berupaya untuk mencipkatan teori baru untuk mewujudkan kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat, walaupun kesemua teori tersebut gagal mencapai tujuan utamanya, sehingga menjadi intropeksi bagi ummat Islam, bukankah Islam sudah mengatur dasar-dasar keuangan dan bagaimanakah pengawasan keuangan dalam Islam sehingga Islam mencapai masa keemasannya.
Negara Islam terbentuk setelah Rasulullah saw melakukan hijrah dan menetap di Madinah, perkembangan infrastuktur keuangan Islam seiring dengan perluasan daerah Islam dan perkembangannya. Pada awalnya keuangan negara Islam sangat lemah hal ini dapat dilihat dari situasi peperangan Badr al-Kubra dimana ummat Islam hanya memilki 17 ekor unta dan 2 ekor kuda sedangkan jumlah keseluruhan pasukan tidak lebih dari 350 orang.
Setelah penaklukan terhadap Bani Nadhir barulah ada nafas baru bagi perekonomian umat Islam. Akan tetapi masih belum mencakupi untuk mencakupi semua kebutuhan umat Islam baik untuk keperluan menjalakan roda pemerintahan atau untuk peperangan. Hasil yang diperolehi dari tanah bani nadhir dan pendapatan yang diperolehi dari waktu kewaktu disimpan pada satu tempat untuk masa tanggap darurat, sedangkan pendapatan yang diperoleh dari fai, kharaj didistribusikan langsung tanpa disimpan.
Dari uraian diatas dapat kita pahami bahwasanya sistem keuangan sudah diatur dalam pemerintahan Islam sejak zaman Rasulullah saw, hal ini dbuktikan dengan adanya tempat menyimpan harta pendapatan negara, walau sebagian harta lainnya ada yang langsung didistribusikan kepada sahabat yang berhak menerimanya.
Namun pembahasan keuangan negara secara sistematis pertama sekali dilakaukan oleh Abu Yusuf dengan judul bukunya al-Kharaj, ini merupakan permintaan Khalifah Harun ar-Rasyid untuk merumuskan kebijakan keuangan negara, tidak lama kemudian Yahya Ibn Adam menunis sebuah buku yang dinamakan juga dengan al-Kharaj, setelah itu dibahas secara mendalam oleh Imam Syafi’i dalam kitabnya al-Um. Kemudia Abu ’Abid Ibn Salam menyusun materi yang sama dalam sebuah buku yang dinamakan dengan al-Amwal, proses tersebut terjadi pada akhir abad 2 hijriah sampai dengan awal abad 3 hijriah.
Begitu juga dengan karya-karya lainnya seperti Tarikh ad-Daulah al-Islamiyah oleh imam Tabari, begitu juga dengan karya Ibn Atsir, ada sebagian cendikiawan yang mengkatagorikan karya mereka lebih condong kepada politik dan peperangan, atau identik dengan kajian historis, namun tidak sedikit kita jumpai keterangan-keterangan yang berhubungan dengan ekonomi, diantara cendikiawan muslim yang telah banyak memberi kontribusi dalam keilmuan ekonomi dan keuangan ialah al-Maqrizi, Ibn Khaldun, dan Ibn Khardazabah.
Walaupun demikian isu-isu yang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara perspektif konvensional, bank, saham, asuransi, pengenalan uang kertas di negara-negara Islam telah menyebabkan para fuqaha berhadapan dengan berbagai permasalahan yang harus dijawab.
Beberapa tahun pasca Abu Yusuf, muncul pula kitab al-kharaj karya Yahya Ibn Adam al-Qurasyi (140 H/-203/818 M). Buku ini termasuk yang ketiga dalam bidang ekonomi setelah kitab al-Amwal karya Abu Ubaid. Walaupun kebanyakan ahli biografi ulama (al-tarajum) tidak mengetahui tahun lahir Ibn Adam, namun dapat dipastikan beliu hidup pada abad ke II H, semasa dengan Abu Yusuf dan meninggal tahun 203 H. Jumlah guru Ibn Adam menurut catatan Ahmad Syakir sebanyak 90 orang antara lain al-Hasan Ibn Soleh. Mereka kemudian menjadi matarantai (sanad) hadis yang memperkuat kualitas akademik al-kharaj. Muridnya antara lain imam Ahmad Ibn Hanbal, Ishaq Ibn Rahawaih, dan Ali Ibn al-Madini. Beliau tercatat sebagai ahli hadis yang mendapat pujian dari Ibn Ma'in, Nasa'i, dan Ali ibn al-Madini. Kalau Abu Yusuf dikenal ahli fiqh aliran ra'y, maka Ibn Adam akrab dengan argumen-argumen tekstual terutama hadis, keputusan maupun kebijakan para khalifah terdahulu.
Uraian di atas memunculkan beberapa pertanyaan antara lain: metode apakah yang digunakan oleh Ibn Adam dalam menulis karya al-kharaj? Adakah perbedaan konsep al-kharaj menurut Abu Yusuf dan Ibn Adam? Tulisan ini akan berusaha untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut.

B. Metode Abu Yusuf dan Ibn Adam dalam al-Kharaj
Abu Yusuf menjadi salah satu dari dua referensi utama fiqh dalam mazhab Hanafi. Pengetahuannya tentang hadis juga tidak dapat diremehkan. Ini terlihat dalam kitab al-Asar karya putranya Yusuf. Kitab ini sarat dengan wacana fiqh Abu Hanifah dan Abu Yusuf.

Keunggulan karya Abu Yusuf dalam bidang fiqh karena ditulis dengan metode: Pertama, menggabungkan metode fuqaha' (aliran ra'y) di Kufah dengan metode fuqaha' (aliran al-hadis) di Madinah. Kedua, rumusan hukumnya sejalan dengan fenomena aktual di tengah masyarakat sehingga sangat aplikatif dan realistis. Pengalamannya dalam menyelesaikan kasus-kasus rill, membuatnya banyak menghindar dari rumusan fiqh yang asumtif. Ketiga, bebas dalam berpendapat. Kemampuan Abu Yusuf menggabungkan metode fuqaha' aliran ra'yi dan aliran hadis membentuknya menjadi faqih independen, tidak berpihak kepada pendapat tertentu secara subyektif. Beliau melakukan ijtihad secara mandiri dan tidak terpengaruh oleh pendapat guru-gurunya. Keempat, komitmen pada sumber-sumber tekstual dan rasional. Metode ini menjadi tradsisi para ulama ahl al-ra'y yang menggunakan nalar qiyas dan nalar istihsan serta mempertimbangkan al-'urf (tradisi masyarakat yang baik).
Dalam bidang ekonomi , terutama dalam kitab al-kharaj, Abu Yusuf pun menggunakan motode-metode tersebut.i Kitab al-Kharaj, merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh khalifah Harun al-Rasyid dan pertanyaan-pertanyaan yang dibuat sendiri oleh Abu Yusuf. Jawaban atas semua pertanyaan tersebut diperkuat oleh dalil-dalil aqli dan naqli sehingga lebih unggul secara akademik dari pada kitab al-Kharaj karya Ibn Adam yang hanya diperkuat oleh dalil-dalil naqli tanpa memberi kesempatan kepada nalar. Metode Ibn Adam yang mengunggulkan dokumentasi (tausiq) riwayat telah menyeretnya menggunakan hadis da'if, dan menukil pendapat sahabat dan tabi'in dalam jumlah yang cukup banyak tanpa melakukan kritik eksternal (sanad) dan internal (matan) terhadapnya. Sebaliknya, Abu Yusuf menggunakan pendekatan rasional dalam menyimpulkan 'ilal al-hadis. Sehingga kualitas hadis dalam al-kharaj karya Abu Yusuf lebih sahih ketimbang dalam kitab al-kharaj karya Ibn Adam. Tentu saja Abu Yusuf tidak mengabaikan praktek faktual para sahabat (a'mal al-sahabah) sejauh itu relevan dengan situasi yang ada mengingat kemaslahatan umum selalu menjadi pertimbangan utama.

Istilah al-kharaj dalam prespektif Abu Yusuf mengandung dua makna: pertama, makna yang berdimensi umum yaitu al-amwal al-'ammah (keuangan umum), atau sumber pendapatan negara. Hal ini terlihat ketika Abu Yusuf mendiskusikan tema-tema yang berkaitan dengan sumber pendapatan negara seperti ganimah, fai', al-kharaj, al-jzyah, dan harta-harta yang berkedudukan sebagai pengganti seperti al-kharaj seperti 'usyur al-tijarah, dan sadaqah.
Kedua, makna al-kharaj yang berdimensi khusus terlihat ketika beliau menyebutkan sewa tanah atau kompensasi atas pemanfaatan tanah. Kedua dimensi makna al-kharaj tersebut ditemukan pula dalam karya Ibn Adam dan Abu Ubaid. Dengan demikan, istilah al-amwal sinonim dengan istilah al-kharaj yaitu keuangan umum atau sumber pendapatan negara. Pemaknaan al-kharaj secara sempit dan khusus, kata Dhiya' al-Din al-Ris muncul dan dipelopori oleh fuqaha' pasca Abu Yusuf, tetapi pemunculan tersebut tidak mempengaruhi makna dasar al-kharaj.[12]

C. Fiqh Ekonomi Ibn Adam
Kitab al-Kharaj Karya Ibn Adam tidak jauh berbeda dengan al-Kharaj karya Abu Yusuf kecuali pada aspek metode kontruksi terhadap dalil. Abu Yusuf menekankan argumen rasional, sementara Ibn Adam mengacu pada ahadis dan ahdas (hadis dan kebijakan politik pemerintah dalam menghadapi kasus-kasus sebelumnya). Karya Ibn Adam sarat dengan berbagai perbedaan pendapat. Metode penulisan seperti ini, dari satu sisi sangat bagus karena merekam berbagai wacana secara komprehensif. Namun dari sisi lain, dapat membingungkan pembaca karena penulis tidak mengemukakan pendapat secara cermat dan independen yang mencerminkan kpribadian ilmiahnya. Pemandangan seperti ini dalam karya Ibn Adam, terlihat sangat mengasyikkan.
Konsep kebersamaan dalam kehidupan ekonomi (musytarakiyat al-hayat al-iqtisadiyah) dalam karya Ibn Adam muncul ketika beliau mendiskusikan penduduk pedesaan yang satu sama lain saling menjamin pada pajak tanah (jizyah al-ardh) di hadapan kaum muslim yang saling menjamin pula.
Ibn Adam selalu menegaskan al-musytarakiyah (kebersamaan) dengan berbagai pihak yang berbeda agama seperti (umat muslim, kaum zimmi dan kebersamaan yang bersifat lokal seperti penduduk desa dan kota. Beliau juga sering menegaskan berbagai macam perlakuan pada jibayah (penarikan pajak) sesuai dengan karakteristik daerah, bentuk kesepakatan, perjanjian dan keadaan penduduk.
Ibn Adam menyebutkan konsep al-qimah (harga) dan al-nafaqah (beaya hidup) atau al-taklifah. Kedua konsep tersebut hampir tidak ada di benak Abu Yusuf. Hal ini menunjukkan bahwa Ibn Adam menyadari pentingnya keberadaan pasar sebagai unsur prekonomian makro dan merupakan unsur yang menyatukan antara elemen-elemen yang membentuk al-musytarakiyah tersebut.
Baik Ibn Adam maupun Abu Yusuf sepakat pada unsur-unsur yang menggerakkan prekonomian, dan urutan prioritas sumber-sumber ekonomi: al-thabi’ah (sumber alam) dan al-‘amal al-insani (tenaga kerja ). Harta yang dibebankan atas tanah akan menjadi al-kharaj (jizyah) apabila dapat dijangkau oleh air sungai yang berstatus kharaj. Pernyataan ini menegaskan karakteristik air yang dapat melakukan aktivitas produksi secara mandiri.
Agama, masyarakat muslim, kekuasaan dan peran pemimpin, menurut Ibn Adam merupakan unsur-unsur pemersatu dan pengikat antara elemen-elemen yang membentuk bangunan masyarakat dan politik yang ada pada saat itu. Beliau berkata: dari (...) dari (...) barang siapa membuat perjanjian jaminan keamanan maka diyatnya (denda dalam kasus pembunuhan) disamakan dengan diyat muslim. Berdasarkan kutipan ini, Ibn Adam ingin menegaskan bahwa umat Islam bergabung sepenuhnya ke dalam al-musytarakat al-zimmiyah (komunitas kaum zimmi) yang ada di dalam negara Islam. Dengan demikian, kaum zimmi menjadi bagian dari warga negara. Hal serupa juga diungkapkan oleh Abu Yusuf. Beliau mengatakan bahwa bait al-mal wajib menanggung kebutuhan kaum zimmi yang lemah bekerja apabila komunitasnya tidak mampu menanggungnya. Pernyataan ini secara otomatis menjadikan kaum zimmi menjadi bagian dari komunitas "islami".
Akan tetapi yang paling penting dalam karya Ibn Adam adalah konsep yang berkaitan dengan hubungan-hubungan internal atau dalam istilah modern disebut "hubungan-hubungan produksi (hubungan-hubungan yang berimplikasi pada pembagian dan pendistribusian hasil produksi masyarakat). Hal ini tentu sangat wajar karena judul karyanya adalah al-kharaj yaitu pajak tanah (jaziyat al-ardh). Ibn Adam seperti juga halnya dengan Abu Yusuf memasukkan konsep pajak diri (jiziyat al-ra'as)., ganimah, al-'usyur sodaqah, zakat dan bea cukai, sebagai sarana pendapatan umat Islam pada masa itu.
Menurut Ibn Adam al-kharaj adalah lembaga yang eksis pada masa imperium Persia sebelum bangsa Arab menaklukkan dan menguasai tanah Sawad: "Mereka meninggalkan tanah dan penduduk Sawad dan mewajibkan kepada penduduknya untuk membayar jizyah. Mengukur lahan (tanah) yang mereka miliki, kemudian menetapkan pajaknya. Selain itu, mereka mengambil tanah yang belum dimiliki oleh seseorang dan menyerahkannya kepada imam atau penguasa.
Dengan demikian, al-kharaj di daerah-daerah yang dikuasai Persia, dan al-jizyah di daerah-daerah yang dikuasai Bizantium Romawi bukanlah permasalahan baru pada saat itu. Namun yang baru adalah penafsiran khusus dan pelembagaan hukum agama yang dikontruksi oleh Ibn Adam yang berkaitan dengan al-kharaj dan al-jizyah. Hal serupa dilakukan pula oleh Abu Yusuf, dengan mengistimbathkan dua model jizyah dari prinsip-prinsip pembagian al-ganimah dan menjadikannya seperlima serta memperoleh al-fai'. Hal inilah yang didiskusikan Ibn Adam sejak halaman-halamann pertama kitab al-kharaj. Dalam konteks ini Ibn Adam menyebutkan hadis yang berbunyi "Allah menjadikan rezki umat ini pada ujung kuku kudanya, dan kepala panahnya selama mereka tidak bertanam, apabila mereka bertanam maka mereka sama dengan orang lain. Dari hadis tersebut dapat dipahami bahwa jihad telah menganugerahi umat Islam posisi dan status yang istimewa. Mereka juga berhak atas berbagai bentuk jizyah dan ganimah. Ibn Adam juga merujk kepada sejumlah ayat-ayat yang khusus membicarakan khumus (seperlima) dan al-fai' dan perbedaan antara keduanya dengan pembagian ganimah, dan menyimpulkan dari ayat-ayat tersebut kemungkinan mengalihkan tanah-tanah pertanian di daerah taklukkan untuk kepentingan umat Islam dan generasi mereka yang akan datang.
Kaum al-Wasani (penyembah berhala) yang enggan masuk Islam diperangi, seperti juga halnya dengan kaum al-Kitabi (Yahudi dan Kristen), kecuali dua kelompok penganut agama yang samawi terakhir ini sanggup membayar jizyah. Penulis tidak mengedepankan uraian yang memuaskan mengapa terjadi perbedaan perlakuan antara kaum al-Wasani dengan kaum al-Kitabi.
Kaum zimmi yang membayar al-kharaj dan jizyah, senantiasa menguasai kepemilikan atas tanah-tanah mereka, dan juga tidak akan menjadi raqa'iq (budak), tetapi masuk ke dalam kelompok tab'iyah (pengikut) kaum muslim dengan perjanjian zimmah. Tetapi kalau mereka tidak membayar al-kharaj, kepemilikan mereka terhadap tanah sewaktu-waktu dapat dicabut.
"Dari Umar Ibn Abdul Aziz, beliau pernah menulis bahwa penduduk daerah mana pun yang masuk Islam, mereka mendapatkan keluarga dan harta mereka. Sedangkan rumah dan tanah menjadi al-fai' Allah untuk umat Islam.
Beberapa pernyataan dalam karya Ibn Adam menunjukkan bahwa kepemilikan atas tanah di daerah taklukkan beralih kepada umat Islam. Tetapi ada perbedaan antara al-amwal al-manqulah (harta bergerak) dengan harta tidak bergerak (amwal gair al-manqulah). Harta yang masuk dalam kategori pertama senantiasa di bawah penguasaan pemiliknya yang ada di daerah taklukkan. Sedangkan harta dalam kategori kedua seperti tanah pertanian, status kepemilikannya pindah ke tangan umat Islam. Kesimpulan ini dipahami dari kutipan di atas.
Pembedaan tersebut di kalangan pemikir muslim terutama teorikus ekonomi Islam sampai saat ini selalu muncul. Menurut mereka kepemilikan harta tidak bergerak (al-milkiyah al-'iqariyah) dikuasai oleh negara, sedangkan harta bergerak dikuasai oleh individu.
Dari sisi lain, menurut penuturan Ibn Adam bahwa penduduk tanah Sawad terutama tokoh-tokoh keturunan Persia yang tinggal di daerah taklukkan mengundurkan diri dari pemerintahan". Ketika posisi mereka digantikan oleh umat Islam, mereka menerima al-kharaj yang diwajibkan oleh Negara. Dengan demikian terjadi perjanjian jaminan keamanan (‘ahdun) antara mereka dengan umat Islam, sehingga status mereka menjadi ahl al-zimmah. Ikatan kuat antara penguasa baru (umat Islam) dengan hak kepemilikan yang menguasai sumber-sumber utama pendapatan dan memperoleh bagian dari pendapatan masyarakat, lebih didasari oleh perjanjian jaminan keamanan tersebut, dan ini bagian dari ciri-ciri konsep ekonomi Arab klasik.
Yahya Ibn Adam mengisyaratkan bahwa tanah yang ditaklukkan secara kekerasan beralih status menjadi tanah kharaj. Tetapi kalau pemiliknya menjadi penganut agama Islam, mereka dibebaskan dari kewajiban jizyat al-ra'as (pajak diri).[34] Pendapat ini membuka jalan bagi fiqh di Mesir. Misalnya mayoritas tanah pertanian selalu berstatus tanah kharaj meskipun penduduk Mesir telah menjadi penganut Islam dan banyak meninggalkan sektor pertanian.
Kharaj mengandung dimensi sosial bagi al-musytarakat al-qurowiyah (komunitas pedesaan). Kaum zimmi yang status ekonominya cukup bagus bertanggung jawab atas mereka yang miskin atau orang yang meninggal dunia. Baik Ibn Adam maupun Abu Yusuf sama-sama berpendapat bahwa al-kharaj menjadi sumber pendapatan negara terbesar. Namun demikian Ibn Adam juga berpendapat bahwa jizyat al-ra'as (pajak diri) dapat dikenakan terhadap kaum Yahudi baik laki-laki maupun perempuan, meskipun ini berupa pengecualian.
Sehubungan dengan ini, layak untuk diperhatikan bahwa Yahya Ibn Adam meriwayatkan dari Umar Ibn Khattab bahwa kalau tanah Sawad dibagikan maka jatah masing-masing muslim adalah tiga orang dari kaum petani tanah Sawad dan status penduduknya menjadi budak. Model pembagian seperti ini kurang tepat sehingga Umar menetapkan tanah Sawad untuk umat Islam, seraya berkata " da'hum yakununa maddatan lilmuslimin.
Pendapat tersebut sekaligus menjelaskan bahwa Yahya Ibn Adam melihat hubungan produksi dari dua kutub, akan tetapi keduanya tidak dapat dipisahkan: kaum zimmi saling menjamin (mutadhaminun) dalam membayar al-kharaj yang menjadi sarana pendapatan bersama bagi umat Islam.
Pendapat ini sejalan dengan pendapat Abu Yusuf. Bagi Ibn Adam al-kharaj dan al-jizyah dua hal dari satu permasalahan yaitu al-jizyah. Pertama adalah jizyat al-ardh (pajak bumi) dan kedua, jizyat alru'us (pajak diri). Membayar kharaj adalah indikasi perbudakan (dalalah ubudiyah) sama dengan membayar jizyatur ra'as (pajak diri). Itulah sebabnya, jizyah al-ra'as maupun al-kharaj tidak dibebankan kepada warga Arab yang muslim. Pembedaan-pembedaan ini akan ditemukan apabila kita membaca karya Ibn Adam secara seksama. Misalnya beliau mengatakan: "Kami dikabarkan oleh Ismail (...) Umar menulis kepada Sa'ad ketika dia menaklukkan Irak. Amma ba'du (...) sesungguhnya saya telah memerintahkan saudara untuk menyeru orang-orang agar masuk Islam selama tiga hari, maka barang siapa menyambut seruan dan masuk Islam sebelum berperang maka dia menjadi bagian dari masyarakat muslim dan mereka berhak atas semua harta mereka dan diri mereka dan mendapat bagian dalam Islam, barang siapa menerima seruan itu setelah berperang dan kalah maka dia adalah bagian dari masyarakat muslim dan mereka memiliki harta mereka karena telah menguasainya sejak sebelum mereka menganut Islam, (...). Dan 'usyur (bea cukai sebesar sepersepuluh) tidak dikenakan kepada orang Islam yang telah membayar zakat, atau kaum zimmi yang telah mengeluarkan jizyah sebagai kompensasi dari perlindungan keamanan. Karena al-'usayur diwajibkan bagi ahl harbi apabila mereka minta izin melakukan aktifitas bisnis di negara Islam.
Jelas sekali dari kutipan di atas, Ibn Adam membedakan antara orang dengan tanah yang dikuasainya, karena tanah maupun pemiliknya terikat pada salah satu status: tab'iyah (pengikut) atau al-hurriyah (merdeka). Apabila seseorang menganut Islam sebelum kalah berperang maka statusnya dan status tanah miliknya menjadi merdeka. Apabila seseorang menganut Islam setelah ditaklukkan maka orang tersebut menjadi merdeka, dan tanah miliknya mengikuti statusnya, namun dibebankan untuk membayar al-kharaj. Dan apabila seseorang tetap menganut agamanya, maka orang tersebut berstatus kaum zimmi yang harus mengealuarkan jizyat al-ra'as. Tetapi tanah tetap di bawah penguasaan mereka dengan kewajiban membayar al-kharaj.
Sehubungan dengan permasalahan tersebut, terpenting dalam konteks ini adalah hubungan kuat antara sumber ekonomi; alam dari satu sisi, dan manusia dari sisi lain. Keduanya adalah faktor produksi dan pertumbuhan. Berdasarkan fenomena ini, maka manusia maupun tanah dibiarkan dalam keadaan merdeka, atau dialihkan ke status tab'iyah (pengikut) yang masing-masing bersifat independen.
Masih terkait dengan permasalahan tersebut, menurut Ibn Adam: pedagang muslim atau kaum zimmi yang berdomisili di dar al-Islam tidak dibebankan untuk membayar beacukai. Pendapat ini sejauh pengetahuan kami hanya dikemukakan oleh Ibn Adam. Sedangkan penulis lain seperti Abu Yusuf dan Imam Syafi'i mewajibkan pajak kepada semua pedagang tanpa melihat agama yang dianut dan tempat tinggal mereka, walaupun pajak yang dibebankan tersebut secara kuantitatif terdapat perbedaan sesuai dengan status dan tingkat keberadaan mereka dalam negara Islam. Kedudukan pengusaha dari kaum zimmi atau dari kaum harbi misalnya, sangat istimewa bila dibandingkan dengan kedudukan petani dari kaum zimmi. Karena dua kelompok pertama mebayar 'usyr (sepersepuluh) atau separuhnya. Beban atas pembayaran tersebut tidak akan mencerminkan status mereka menjadi rendah di tengah masyarakat. Sementara kelompok ketiga (kalangan petani dari kaum zimmi) membayar al-kharaj sebagai salah satu bentuk al-jizyah. Membayar al-jizyah mencerminkan keberadaan status mereka yang rendah di tengah masyarakat. Adapun Ibn Adam memposisikan pengusaha kaum zimmi lebih istimewa hampir sejajar dengan pengusaha muslim karena mereka dibebaskan dari kewajiban pajak. Meskipun Ibn Adam sendiri dalam halaman berikutnya menyebutkan kebijakan Umar Ibn Khattab menetapkan " 'usyur atau separuhnya dari harta perdagangkan kaum zimmi). Tetapi pendapat Umar ini tidak dijadikan referensi oleh Ibn Adam.
Bersamaan dengan pengkategorisasian dan pengklasifikasian status penduduk di dalam negara Islam dan implikasi kewajibannya terhadap negara, Ibn Adam beberapa ide walaupun sebagian di antaranya ditolak. Misalnya pendapat yang tidak membolehkan seorang muslim membeli tanah kharajiyah dari seorang zimmi, karena pengalihan kepemilikan dengan cara jual beli terhadap tanah tersebut tidak dapat menggugurkan status tanah kharajiyah menjadi non kharajiyah. Dengan kata lain adanya transaksi jual beli tanah tersebut akan mewajibkan orang muslim mengeluarkan kharaj. Beban mengeluarkan kharaj ini merendahkan status muslim di dalam komunitas penduduk Dar al-Islam. Pendapat sebaliknya pun juga muncul. Umar misalnya memandang hal tersebut tidak memiliki konsekuensi apa pun. Senada dengan makna tersebut kita temukan dalam halaman-halaman yang lain. Pendapat lain misalnya, menyebutkan bahwa semua umat Islam memperoleh bagian dari al-fai', kecuali mereka yang berstatus hamba sahaya menurut sebagian pendapat. Pendapat-pendapat yang beragam ini – dan upaya Ibn Adam memaparkan pendapat-pendapat tersebut mencerminkan pleksebilitas pemikiran penulis, dan juga mencerminkan adanya pase transisi terhadap ide tersebut tergantung pada situasi yang ada. Hal ini, kata Sa’ad, efeknya sangat terasa di Mesir ketika mengalihkan status tanah pertanian dari kharajiyah menjadi usyuriyah, dan dari usyuriyah menjadi wakaf, kemudian kembali menjadi kharajiyah.
Adapun umat Islam diwajibkan untuk mengeluarkan zakat. Uraian tentang zakat terutama syarat, hukum dan lainnya banyak terungkap dalam karya Ibn Adam dan karya fuqaha' pada umumnya. Hanya saja sifat-sifat yang inheren pada zakat telah menafikan sifat al-daribah atau al-jibayah dalam zakat itu sendiri. Kalau al-daribah dan al-jibayah merupakan kewajiban yang ditetapkan negara kepada rakyat, maka zakat berada pada ruang lingkup hubungan-hubungan solidaritas yang lebih sederhana bagi setiap individu muslim. Oleh karena itu, meskipun ada hubungannya dengan pendapatan, namun agak sulit menempatkan zakat sebagai sumber pendapatan Negara.
Kesimpulan tersebut diperkuat oleh perkataan Ibn Adam "dari satu sisi zakat adalah bagian dari sadaqah, yaitu al-'usyr yang diwajibkan bagi umat Islam atas tanah non kharaj, dari sisi lain misalnya jizyah penduduk jazirah Arab tidak dapat diterima. Mereka harus memilih Islam atau dibunuh, tanah mereka berstatus 'usyur. Dengan demikian, pendapat Ibn Adam bahwa al-'usyur, zakat dan sadaqah mengandung makna yang saling berdekatan, atau satu sama lain saling berhubungan. Pendapat ini sangat umum di kalangan beberapa fuqaha'.
Meskipun zakat merupakan simbol dan memperkuat solidaritas bersama antara sesama muslim, namun zakat itu sendiri merupakan aktivitas simbolistis pada waktu tertentu sehingga tidak ada kepastian jumlah nominalnya seperti halnya al-kharaj dan al-jizyah. Yahya Ibn Adam menyebutkan zakat, menyusul ganimah dan seperlima di antaranya untuk Allah. Setelah itu Ibn Adam menyebutkan ratio zakat misalnya (al-‘usyr untuk zakat hasil pertanian dari sawah tadah hujan, dan hasil pertanian yang diairi oleh usaha manusia adalah nisfu al-usyr". Nas ini mengandung konsep dualistis yaitu hasil produksi alam, dan hasil kerja manusia: hasil pertanian yang diperoleh secara alami, zakatnya lebih besar dari pada hasil pertanian yang diperoleh dengan usaha manusia, ini dari satu sisi. Dari sisi lain, terdapat pembedaan keadaan individu masing-masing calon muzakki. Ini merupakan permasalahan yang selalu diulang dalam karya Ibn Adam ketika menghitung ratio zakat hasil bumi, hasil produksi, hewan ternak dan lain-lain.
Oleh karena itu tidaklah kebetulan jika dalam pembahasan tentang zakat, Ibn Adam memunculkan dua istilah yaitu al-qimah dan al-nafaqah. Padahal pemunculan kedua istilah tersebut pada saat mendiskusikan al-kharaj relatif jarang, kecuali pada rincian hitungan awal jumlah nominal yang harus dibayar setelah pengurangan (diskon) untuk memenuhi kebutuhan hidup kaum zimmi.
Bersamaan dengan perbedaan antara pajak tanah (al-kharaj al-ardh) dan zakat tanah (zakat al-ardh), ditemukan pula adanya peluang untuk menggabungkan keduanya. Disebutkan oleh Ibn Adam bahwa jika seorang muslim menyewa sebidang tanah kharaj: ada pendapat bahwa al-kharaj dibebankan kepada pemilik tanah dan zakat dibebankan kepada penyewa tanah yang muslim. Dalam waktu yang sama ada pendapat lain yang mengatakan bahwa kharaj maupun zakat dibebankan kepada penyewa. Bahkan ada kasus bahwa al-kharaj inklud dalam sadaqah khusus bagi suku (kabilah) bani Taglab yang beragama Kristen yang tanahnya berstatus 'usyuriyah. jadi tidak terkena al-kharaj, tetapi dha'fu al-'uayr (kelipatan dari 'usyur).
Konsep sadaqah dan jizyah semakin saling memasuki pada kasus beacukai yang diwajibkan bagi barang perdagangan (masalah ini juga kita temukan dalam karya Abu Yusuf). Tarip beacukai yang dikenakan kepada kaum muslim adalah rub'ul usyr, dan bagi kaum zimmi (yang tinggal di Dar al-Islam) nisfu al-'usyr, dan pedagang yang datang dari Dar al-harb dikenakan al-'usyr. Tarip beacukai ini tidak bersifat sukarela seperti halnya zakat, melainkan mirip dengan daribah (pajak). Akan tetapi dihitung atas dasar ajza' min al-'usyr (bagian-bagian ‘usyr) yang diwarnai dengan pewarnaan sadaqah seperti sudah disebutkan sebelumnya. Sadaqah adalah pemberian atas dasar solidaritas di kalangan umat Islam. Tentu saja, kedekatan sepersepuluh pajak ('asyr al-makas) dari sepersepuluh sadaqah lebih kuat bagi pengusaha muslim. Perbedaan antara muslim dengan non muslim dalam ratio pajak merupakan perbedaan yang bersifat kuantitatif bukan kualitatif (bagian-bagian dari al-'usyr). Hanya saja Ibn Adam memposisikan pajak bagi kaum zimmi dan kaum harbi "sama kedudukannya dengan al-fa'i karena konsekuensi dari perdamaian, jadi kedudukannya tidak sama dengan sadaqah, melainkan sama dengan al-kharaj dan al-jizyah".
Sepertinya Yahya Ibn Adam memfokuskan kekuasaan pada penguasa (imam) dengan cara ekstrim dibandingkan Abu Yusuf. Artinya penguasa diberi kebebasan penuh untuk melakukan sesuatu di daerah taklukkan. Dalam waktu yang sama beliau juga membebaskan hak kepada orang untuk menggali sumur di tempat-tempat sekitar daerah taklukkan tersebut.
Ide sebagian misi ekonomi menurut Ibn Adam melekat pada alat-alat negara atau pemerintah, khususnya ketika melakukan perintah untuk bercocok tanam pada tanah yang tidak diinginkan oleh seseorang. Namun dalam konteks penggarapan tanah kosong, Ibn Adam mengutamakan masyarakat secara personal. Merekalah yang harus berinisiatif dalam melakukan pekerjaan ini, bukan inisiatif dari alat pemerintah kecuali untuk melindungi kekayaan umum. Dia menghubungkan misi ekonomi dengan misi politik bagi aparat penguasa, yaitu mengantisipasi dan mencegah agar tidak terjadi kekacauan dan perselisihan internal yang dapat menimbulkan priksi di kalangan umat Islam. Mungkin dapat disimpulkan bahwa pendapat Ibn Adam tentang kepemilikan bersama atas kekayaan dasar (musytarokat al-strwat al-asasiyah) untuk menjamin agar tidak terjadi keretakan di dalam tubuh umat Islam. Sehubungan dengan ini, lagi-lagi Ibn Adam mengutip riwayat yang mengatakan bahwa Umar Ibn al-Khattab membagi-bagi tanah Sawad, kemudian terjadi perselisihan yang dapat mengancam persatuan umat Islam. akhirnya Umar menarik tanah-tanah tersebut dari umat Islam (sebagai pemilik baru).
Tema kekuasaan kemudian menggiring Ibn Adam mendiskusikan kepemilikan. Terdapat perbedaan antara kepemilikan harta bergerak (tidak tetap) dengan kepemilikan harta tidak bergerak (tetap) seperti bangunan dan lain-lain. Sepertinya kepemilikan terhadap barang yang bergerak tidak mengalami paersoalan serius, karena hak bagi pemilik harta tersebut sangat permanen walaupun bukan dalam arti mutlak mengingat ada kewajiban zakat dari satu sisi, dan pajak dari sisi lain. Akan tetapi kepemilikan terhadap harta tetap termasuk tanah mengalami persoalan dan menimbulkan polemik yang besar.
Ide yang mengatakan bahwa barang siapa menggarap lahan kosong dan irigasinya atau menjadikannya lahan produktif, maka orang itu berhak atas tanah tersebut "barang siapa menggarap lahan mati maka ia mempunyai hak atas tanah tersebut.
Akan tetapi menggarap tanah tidak selalu dengan cara bertanam, melainkan juga dengan cara mendirikan bangunan di atasnya atau dengan sekadar memagarnya. Masalah ini menunjukkan bahwa ihya’ al-mawat tidak mesti dengan menanam atau mendirikan bangunan, tetapi cukup juga dengan memberi tanda.
Namun hak untuk mengawasi atas tanah (ihya’) tersebut belum jelas dan tidak pasti karena mereka kadang-kadang hanya diberi prioritas, tidak lebih dari itu. Sehubungan dengan ini, Ibn Adam berkata: "akhbarana (…)anna 'adiyu al-ardh lillahi wa lirasulihi wa lakum min ba'du min man ahya syaian min mawatan al-ardh, fahuwa ahaqqu bihi".
Dengan metode yang sama juga terjadi pada rikaz. Ada pendapat yang menyebutkan arba'ata akhmasihi (empat dari seperlima) untuk penemu harta rikaz, al-khumus atau seperlima untuk imam (pemimpin) atau Bait al-mal. Pendapat lain juga mengatakan bahwa pemilik tanah tempat menemukan rikaz lebih berhak atas harta temuan tersebut. Dan ada juga pendapat bahwa barang tambang yang ditemukan tersebut menjadi milik orang yang menemukannya, muslim mapun non muslim yang terikat perjanjian dengan pemerintah muslim.
Terakhir dalam tulisan ini, memaparkan bahwa hak kepemilikan atas tanah menurut Ibn Adam tunduk pada sejumlah syarat, jadi tidak bersifat mutlak. Namun yang paling penting adalah syarat yang berhubungan dengan pengelolaan tanah seperti menanaminya dan lain sebagainya. Sehubungan dengan ini Ibn Adam menyebutkan riwayat dari Abdullah Ibn Abi Bakar bahwa Nabi Muhammad SW memberikan tanah yang luas kepada Bilal Ibn Haris al-Muzani. Bilal tidak menanami keseluruhan tanah tersebut, maka Umar berusaha meyakinkan Bilal agar melepas sebagian tanah itu. Ternyata Bilal enggan melepas tanah tersebut. Tetapi karena Bilal tidak mampu menggarapnya, maka tanah itu pun dibagi-bagi kepada sejumlah umat Islam.
Dari pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa Yahya Ibn Adam tidak hanya mengedepankan konsep ekonomi an sich, tetapi juga konsep keagamaan dan militer.


D. Penutup
Abu Yusuf dan Ibn Adam memiliki perbedaan metodologis dalam menulis al-Kharaj. Abu Yusuf lebih rasional dalam mengungkapkan dalil-dalil, dan rumusan fiqh ekonominya lebih realistis dan independen. Sementara Ibn Adam memperkuat fiqh ekonominya dengan argumen-argumen tekstual mengacu kepada ahadis dan ahdas tanpa melakukan kritik eksternal dan internal terhadapnya.
Al-Kharaj, menurut mereka mengandung makna umum yaitu sumber-sumber pendapatan negara, dan makna khusus yaitu pajak tanah. al-Kharaj dan al-jizyah dibebankan kepada kaum zimmi, sementara kaum muslim diwajibkan mengeluarkan zakat sebagai simbol solidaritas antar sesama muslim.Namun demikian, al-kharaj, jizyah dan zakat menurut Ibn Adam mengandung makna yang berdekatan. Akan tetapi sifat-sifat inhern pada zakat menafikan persamaan zakat dengan al-kharaj dan al-jizyah.




Daftar Rujukan

Asmuni.. http://msi-uii.net. Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf dan Ibn Adam: Eksplorasi awal tentang konsep sumber keuangan Negara. Diakses pada tanggal 26 April 2010.

Damanhur. http://www.acehforum.or.id. Pengawasan Keuangan Dalam Ekonomi Islam. Diakses pada tanggal 9 Mei 2010.


http://hauzahrinjani.com. Pemikiran Ekonomi Abu yusuf dan ibn Adam. Diakses pada tanggal 9 Mei 2010.

0 komentar:

Posting Komentar