RSS

Sabtu, 22 Mei 2010

PELAKSANAAN MUDHARABAH PADA PT. BANK MUAMALAT CABANG PALEMBANG

LATAR BELAKANG MASALAH
Pada saat ini di Indonesia perkembangan perbankan Islam belum marak, seperti yang terjadi di negara-negara lain. Penulis sependapat dengan Zainul Arifin, yang pada waktu tulisan ini selesai ditulis adalah Direktur Utama Bank Muamalat, bahwa keadaan Indonesia kurang kondusif karena, antara lain, penetapan bunga bank masih merupakan alat kontraksi moneter. Bank sentral masih menggunakan policy penetapan bunga tinggi untuk mengatasi inflasi.
Sektor perbankan dan sektor riil memiliki saling ketergantungan yang sangat erat. Perbankan hanya mungkin tumbuh baik apabila sektor riil tumbuh baik. Namun, sebaliknya, sektor riil hanya mungkin tumbuh baik apabila sektor perbankan sehat dan berkembang dengan baik. Pada tingkat bunga bank yang tinggi sudah barang tentu sektor riil di Indonesia yang pada saat ini masih sangat tergantung kepada kredit bank konvensional tidak mungkin berkembang dengan baik. Selain tingginya tingkat bunga bank konvensional yang sangat tinggi pada saat ini, sektor riil yang sedang sangat terpuruk pada saat ini juga tidak mungkin diperbaiki apabila sektor perbankan yang juga sedang porak poranda tidak berhasil direstrukturisasi. Perbaikan sektor perbankan dan sektor riil menurut hemat penulis harus dilakukan secara berbarengan. Tidak mungkin perbaikan kedua sektor itu terjadi dengan sendirinya, tetapi harus diupayakan dengan pembuatan program restrukturisasi sektor perbankan dan sektor riil yang tepat dan implementasinya yang konsisten dan baik oleh Pemerintah dan otoritas moneter. Namun ada persyaratan pendahuluan yang harus terjadi lebih dahulu sebelum program restrukturisasi sektor perbankan dan sektor riil dapat dilaksanakan dengan berhasil. Persyaratan pendahuluan itu adanya stabilitas politik dan stabilitas sosial. Tanpa stabilitas politik dan stabilitas sosial tidak mungkin, terutama pihak luar negeri, untuk tumbuh kepercayaannya terhadap bank-bank Indonesia maupun bersedia melakukan investasi di Indonesia.
Penulis berpendapat yang dikutip dari Sjahdeini (2007: 194) menyatakan bahwa
keadaan sektor riil yang terpuruk oleh krisis moneter yang sedang melanda Indonesia saat ini dan telah membuat Bank Indonesia menetapkan tingkat suku bunga SBI yang sangat tinggi, yaitu pernah mencapai 67%, sehingga lebih lanjut telah membuat sektor riil makin terpuruk, justru membuka peluang bagi kehidupan perbankan syariah.

Dari pengalaman sangat buruk sehubungan dengan keharusan membayar bunga bank yang tinggi atas kredit-kredit yang sudah terlanjur diterimanya dari bank konvensional, diharapkan akan membuka mata para pengusaha yang terbiasa ditunjang oleh kredit-kredit perbankan konvensional, dapat diyakinkan untuk berpaling kepada jasa-jasa perbankan Islam. Sebagaimana telah dijelaskan di muka, profit and loss sharing principle dalam transaksi syariah memberikan kepastian bahwa pengusaha yang memperoleh fasilitas pembiayaan dari bank tidak harus memikul beban membayar bunga apabila usahanya mengalami kerugian seperti yang dialami sekarang sebagai akibat krisis moneter. Sedangkan apabila mereka memperoleh kredit dari bank, pengusaha tetap diharuskan membayar bunga kepada bank sekalipun usahanya mereka mengalami kerugian. Bank konvensional semata-mata bertumpu kepada ketentuan perjanjian kredit bahwa pengusaha sebagai penerima kredit harus membayar bunga kepada bank dalam keadaan apapun juga.
Jadi, di Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia, telah muncul pula kebutuhan akan adanya bank yang melakukan kegiatannya berdasarkan prinsip syari’ah seperti itu. Keinginan ini kemudian tertampung dengan dikeluarkannya Undang-undang No.7 Tahun 1992 sekalipun belum dengan istilah yang tegas, tetapi baru dimunculkan dengan memakai istilah “bagi hasil”. Baru setelah Undang-undang No.7 Tahun 1992 itu diubah dengan Undang-undang No.10 Tahun 1998, istilah yang dipakai lebih terang-terangan. Dalam Undang-undang No.10 Tahun 1998 disebut denan tegas-tegas istilah “prinsip syariah”.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, menurut Undang-undang No.7 tahun 1992 tentang Perbankan, bank yang operasinya berdasarkan prinsip syariah tersebut secara teknis yuridis disebut “bank berdasarkan prinsip bagi hasil”. Dengan dikeluarkannya Undang-undang No.10 Tahun 1998, istilah yang dipakai ialah “bank berdasarkan “prinsip syari’ah”. Karena operasinya berpedomankan ketentuan-ketentuan syariah Islam, maka bank Islam disebut pula “bank syariah”.
Bank sendiri berasal dari kata italia yaitu banco yang berarti kepingan papan tempat buku sejenis meja (Muslehuddin, 2004: 1). Bank dijadikan sebagai tempat untuk melakukan berbagai transaksi yang berhubungan dengan keuangan seperti, tempat mengamankan uang, melakukan investasi, pengiriman uang, melakukan pembayaran atau melakukan penagihan (Kasmir, 2008: 1). Disamping itu peranan perbankan sangat mempengaruhi kegiatan ekonomi suatu negara. Bank dapat dikatakan sebagai darahnya perekonomian suatu negara. Oleh kerena itu, kemajuan suatu bank disuatu negara dapat pula dijadikan ukuran kemajuan negara yang bersangkutan. Semakin maju suatu negara, maka semakin besar peranan pebankan dalam mengendalikan suatu negara. Maksudnya, keberadaan dunia suatu perbankan semakin dibutuhkan pemerintah dan masyarakatnya.
Begitu pentingnya dunia perbankan, sehingga ada anggapan bahwa bank merupakan “nyawa” untuk menggerakkan roda perekonomian suatu negara. Secara sederhana, bank juga dapat diartikan sebagai lembaga keuangan yang kegiatan usahanya adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana tersebut ke masyarakat serta memberikan jasa-jasa bank lainnya (Kasmir, 2008: 2).
Sedangkan pengertian lembaga keuangan adalah setiap perusahaan yang bergerak dibidang keuangan di mana kegiatannya apakah hanya menghimpun dana atau hanya menyalurkan dana atau kedua-duanya.
Menurut pada sejarahnya, rencana pendirian bank Syariah di Indonesia dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Lokakarya “Bunga Bank dan Perbankan” di Cisarua, Bogor. Rencana ini akhirnya berakhir terwujud pada tanggal 1 Nopember 1991 dengan didirikannya Bank Muamalat Indonesia oleh Tim Perbankan MUI dan didukung oleh para pengusaha dengan komitmen pembelian saham sebanyak Rp. 48 miliar (Ghafur, 2008: 131). Pada dasarnya Bank Islam dan Bank Konvensional itu dalam kegiatannya itu sama, akan tetapi yang membedakannya itu terletak pada bunga atau bagi hasil. Dengan adanya Bank Syari’ah ini diharapkan mampu bersaing dan mampu untuk lebih maju dari Bank Konvensional.
Dari uraian latar belakang masalah tersebut untuk kajian selanjutnya akan membahas secara komprehensip dalam perspektif Islam dan menjadi suatu karya tulis yang berjudul : “PELAKSANAAN MUDHARABAH PADA PT. BANK MUAMALAT CABANG PALEMBANG”.

RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana konsep bagi hasil yang dilakukan di PT. Bank Muamalat Cabang Palembang ?
2. Bagaimana proses bagi hasil yang dilakukan oleh PT. Bank Muamalat ?

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Tujuan Penelitian ini adalah :
a. Mengetahui konsep bagi hasil yang dilakukan di PT. Bank Muamalat
Cabang Palembang.
b. Mengetahui proses bagi hasil yang dilakukan pada PT. Bank Muamalat
Cabang Palembang.
2. Manfaat Penelitian ini adalah :
a. Secara teoritis penelitian ini berguna untuk dijadikan sebagai pengembangan
dan penambah wawasan bagi peneliti selanjutnya terhadap pelaksanaan bagi hasil pada perbankan syari’ah.
b. Secara praktis penelitian ini juga berguna untuk memberi masukan bagi para pembaca khususnya umat Islam yang menyangkut hubungan dengan pelaksanaan bagi hasil.

PENELITIAN TERDAHULU
Penelitian mengenai masalah bagi hasil ini telah banyak diteliti oleh rekan-rekan dari program Strata Satu, seperti pada jurusan Muamalah dan Diploma Tiga (D III) Perbankan Syari’ah IAIN Raden Fatah Palembang, baik itu yang dibuat dalam bentuk skripsi maupun laporan akhir, akan tetapi khusus mengenai pelaksanaan bagi hasil pada PT. Bank Muamalat Cabang Palembang ini belum ada yang membahasnya.
Pertama, Yusi Arahan, makalah (1990) Fakultas Syari’ah IAIN Raden Fatah Palembang yang telah mengadakan penelitiannya tentang “Bagi Hasil Dalam Pertanian Tela’ah Menurut Imam As-Syafi’i”. Dalam tulisannya menyebutkan bahwasannya Rasulullah SAW telah mempraktekkan bagi hasil pada penduduk khibar dimana Rasulullah SAW telah menetapkan untuk pihak penduduk khibar yang mengelola kebun kurma dengan separoh hasil. Imam Syafi’i memberikan suatu rumusan terhadap bagi hasil, dan telah meletakkan dasar hukumnya yaitu yang bersumber dari al-Hadist, dimana penjelasannya menjelaskan bahwa selama dalam pelaksanaan bagi hasil itu memenuhi yang telah digariskan oleh hukum syara’. Walaupun dalam hal ini diantara Ulama’ Fiqh berbeda dalam menginprestasikannya.
Kedua, Wiwit Anggraini, Skripsi (2004) Jurusan Muamalah Fakultas Syari’ah IAIN Raden Fatah Palembang telah mengadakan penelitiannya tentang “Transaksi Bagi Hasil Dalam Pengelolaan Tanah Pertanian”. Dalam tulisannya menerangkan bahwa, transaksi bagi hasil adalah bangunan hukum antara seseorang yang berhak atas tanah dengan pihak lain (pihak kedua) dimana pihak kedua ini diperkenankan mengelola tanah yang bersangkutan dengan dengan ketentuan hasil dari pengelolaan tanah itu. Sedangkan dalam perjanjian bagi hasil, transaksi dapat dilakukan tanpa syarat, bahwa harus orang yang mempunyai hak milik atas tanah.
Ketiga, Susiana, Skripsi (2002) Jurusan Muamalah Fakultas Syari’ah IAIN Raden Fatah Palembang telah mengadakan penelitiannya tentang “Aplikasi Konsep Mudharabah Diterapkan Pada Investasi Shar-E di PT. Bank Muamalat Indonesia Cabang Palembang”. Dalam tulisannya menerangkan bahwa, Aplikasi Mudharabah pada Investasi Shar-e ini didasarkan pada akad Mudharabah ini dapat terlihat ketika calon pemegang Shar-e dengan pihak Bank Muamalat Indonesia atau Kantor Pos pada saat membuka rekening tabungan Shar-e dan dasar hukum atau landasan operasional investasi Shar-e adalah al-Qur’an, Ijma dan Qiyas yang intinya adalah mendorong kaum muslimin untuk menginvestasikan atau mengembangkan harta secara halal dan sesuai dengan syariat Islam.
Melalui kajian terhadap penelitian terdahulu belum mendapat porsi yang sepenuhnya, maka penulis menekankan penelitian ini pada masalah Pelaksanaan Mudharabah pada PT. Bank Muamalat Cabang Palembang. Adapun yang berbentuk karya ilmiah yang penulis temukan adalah membahas Sistem bagi hasil pada Bank Syari’ah dalam rangka menghilangkan riba dan masalah perbankan rente dan fee dalam pandangan Islam. Yaitu Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga Terkait BMI & Takaful di Indonesia diterbitkan oleh PT. Raja Grafindo Persada Jakarta, tahun 2002 karya Warkum Sumitro. Dalam uraiannya, ia menguraikan bahwa secara fakta pembentukan bank Islam banyak diragukan oleh masyarakat, alasannya karena orang beranggapan bahwa sistem perbankan Islam itu bebas bunga adalah sesuatu yang tak mungkin dan tak lazim serta bagaimana bank akan membiayai operasinya jika menggunakan sistem bagi hasil. Dapat disimpulkan, menurut pandangan dari beberapa ilmuwan muslim dengan latar belakang pendidikan sosio-ekonomis sebagai alasan bagi larangan terhadap bunga ialah bahwa dalam kerangka ekonomi Islam, modal bukan merupakan suatu faktor produksi yang terpisah, melainkan merupakan bagian dari faktor produksi yang lain, yaitu perusahaan. Hal ini berarti bahwa mengambil keuntungan dari penyediaan modal tanpa adanya keterlibatan pribadi terhadap resiko oleh pemilik dana tidak diinginkan oleh Islam. Lebih lanjut, menurut Islam, semua di dunia ini tergantung kepada hukum alam mengenai penyusutan. Semua uang harus susut setelah berjalannya waktu (Sjahdeini, 2007: 18).

METODE PENELITIAN
1. Pendekatan Masalah
Untuk membahas permasalahan yang diajukan, maka pendekatan yang
dilakukan adalah secara normatif dilengkapi dengan empiris guna memperoleh suatu hasil penelitian yang benar dan obyektif. Pendekatan secara normatif dilakukan dengan mempelajari dan menelaah teori-teori, konsep-konsep serta peraturan yang berkaitan dengan permasalahan. Sedangkan pendekatan secara empiris dilakukan dengan mengadakan penelitian lapangan guna memperoleh gambaran tentang data yang berkaitan dengan pelaksanaan bagi hasil pada PT. Bank Muamalat Cabang Palembang.
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Bank Muamalat Cabang Palembang yang terletak di Jalan Palembang dan alasan penulis meneliti di Bank tersebut karena penulis ingin mengetahui tingkat kehalalan bagi hasil dan pelaksanaan bagi hasilnya.
3. Populasi dan Sampel
Yang menjadi populasi dari penelitian ini adalah pengelola Bank dan nasabah Bank Muamalat serta tokoh masyarakat, sedangkan sampelnya dilakukan dengan sistem random sampling yang dianggap mewakili dan cukup layak untuk diteliti yaitu dari 10 orang dari 20 orang yang ada sudah termasuk pengelola Bank, nasabah Bank serta tokoh masyarakatnya.
4. Jenis dan Sumber Data
Jenis Data ;
a. Penelitian Kualitatif adalah penelitian yang sulit diberi pembenaran secara matematik, ia lebih kepada penyampaian perasaan atau wawasan yang datanya diambil berdasarkan sampel.
b. Penelitian Kuantitatif adalah prosedur penelitian secara empiris, teramatis, terukur, dan menggunakan logika matematika.
Sumber Data yang digunakan penulis adalah ;
a. Data Primer adalah data yang diperoleh dari pegawai PT. Bank Muamalat
Cabang Palembang.
b. Data Sekunder diperoleh melalui buku-buku, brosur-brosur yang berhubungan dengan pelaksanaan bagi hasil pada PT. Bank Muamalat Cabang Palembang.
Tekhnik Pengumpulan Data ;
a. Data Lapangan (Field Research) ;
1. Wawancara
Penulis mengadakan tanya jawab langsung dengan pegawai Bank mengenai pelaksanaan bagi hasil pada PT. Bank Muamalat Cabang Palembang.



2. Observasi
Observasi digunakan untuk mendapatkan data dilapangan melalui pengamatan langsung mengenai aspek-aspek yang berhubungan dengan penelitian.
3. Dokumentasi
Data yang berupa dokumen akan penulis ambil dari beberapa arsip mengenai pelaksanaan bagi hasil.
b. Data Kepustakaan (Library Research)
Penelitian kepustakaan yang penulis lakukan adalah dengan mencari sumber-sumber bacaan yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan.
5. Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan dari ketiga metode tersebut diantaranya observasi, wawancara dan dokumentasi. Dianalisis dengan cara deskriptif kualitatif dan deskriptif kuantitatif artinya data yang jenisnya kualitatif yaitu menguraikan dan menjelaskan fenomena-fenomena yang ada secara jelas dan tegas dan dirangkaikan dengan bahan rujukan dari buku-buku yang berhubungan dengan masalah yang dibahas yang telah dipelajari. Data yang jenis kuantitatif disusun menjadi suatu
uraian setelah data tersebut dimasukkan ke dalam tabel-tabel sederhana. Juga diperbandingkan untuk menghasilkan suatu kesimpulan.


BAB II
GAMBARAN UMUM BANK MUAMALAT

SEJARAH BERDIRINYA BANK MUAMALAT
Sebelum muncul gagasan tentang perlunya didirikan Bank Islam di Indonesia, para pakar/cendekia muslim baik yang ada di organisasi keagamaan, maupun kalangan perbankan dan perorangan telah melakukan pengkajian tentang bunga bank dan riba. KH. Mas Mansur Ketua Pengurus Muhammadiyah pada tahun 1937 telah mempunyai keinginan untuk berdirinya Bank Islam. Namun, gagal karena ia dianggap sebagai SARA pada saat itu dan dikhawatirkan akan mengganggu stabilitas nasional.
Majlis Tarjih Muhammadiyah pada Muktamar di Sidoarjo Jawa Timur tahun 1968 memutuskan bahwa bunga bank yang diberikan oleh bank-bank negara kepada nasabah demikian pula sebaliknya, hukumnya termasuk syubhat atau musytabihat, artinya belum jelas halal atau haramnya. Oleh karena itu, sesuai dengan petunjuk hadist, kita harus berhati-hati menghadapi masalah syubhat itu. Kita baru diperbolehkan bermuamalah dengan bank melalui sistem bunga itu sekedarnya, apabila benar-benar dalam keadaan terpaksa atau hajah artinya untuk keperluan yang sangat mendesak (Tarjih Muhammadiyah, 1971: 309-312, yang dikutip dari buku Sumitro, 2002: 76).
Untuk menjaga prinsip kehati-hatian bermu’amalah dengan bank yang menerapkan bunga tersebut, KH. Azhar Basjir, MA Ketua Majlis Tarjih Muhammadiyah waktu itu memberikan rambu-rambu bahwa untuk menentukan hukumnya bunga bank harus dipertimbangkan besar kecilnya bunga atau keuntungan siapa yang memperoleh dan untuk siapa keuntungan itu dimanfaatkan (HM. Daud Ali, 1988: 13 yang dikutip dari buku Sumitro, 2002: 76).
Bahsul Masa’il Nadhatul Ulama (NU) telah menfatwakan bunga bank itu halal, yang diperkuat dengan pendapat KH. Abdurrahmann Wahid bahwa halalnya atau diperbolehkannya ummat Islam bermu’amalah dengan bank itu, karena bunga bank pada hakikatnya merupakan pemanfaatan uang (Panji Masyarakat, No.60 hlm.12 yang dikutip dari buku Sumitro, 2002: 16). Namun kendatipun bunga bank hukumnya halal/diperbolehkan dalam wawancara dengan wartawan surat kabar harian Media Indonesia edisi, 27 Juli 1990 Ketua Umum Pengurus NU tetap bercita-cita untuk berdirinya bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip syariat Islam di Indonesia.
Pendapat secara perorangan disampaikan oleh Muhammad Suwarno (Kompas, 15 Juli 1990 yang dikutip dari buku Sumitro, 2002: 16), bahwa bunga bank itu bukan riba, karena hakikatnya sistem bunga itu sama dengan sewa-menyewa uang, sebagai perkembangan perekonomian yang menghendaki adanya pasar uang disamping pasar modal. Jadi, uang dalam hal ini termasuk kategori komoditi.
Hasbullah Bakri berpendapat bahwa riba di bidang perbankan adalah pelayanan bank yang melipatgandakan rente pinjaman hingga sulit bagi peminjam untuk mengembalikan uang pinjamannya, atau apabila rente itu berlipat ganda atau berbunga-bunga yang tiada henti-hentinya (Hasbullah Bakri, 1989: 278 yang dikutip dari buku Sumitro, 2002: 76).
Terlepas dari pendapat para pakar yang pro dan kontra terhadap hukum bunga bank tersebut, yang pasti kenyataan menunjukkan bahwa ummat Islam pada umumya merasa ragu-ragu dan bersikap mendua. Di saatu pihak sesuai dengan tuntutan perkembangan kebutuhan ekonomi mereka harus berhubungan dengan bank, di pihak lain di dalam sanubari mereka masih sangat khawatir akan ribanya bunga bank, yang dilarang oleh ajaran agamanya.
Sikap ummat Islam yang mendua tersebut tidak bisa dibiarkan berlangsung terus, karena selain bisa menimbulkan keresahan batin umat, juga tidak bisa mengoptimalkan peran umat dalam pembangunan ekonomi bangsa dan negara. Padahal umat Islam merupakan aset terbesar bagi pembangunan di Indonesia.
Gagasan berdirinya Bank Islam di Indonesia lebih kongkret pada saat lokakarya ‘Bunga Bank dan Perbankan” pada tanggal 18-20 Agustus 1990. Ide tersebut ditindaklanjuti dalam Munas IV Majelis Ulama Indonesia (MUI) di hotel Sahid tanggal 22-25 Agustus 1990.
Setelah itu, MUI membentuk suatu Tim Steering Commite yang diketuai oleh DR. Ir. Amin Azis. Tim ini bertugas untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan berdirinya Bank Islam di Indonesia. Untuk membantu kelancaran tugas-tugas Tim MUI ini dibentuklah Tim Hukum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) di bawah Ketua Drs. Karnaen Perwaatmadja, MPA. Tim ini bertugas untuk mempersipakan segala sesuatu yang menyangkut aspek hukum dari Bank Islam, karena baik pada proses berdirinya maupun pada saat beroperasinya, Bank Islam selalu berhubungan dengan aspek hukum.
Selain mempersiapkan proses berdirinya Bank Islam baik segi administrasi maupun pendekatan-pendekatan dan konsolidasi dengan pihak-pihak terkait, Tim MUI juga mempersiapkan aspek sumber daya manusianya, yaitu menyelenggarakan training calon staff BMI melalui Managemen Development Program (MDP) di LPPI yang dibuka pada tanggal 29 Maret 1991 oleh Menteri Muda Keuangan Nasrudin Sumerutapura (Sumitro, 2002: 78).
Tahap awal berdirinya BMI sebagai lembaga keuangan tentu membutuhkan dana. Oleh karena itu, tugas Tim MUI juga melobi pengusaha-pengusaha muslim untuk menjadi pemegang saham pendiri.
Tim MUI ternyata dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, terbukti dalam waktu 1 tahun sejak ide berdirinya Bank Islam tersebut, dukungan ummat Islam dan berbagai pihak sangat kuat. Setelah semua persyaratan terpenuhi pada tanggal 1 November 1991 dilakukan penandatanganan akte pendirian Bank Muamalat Indonesia (BMI) di Sahid Jaya Hotel dengan akte Notaris Yudo Paripurno, SH dengan izin Menteri Kehakiman No.C.2.2413.HT.01.01 (Sumitro, 2002: 78).
Pada tanggal 3 November 1991, dalam acara silaturahmi Presiden di Istana Bogor, dapat dipenuhi dengan total komitmen modal disetor awal sebesar Rp. 106.126.382.000,00. Dengan modal awal tersebut, pada tanggal 1 Mei 1992, Bank Muamalat Indonesia mulai beroperasi hingga september 1999, Bank Muamalat Indonesia telah memiliki 45 outlet yang tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Balikpapan dan Makasar (Syafi’i Antonio, 2001: 25-26).
Pada awal pendirian Bank Muamalat Indonesia keberadaan Bank Syari’ah ini belum mendapat perhatian yang optimal dalam tatanan industri perbankan nasional. Landasan hukum operasi bank yang menggunakan sistem syari’ah ini hanya dikategorikan sebagai “bank dengan sisitem bagi hasil”; tidak terdapat rincian landasan hukum syariah serta jenis-jenis usaha yang diperbolehkan. Hal ini sangat jelas tercermin dari UU No. 7 Tahun 1992, dimana pembahasan perbankan dengan sistem bagi hasil diuraikan hanya sepintas lalu dan merupakan “sisipan” belaka.
Akhirnya, dengan izin prinsip Surat Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 1223/MK.013/1991 tanggal 5 November 1991, Izin Usaha Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 430/KMK: 013/1992, tanggal 24 April 1992 pada tanggal 1 Mei 1991 BMI bisa memulai operasi untuk melayani kebutuhan masyarakat melalui jasa-jasanya.
DASAR PEMIKIRAN BERDIRINYA BANK MUAMALAT
Menurut Sumitro (2002: 78-80), berdirinya Bank Muamalat Indonesia, selain didasarkan pada ketentuan syariat Islam juga didasarkan pada kenyataan-kenyataan sebagai berikut :
1. Masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam sebagian besar masih meragukan hukumnya bunga pada bank-bank konvensional. Keraguan ini berakibat pada sikap mereka untuk memanfaatkan jasa-jasa perbankan yang ada secara tidak maksimal. Hal ini tidak menunjang bagi sasaran pembangunan, bahwa dalam Repelita V dan seterusnya diharapkan sumber pembiayaan berasal dari sumber dana masyarakat dalam negeri.
2. Meningkatnya pembangunan di sektor agama akan meningkatkan kesadaran bagi ummat Islam untuk melaksanakan nilai-nilai dan ajaran agamanya. Peningkatan kesadaran beragama ini akan menimbulkan tuntutan umat semakin besar terhadap adanya bank yang beroperasi berdasarkan prinsip syariat. Selain itu, peningkatan kesadaran beragama juga akan meningkatkan pembangunan sarana-sarana keagamaan, seperti madrasah-madrasah, masjid-masjid, mushallah, baitul mal dan sebagainya, yang pada umumnya belum berani menyimpan dananya di bank-bank konvensional yang sudah ada.
3. Bank-bank konvensional yang telah beroperasi di Indonesia dirasakan kurang berperan secara optimal di dalam membantu memerangi kemiskinan dan meratakan pendapatan, karena operasi bank dengan perangkat bunga kurang memberi peluang kepada orang-orang miskin untuk mengembangkan usahanya lebih produktif. Selain itu pranata pembayaran bunga akan semakin memberatkan nasabah khususnya yang berekonomi lemah dan memberi peluang mengalirnya arus sumber pendapatan dari debitur yang pada umumnya miskin ke kreditur yang pada umumnya lebih mampu secara ekonomis daripada debitur.
4. Policy pemerintah di bidang ekonomi khususnya perbankan sangat mendukung bagi beroperasinya bank tanpa bunga di Indonesia. Policy-policy tersebut misalnya deregulasi perbankan 1 Juni 1983 membebaskan bank–bank untuk menetapkan sendiri tingkat bunganya bahkan sampai tingkat 0%. Pakto 27 Oktober 1988 membuka peluang bagi berdirinya bank-bank swasta baru. Penjelasan lisan pemerintah dalam Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR RI tanggal 5 Juli 1990, menegaskan bahwa tidak ada halangan untuk mengoperasikan bank-bank yang sesuai dengan prinsip syariat, asalkan operasionalisasinya dapat memenuhi kriteria kesehatan bank di Indonesia.
5. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 pasal 1 butir 12 memberi peluang beroperasinya bank dengan sistem bagi hasil keuntungan. Peluang tersebut lebih mendapatkan pijakan hukum yang pasti dengan keluarnya peraturan pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.
6. Konsep yang melekat (build in concept) pada Bank Muamalat Indonesia (BMI) sebagai salah satu wujud Bank Islam sejalan dengan kebutuhan dan orientasi pembangunan di Indonesia.
Orientasi tersebut adalah :
a. Kebersamaan antara bank dengan nasabah.
b. Mendorong kegiatan dengan investasi dan menghambat simpanan yang tak produktif melalui sistem operasi profit and loss sharing sebagai pengganti bunga.
c. Mengurangi kemiskinan dengan membina ekonomi lemah dan tertindas.
d. Mengembangkan produksi, menggalakkan perdagangan dan memperluas kesempatan kerja melalui kredit pemilikan barang modal.


TUJUAN DAN STRATEGI USAHA BANK MUAMALAT INDONESIA
Tujuan Bank Muamalat Indonesia harus disesuaikan dengan bermuamalat menurut ketentuan syariat Islam serta situasi dan kondisi di Indonesia, baik di bidang ekonomi, sosial budaya, hukum maupun politik.
Pentingnya penyesuaian tersebut agar kehadiran Bank Muamalat Indonesia yang relatif lebih baru daripada bank-bank konvensional tidak menimbulkan benturan-benturan, bahkan pertentangan satu sama lain. Sehingga BMI diharapkan dapat hidup berdampingan dan berkompetisi secara sehat dengan bank-bank yang telah ada dalam upaya pencapaian tujuan pembangunan nasional. Dengan demikian BMI akan terjamin kelangsungan hidupnya di tanah air Indonesia.
Adapun tujuan umum Bank Muamalat Indonesia adalah :
1. Meningkatkan kualitas kehidupan sosial ekonomi masyarakat Indonesia, sehingga akan semakin berkurang kesenjangann sosial ekonomi, sebagai akibat dari praktek-praktek kegiatan ekonomi yang tidak Islami.
2. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunann terutama dalam bidang ekonomi keuangan yang selama ini partisipasi masyarakat memanfaatkan lembaga perbankan masih kurang sebagai akibat akibat dari sikap keraguan terhadap hukum bunga bank.
3. Mengembangkan lembaga bank dan sistem perbankan yang sehat berdasarkan efisiensi dan keadilan, sehingga mampu meningkatkan partisipasi masyarakat untuk menggalakkan ekonomi rakyat, dengan antara lain memperluas jaringan perbankan ke daerah-daerah pedesaan yang terpencil.
4. Mendidik dan membimbing masyarakat untuk berpikir secara ekonomi berperilaku bisnis dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat (Karnaen dan Antonio, 1990: 85-86 yang dikutip dari buku Sumitro, 2002: 81-82).
Strategi Usaha Bank Muamalat Indonesia
Dalam upaya mencapai tujuan Bank Muamalat Indonesia di dalam operasionalisasinya akan mendasarkan kepada strategi usaha sebagai berikut :
1. Sasaran Pembinaan
Sasaran pembinaan BMI meliputi pengrajin industri kecil, nelayan, peternak, pekebun petani tanaman pangan dan holtikultura, pedagang kecil, pengusaha transportasi dan pengusaha lainnya.
Untuk sasaran tersebut dilakukan kegiatan untuk membina dan mempercepat berkembangnya masyarakat kelompok ekonomi menengah ke bawah untuk mengantisipasi dampak negatif dari pembangunan, sehingga terbentuk landasan yang kokoh bagi pengembangan manusia seutuhnya dalam pembangunan nasional jangka panjang kedua.
2. Strategi Pengembangan
Strategi pengembangan BMI dilakukan dengan kegiatan-kegiatan :
a. Bekerja sama dengan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang telah ada dengan cara :
- mengintrodusir dan membina pengembangan produk-produk dan sistem perbankan berdasarkan syari’ah Islam.
- mengintrodusir sistem pengembangan usaha berdasarkan kebersamaan dan peran serta dalam permodalan dan risiko.
- merintis dan mengembangkan kerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat dalam mendukung peningkatan kemampuan manajerial dan teknologi, peningkatan nilai dan pengemabangan usaha kecil dan menengah.
b. Mendorong pengembangan bank-bank perkreditan rakyat (BPR) baru di daerah-daerah potensial, pengembangan usaha kecil dan menengah dengan cara :
- penyediaan modal perangsang
- penyediaan staff BPR dan pelatihan
- penyediaan modal kerja dan pembinaan teknos
- penyediaan lanjutan
- merintis dan mengembangkan kerja sama dengan LSM dalam mendukung peningkatan kemampuan manajerial dan teknolog, peningkatan nilai tambahan dan pengembangan usaha pengusaha kecil dan menengah.
c. Bekerja sama dengan badan amil zakat, infaq dan sedekah (BAZIZ) mengintesifkan pengelolaan dana zakat, infaq, sedekah untuk proyek-proyek pengembangan usaha kecil dan menengah.
d. Merangsang tumbuh dan berkembang lebih baik lembaga- lembaga penyedia bantuan teknik manajemen untuk pengusaha kecil dan menengah.
e. Merangsang tumbuh dan berkembang lebih baik lembaga-lembaga penyedia teknologi peningkatan produktivitas.
f. Merangsang tumbuh dan berkembang lebih baik lembaga penyedia bantuan pembinaan keterampilan akuntansi.
g. Mengembangkan peranan lembaga dan melancarkan jaringan penyediaan bahan baku.
h. Mengembangkan peranan kelembagaan pemasaran hasil produksi (Karnaen dan Antonio yang dikutip dari buku Sumitro, 2002: 84-85).
Setelah melihat data diatas, bahwa bahasan tersebut dapat kita simpulkan, yaitu strategi pengembangan Bank Muamalat memang bekerja sama dengan Bank Pengkreditan Rakyat dengan tujuan untuk merintis dan mengembangkan kerja sama dengan swadaya masyarakat dalam mendukung peningkatan dan pengembangan usaha kecil dan menengah dengan cara penyediaan modal perangsang serta modal kerja, dan lain-lain.
KONSEP DASAR DAN KEGIATAN OPERASIONAL BANK MUAMALAT
Konsep Dasar Operasional Bank Muamalat Indonesia
Bank Muamalat Indonesia dalam menjalankan usahanya mempunyai lima konsep dasar operasional yang terdiri dari sistem simpanan murni (al-Wadiah), sistem bagi hasil, sistem jual beli dan marjin keuntungan, sistem sewa (al-Ijarah) dan sistem jasa (fee).
1. Sistem Simpanan Murni (al-Wadiah)
adalah fasilitas yang diberikan oleh Bank Islam untuk memberikan kesempatan kepada pihak yang berkelebihan dana untuk menyimpan dananya di bank. Fasilitas ini biasanya diberikan untuk tujuan keamanan dan pemindahbukuan dan bukan untuk tujuan investasi.
2. Sistem Bagi Hasil
adalah suatu sistem yang meliputi tata cara pembagian hasil usaha antara penyedia dana dan pengelola dana yang terjadi antara bank dengan penyimpan dana maupun antara bank dengan penerima dana. Bentuk jasa yang berdasarkan konsep dasar ini adalah mudharabah dan musyarakah.
3. Sistem Jual Beli dan Marjin Keuntungan
adalah suatu sistem yang menerapkan tata cara jual beli di mana pihak bank akan membeli terlebih dahulu barang yang dibutuhkan atau mengangkat nasabah sebagai agen bank dan nasabah dalam kapasitasnya sebagai agen bank melakukan pembelian-pembelian barang atas nama bank, kemudian bank menjual barang tersebut kepada nasabah dengan harga beli ditambah keuntungan (margin/mark up). Jasa-jasa yang berdasarkan konsep dasar ini adalah mudharabah dan al-bai’u bithaman ajil.
4. Sistem Sewa (al-Ijarah)
Sistem sewa terbagi dalam 2 jenis, yaitu :
a. Al-Ijarah
Perjanjian sewa yang memberi kesempatan kepada penyewa untuk memanfaatkan barang yang disewa dengan imbalan uang sewa sesuai dengan setujuan. Setelah masa sewa berakhir, barang akan dikembalikan kepada pemilik.
b. Al-Ta’jiri
Sama dengan al-Ijarah, tetapi setelah masa sewa berakhir, pemilik barang menjual barang yang disewa kepada penyewa dengan harga yang disepakati.
5. Sistem Jasa (fee)
adalah sistem kegiatan yang meliputi seluruh layanan non-pembiayaan yang diberikan bank. Bentuk jasa yang berdasarkan konsep dasar ini antara lain, bank garansi, kliring, inkaso, jasa transfer dan lain-lain (Antonio, 1983: 11-12 yang dikutip dari buku Sumitro, 2002: 85-87).

Kegiatan Operasional Bank Muamalat Indonesia
1. Kegiatan operasional di bidang pengimpunan dana dalam menghimpun dana masyarakat, BMI menerima simpanan dari masyarakat dan menerima dana dari pihak lain.
Kegiatan operasional yang dilakukan adalah :
a. Giro Wadiah adalah simpanan yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran dan penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, surat perintah pembayaran lainnya atau dengan cara pemindahbukuan. Setiap mengambil nasabah berhak mendapatkan bonus dari keuntungan pemanfaatan dana giro oleh bank (Titipan Murni).
b. Tabungan Mudharabah, yaitu dana yang disimpan nasabah dikelola bank, untuk memperoleh keuntungan. Keuntungan akan diberikan kepada nasabah berdasarkan kesepakatan bersama. Dalam jasa ini dapat dilakukan mutasi, sehingga perlu diperhitungkan saldo rata-rata. Penerimaan tabungan berdasarkan prinsip al-Mudharabah digunakan untuk tabungan yang penarikannya tidak dapat dilakukan sewaktu-waktu. Sesuai dengan prinsip al-Mudharabah, kepada pemilik tabungan diberikan imbalan atas dasar pembagian keuntungan yang telah ditetapkan/disetujui sebelumnya. Selain itu, apabila bank mengalami kerugian, maka pemilik tabungan ikut menanggung risiko kerugian tersebut. Seluruh keuntungan atas manfaat yang diperoleh dari penggunaan simpanan tersebut menjadi hak milik bank. Namun demikian berbeda dengan rekening giro, pemberian imbalan atau hadiah dari hasil keuntungan penggunaan simpanan tersebut jumlahnya didasarkan atas kesepakatan kedua belah pihak.
c. Deposito Investasi Mudharabah yaitu simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu menurut perjanjian antara penyimpan dengan bank bersangkutan dengan menerapkan sistem bagi hasil keuntungan.
d. Tabungan Haji Mudharabah yaitu simpanan pihak ketiga yang penarikannya dilakukan pada saat nasabah akan menunaikan ibadah haji atau pada saat tertentu sesuai dengan yang diperjanjikan. Simpanan ini menerapkan imbalan dengan sistem bagi hasil al-Mudharabah.
e. Tabungan Qurban yaitu simpanan pihak ketiga yang dikumpulkan untuk ibadah qurban dengan penarikan yang dilakukan pada saat nasabah akan melaksanakan qurban atau pada saat tertentu yang disepakati bersama. Simpanan ini menerapkan imbalan dengan sistem bagi hasil (al-Mudharabah).
Kegiatan operasional Bank Muamalat Indonesia (BMI) di dalam bidang penghimpunan dana masyarakat yang menggunakan sistem bagi hasil, khususnya simpanan Mudharabah (tabungan mudharabah dan deposito mudharabah) pemberian imbalannya ditentukan dengan tata cara seperti berikut (Perwaatmadja dan Antonio, 1992: 44-45 yang dikutip dari buku Sumitro, 2002: 89) :
a. Mula-mula bank menetapkan beberapa persen dana-dana yang disimpan di BMI itu mengendap dalam satu tahun sehingga bisa dipergunakan untuk kegiatan usaha bank. Menurut statistik, dana tabungan mudharabah mengendap 100%, dan deposito mudharabah tergantung dari jangka waktunya masing-masing yaitu untuk jangka waktu 1 tahun 100%, kurang dari satu tahun, kurang dari 100%, dan jika lebih dari satu tahun berarti lebih dari 100%, persentase dana yang mengendap ini menunjukkan persentase dari dana tersebut yang berhak atas bagi hasil usaha bank.
b. BMI menerapkan jumlah masing-masing dana simpanan yang berhak atas bagi hasil usaha BMI, menurut jenisnya yaitu tabungan mudharabah dan deposito mudharabah sesuai dengan jangka waktunya. Caranya ialah dengan mengalihkan persentase dana yang mengendap dari masing-masing jenis simpanan dengan jumlah simpanan yang terjadi menurut jenisnya itu.
c. BMI menetapkan jumlah pendapatan bagi hasil bank untuk masing-masing simpanan dana. Caranya dengan mengalihkan hasil bagi dari jumlah dana simpanan yang berhak atas bagi hasil usaha bank menurut masing-masing jenis, dengan jumlah dana simpanan yang berhak atas bagi hasil bank seluruhnya, dengan jumlah pendapatan bagi hasil bank untuk dibagikan yang diperoleh seluruhnya.
d. Bank menetapkan porsi bagi hasil antara bank dengan masing-masing jenis simpanan dana sesuai dengan situasi dan kondisi pasar yang berlaku. Contoh : bagi hasil antara bank dengan pemegang rekening tabungan mudharabah 50%:50%, bagi hasil antara bank dengan pemegang deposito mudharabah 30%:70%.
e. Bank menetapkan porsi bagi hasil untuk setiap pemegang rekening menurut jenis simpanannya sebanding dengan jumlah simpanannya.
2. Kegiatan Operasional di Bidang Penyaluran Dana Kepada Masyarakat
Di bidang penyaluran dana kepada masyarakat Bank Muamalat Indonesia memberikan jasa-jasa kegiatan sebagai berikut :
a. Pembiayaan al-Mudharabah
yaitu suatu perjanjian pembiayaan antara bank dengan nasabah, dimana bank menyediakan 100% pembiayaan bagi usaha kegiatan tertentu dari nasabah. Sedangkan nasabah mengelola usaha tersebut tanpa camput tangan bank. Bank mempunyai hak untuk mengajukan usul dan melakukan pengawasan. Atas penyediaan dana untuk pembiayaan tersebut bank mendapat imbalan atau keuntungan yang besarnya ditetapkan atas dasar persetujuan kedua belah pihak. Apabila terjadi kerugian atas usaha yang dibiayai tersebut, maka kerugian tersebut sepenuhnya ditanggung oleh bank, kecuali kerugian akibat dari kelalaian nasabah. Kredit mudharabah ini dapat dikembangkan untuk investasi baru bagi nasabah, baik di bidang pertanian, perikanan, industri kecil maupun industri rumah tangga. Tujuan pemberian kredit mudharabah ini adalah untuk menggabungkan masing-masing potensi, yakni potensi pemilik modal yang tidak memiliki keahlian usaha dengan pemilik proyek yang tidak memiliki modal untuk bersama-sama mendapatkan keuntungan.
Untuk kredit pembiayaan mudharabah BMI membuat ketentuan-ketentuan umum sebagai berikut :
1. Untuk investasi baru yang dianggap layak, BMI akan memberikan kredit mudharabah sebesar 100% dari kebutuhan investasi dan modal kerja dengan perjanjian bagi hasil sesuai dengan kesepakatan di mana pihak pengelola mendapatkan bagian yang lebih besar dari pada penyandang dana.
2. Perjanjian bagi hasil mulai diberlakukan secara efektif setelah proyek investasinya selesai sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati. Pada waktu itu BMI dan nasabah bersama-sama menghitung porsi bagian laba masing-masing. Apabila kemudian terjadi rugi, maka BMI yang akan menanggung seluruh kerugian.
3. Proyek investasi nasabah dikelola sepenuhnya oleh nasabah selaku pemegang amanah tanpa campur tangan BMI.
4. Pada saat investasi nasabah telah mampu menghasilkan laba, maka nasabah penerima kredit sudah harus menyelesaikan pembayaran kembali utang pokoknya kepada BMI.
Keuntungan usaha dari pembiayaan mudharabah dibagi sesuai dengan kesepakatan. Perbandingan perolehan hasil dari keuntungan ini tergantung pada potensi dan karakteristik usaha debitur. Tidak dipersoalkan mana jumlah yang lebih besar. Bisa saja terjadi, bank mendapatkan hasil lebih besar daripada nasabah demikian pula sebaliknya. Kesemuanya itu lebih merupakan kebijakan bisnis Bank Islam, dan bukan merupakan ketentuan fiqh.
Syarat-syarat pembiayaan bagi hasil (al-Mudharabah) menurut kesepakatan para ahli fiqh, dan perlu menjadi pertimbangan bagi operasionalisasi Bank Muamalat dalam memberikan pembiayaan mudharabah adalah (Manshor, 1988: 55 yang dikutip dari buku Sumitro, 2002: 91-94) :
1. Modal mudharabah harus merupakan mata uang penuh yang ditentukan sewaktu akad dan diserahkan kepada pihak pengusaha setelah selesai ijab qabul, sesuai dengan cara-cara yang telah disepakati.
2. Persentase pembagian keuntungan yang ditentukan hanya untuk satu pihak saja atau menetapkan sejumlah uang dari keuntungan yang akan didapat bagi salah satu pihak adalah tidak sah.
3. Dasar bagi pembiayaan mudharabah ialah modal berasal dari pihak pemodal (BMI) sedang kerja dilakukan oleh pihak pengusaha. Oleh karena itu adalah tidak sah apabila penetapan kerja dilakukan oleh pihak pemodal.
4. Bila pembiayaan mudharabah mengalami kerugian, maka kerugian tersebut ditanggung sepenuhnya oleh pemodal, pihak pengusaha menanggung kerugian karena tidak mendapatkan manfaat dari jerih payahnya. Jika usaha tersebut hanya kembali modal, maka modal tersebut sepenuhnya untuk pihak pemodal, sedangkan pihak pengusaha tidak mendapatkan bagian.
5. Mudharabah dapat dibubarkan oleh pemilik modal pada waktu kapanpun sebelum usaha tersebut dimulai oleh pihak pengusaha.
6. Proyek atau usaha yang dilakukan haruslah usaha yang halal.
7. Kedua belah pihak yang akan mengadakan mudharabah haruslah cakap dan sah secara hukum untuk melakukan perikatan.
8. Pengusaha tidak boleh mencampurkan harta mudharabah dengan harta mudharabah lain atau harta milik pribadi kecuali hal seperti itu sudah menjadi adat kebiasaan setempat.
9. Apabila pengusaha hendak menjalankan mudharabah dengan pihak ketiga, di mana pengusaha di sini berperan sebagai pemilik modal pada akad dengan pihak ketiga tersebut, maka pihak pengusaha diwajibkan untuk mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari pemilik modal, syarat pengeluaran tersebut berada dalam batas kewajaran.
10. Apabila pihak pengusaha dalam menjalankan proyek melanggar perjanjian yang telah disepakati, maka pihak pengusaha bertanggung jawab terhadap semua resiko kerugian dari proyek atau usaha yang tengah dijalankan dan wajib membayar sepenuhnya modal yang diberikan oleh pihak pemodal.
11. Perjanjian mudharabah selesai dengan habisnya jangka waktu yang ditentukan dalam perjanjian.
12. Pihak pemodal, karena sesuatu hal yang membahayakan, berhak memecat pengusaha dengan diberikan peringatan terlebih dahulu.
13. Apabila terjadi aksi pembatalan mudharabah maka semua modal dan untung adalah menjadi hak pemodal, dan pengusaha berhak menuntut upah yang setimpal dengan perhitungan kerja yang telah dijalankannya.
14. Apabila terjadi suatu kerusakan atau kerugian dalam mudharabah, maka penggantian kerusakan tersebut, haruslah diambil dari keuntungan bila ada, kalau tidak mecukupi baru diambil dari modal. Pihak pengusaha tidak diwajibkan mengganti kerusakan atau kerugian ini kecuali hal tersebut terjadi karena kesengajaan atau kelalaiannya.
15. Perjanjian mudharabah berakhir dengan matinya salah satu pihak.
16. Peminjam hendaknya merencanakan terlebih dahulu secara matang tentang usaha, tempat, lokasi, pasar dan jumlah biaya yang dibutuhkan.
17. Peminjam perlu mempelajari administrasi praktis tentang pengelolaan usaha yang sedang ditekuninya sehingga unsur kejujuran dapat terbaca oleh pihak bank.
18. Peminjam dalam mencicil pinjaman dan bagi hasil harus tepat pada waktunya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
Pihak-pihak yang Terlibat di Dalam Perjanjian Pembiayaan Mudharabah
Tidak seperti halnya yang dilakukan bank-bank konvensional umumnya dalam memberikan kredit, pembiayaan Mudharabah di BMI dilakukan dengan menjembatani kepentingan masing-masing pihak terutama debitur yang seringkali dirugikan dalam perjanjian kredit di bank-bank konvensional yang umumnya menerapkan perjanjian standar. Perjanjian pembiayaan Mudaharabah dilakukan dengan mengurangi hambatan-hambatan yang seringkali melanda usaha debitur.
Pembiayaan Mudhrabah lebih diprioritaskan pada pengusaha kecil dan menengah. Biasanya hambatan yang paling besar bagi pengusaha kecil dan menengah adalah kurangnya modal, minimnya pengusaan teknologi dan terbatasnya jangkauan pemasaran. Melalui pola pembiayaan mudharabah ini, hambatan-hambatan tersebut diusahakan dapat dikurangi bahkan mungkin dapat dihilangkan sama sekali. Oleh karena itu, dalam pembiayaan mudaharabah, pihak-pihak yang terlibat adalah :
1. Bank Muamalat Indonesia (BMI) sebagai kreditur (Shahibul Mal) yang menyediakan pembiayaan.
2. Debitur atau para debitur (mudharib) yaitu orang yang menerima pembiayaan.
3. Pihak terafiliasi yaitu pihak yang memberikan jasa kepada bank, termasuk konsultan, konsultan hukum, akuntan publik dan jasa dan jasa penilai (Pasal 1 butir 15 huruf c UU No.7 Tahun 1992).
Peran pihak terafiliasi adalah membantu debitur dalam mengelola usahanya secara lebih baik dan alih teknologi. Sehingga diharapkan tingkat produksi akan meningkat tanpa mengenyampingkan aspek analisis dan evaluasi secara perbankan. Adanya penyebutan pihak terafiliasi dalam perjanjian Mudharabah karena antara kreditur (BMI) dengan konsultan tersebut telah terjadi perjanjian kerja sama sebelumnya. Sedangkan bagi debitur, keberadaan konsultan dalam perjanjian pembiayaan mudharabah adalah sangat menguntungkan, karena debitur dapat belajar untuk mengelola usahanya secara lebih profesional dengan mendapatkan bimbingan orang yang ahli dan menguasai di bidang usaha yang ditekuni debitur.
Berakhirnya perjanjian pembiayaan al-Mudharabah dalam praktek adalah :
1. Debitur telah membayar lunas pembiayaan yang telah diterimanya.
2. Kreditur membatalkan perjanjian pembiayaan mudharabah karena debitur terbukti melakukan wanprestasi yang diikuti dengan adanya tuntutan dari kreditur terhadap pembiayaan mudharabah yang telah diterima dari kreditur.
3. Obyek dari pembiayaan musnah yang bukan disebabkan oleh kesalahan debitur atau disebabkan oleh keadaan memaksa, seperti obyek pembiayaannya musnah karena bencana alam.
4. Proyek usaha debitur yang dibiayai kreditur mengalami kerugian total, sehingga debitur tidak mempunyai kemampuan dan kesanggupan untuk mengembalikan pembiayaannya kepada kreditur. Hal ini terjadi karena keadaan memaksa, seperti proyek usaha debitur tertimpa bencana alam.
5. Kreditur mengakhiri pembiayaan apabila usaha debitur terus-menerus mengalami kerugian.
b. Pembiayaan al-Musyarakah
yaitu suatu perjanjian di mana bank menyediakan sebagian dari pembiayaan bagi usaha/kegiatan tertentu sebagian lain disediakan oleh mitra usaha. Dalam hal ini bank dapat ikut serta dalam manajemen usaha tersebut.
Jasa-jasa pembiayaan musyarakah yang diterapkan pada Bank Muamalat Indonesia adalah : Asyirkah Uqud jenis Inan, dengan tata cara sebagai berikut :
1. Bank dapat memberikan fasilitas pembiayaan suatu proyek yang dianggap feasible berdasarkan prinsip al-Musyarakah.
2. Dalam skema pembiayaan ini BMI dengan nasabah atau nasabah-nasabahnya menyetujui untuk memberikan kontribusi pembiayaan sesuai dengan proporsi yang telah disepakati bersama.
3. Semua pihak termasuk bank mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam manajemen perusahaan.
4. Semua pihak melalui suatu negosiasi menyetujui nisbah pembiayaan keuntungan usaha.
5. Apabila terjadi kerugian di dalam usaha, maka masing-masing tidak bertanggung jawab, kecuali sebatas besar penyertaan modal.
c. Pembiayaan al-Murabahah
yaitu suatu perjanjian pembiayaan di mana bank membiayai pembelian barang yang diperlukan nasabah dengan sistem pembayaran ditangguhkan. Di dalam prakteknya, dilakukan dengan cara bank membeli atau memberi kuasa kepada nasabah untuk membelikan barang yang diperlukan nasabah atas nama bank.
Pembiayaan murabahah ini mirip dengan kredit modal kerja pada bank konvensional, karena itu jangka waktu pembiayaan tidak lebih dari satu tahun. Tujuan pembiayaan ini adalah untuk pembiayaan yang sifatnya konsumtif, seperti rumah, toko, tanah, mobil, motor, dan sebagainya.
Ciri-ciri pembiayaan al-Murabahah sebagai berikut :
1. Tujuan pembiayaan ; - Pembelian barang dagangan,
Pembelian bahan baku untuk diproses,
Pembelian barang by order.
2. Mekanisme pembiayaan ; Jual beli dengan tangguh bayar
3. Harga jual ; - Harga beli + marjin,
Ditetapkan pada saat realisasi.
4. Media penarikan ; - Surat sanggup,
Surat pembiayaan permohonan.
5. Tenor pelunasan ; Disesuaikan atas dasar siklus usaha
6. Jangka waktu : 1 tahun
7. Jaminan ; Stock barang dagangan,
Tagihan dan Fixed Asset.
8. Sifat pembiayaan ; Revolving,
Ad Hoc.
9. Dokumentasi ; Perjanjian di bawah tangan yang dilegalisasi oleh notariel,
Perjanjian notariel,
Bukti pembayaran harga,
Kuitansi jual beli.
Secara sederhana cara pelaksanaan pembiayaan murabahah adalah
1. Bank mengangkat nasabah sebagai agen bank.
2. Nasabah dalam kapasitasnya sebagai agen bank, melakukan pembelian barang atas bahan baku produksi atas nama bank dan sebelum debitur melunasi pembiayaan ini, maka sertifikat pembelian atas barang-barang tersebut dipegang oleh bank.
3. Bank menjual barang atau bahan baku tersebut kepada nasbah dengan harga sejumlah harga beli ditambah dengan keuntungan bank.
4. Nasabah membeli barang atau bahan tersebut dan pmbayarannya dengan cara tangguh (pada tanggak jatuh tempo).
d. Pembiayaan al-Bai’u Bithaman Ajil
yaitu suatu perjanjian di mana bank membiayai pembelian suatu barang dengan sistem pembayaran anguran cicilan. Dalam prakteknya dilakukan dengan cara membeli atau member kuasa kepada nasabah untuk membelikan barang yang diperlukan atas nama bank.
Pembiayaan ini mirip dengan kredit investasi pada bank konvensional, karena itu jangka waktu pembiayaan bisa lebih dari satu tahun. Jadi perbedaannya dengan pembiayaan murabahah adalah pembayaran dan jangka waktunya.
Tujuan pembiayaan ini adalah untuk membantu nasabah dalam rangka pemenuhan kebutuhan barang modal, yang tidak mampu membeli secara kontan.
Cara pelaksanaan pembiayaan ini adalah sebagai berikut :
1. Bank mengangkat nasabah sebagai agen bank.
2. Bank menjual barang modal tersebut kepada nasabah dengan harga sejumlah harga beli ditambah keuntungan bank.
3. Nasabah membeli barang modal tersebut dengan pembayaran secara angsuran sampai jatuh temponya.
e. Pembiayaan al-Qardhul Hasan
yaitu suatu perjanjian antara bank sebagai pemberi jaminan dengan nasabah sebagai penerima pinjaman, baik berupa uang maupun barang tanpa persyaratan adanya tambahan atau biaya apa pun.
Tujuan utama pembiayaan ini adalah untuk menolong peminjam yang berada dalam keadaan terdesak, baik untuk hal-hal yang bersifat konsumtif maupun produktif.
f. Pembiayaan al-Ijarah dan al-Bai’u al-Ta’jiri
yaitu perjanjian sewa-menyewa yang biasanya digunakan dalam usaha leasing baik secara sewa-menyewa maupun secara sewa beli. Menurut ketentuan yang berlaku di Indonesia kegiatan ini tidak dapat dilakukan secara langsung oleh bank, tetapi harus melalui anak perusahaan bank.
g. Bank Muamalat Indonesia juga dapat memberikan jasa-jasa lainnya
1. Pemberian garansi dengan konsep dasar al-Kafalah. Bank dapat memberikan garansi atau permintaan nasabah antara lain untuk menjamin pelaksanan proyek dan pemenuhan kewajiban tertentu oleh pihak yang dijamin.
2. Pemberian jasa transfer dengan konsep dasar al-Hiwalah.
3. Pemberian jasa penitipan barang dan surat berharga atas dasar konsep dasar :
a. al-Wadiah
Bank menerima titipan berupa uang, barang atau surat-surat berharga yang tujuannya untuk disimpan dan bank memperoleh fee sebagai imbalan.
b. al-Wakalah
Bank menerima titipan berupa uang atau surat berharga dan mendapat kuasa dari yang menitipkan untuk mengelola uang atau surat berharga tersebut.
4. Pemberian jasa pembukuan L/C dapat dilakukan untuk perdagangan dalam negeri dan atau perdagangan luar negeri. Pembukaan L/C tersebut dapat dilakukan atas dasar prinsip sebagai berikut :
a. al-Wakalah
Atas dasar prinsip ini, bank membuka L/C atas permintaan nasabah dengan meminta nasabah untuk menyetorkan dana yang cukup (100%) dari besarnya L/C yang dibuka.
b. al-Musyarakah
Atas dasar prinsip ini, bank bersama nasabah sepakat untuk membuka L/C untuk membeli barang.
c. al-Murabahah
Atas dasar konsep dasar ini, bank memberikan fasilitas kepada nasabah untuk membuka L/C dan memberikan barang yang diperlukannya.
Di dalam perkembangannya, atas tuntutan perkembangan ekonomi bisnis, Dewan Syari’ah menetapkan fatwa tentang jasa-jasa BMI seperti di bawah ini :
1. BMI boleh melakukan transaksi jual beli surat berharga yang diendors oleh bank lain untuk tujuan usaha atas dasar underlying transaction.
2. BMI boleh melakukan transaksi Ba’i al-Inah (pembiayaan ulang) bagi nasabah yang telah dibiayai oleh bank lain hendak mengalihkan port folio pembiayaannya ke Bank Muamalat Indonesia.
Bank juga dapat bertindak sebagai lembaga baitul mal yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infaq, waqaf, hibah atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada yang berhak dalam bentuk santunan dan atau pinjaman kebajikan.














BAB III
TINJAUAN TENTANG MUDHARABAH

Pengertian Mudharabah
Mudhrabah adalah suatu transaksi pembiayaan berdasarkan syariah, yang juga digunakan sebagai transaksi pembiayaan perbankan Islam, yang dilakukan oleh para pihak berdasarkan kepercayaan. Kepercayaan merupakan unsur terpenting dalam transaksi pembiayaan mudharabah, yaitu kepercayaan dari shahib al-mal kepada mudharib. Kepercayaan merupakan unsur terpenting, karena dalam transaksi mudharabah, shahib al-mal tidak boleh meminta jaminan agunan dari mudharib dan tidak oleh ikut campur di dalam pengelolaan proyek atau usaha yang notabene dibiayai dengan dana shahib al-mal tersebut adalah mudharib sendiri, tanpa campur tangan dari shahib al-mal, yang menjalankan dan mengelola proyek atau usaha tersebut. Paling jauh shahib al-mal hanya boleh memberikan saran-saran tertentu kepada mudharib dalam menjalankan atau mengelola proyek tersebut (Sjahdeini, 2007: 27).
Menurut Abdur Rahman L. Doi (1984: 367) yang dikutip dari buku Sjahdeini, 2007: 29, mudharabah dalam terminologi Islam adalah suatu kontrak di mana suatu kekayaan atau persediaan tertentu ditawarkan oleh pemiliknya atau pengurusnya kepada pihak lain untuk membentuk suatu kemitraan yang di antara kedua pihak dalam kemitraan itu akan berbagi keuntungan. Sedangkan mudharabah menurut ahli fiqh merupakan suatu perjanjian di mana seseorang memberikan hartanya kepada orang lain berdasarkan prinsip dagang di mana keuntungan yang diperoleh akan dibagi berdasarkan pembagian yang disetujui oleh para pihak, misalnya setengah atau seperempat dari keuntungan.

Jenis-jenis Mudharabah
Secara umum, menurut Antonio (2001: 97, 138), mudharabah terbagi menjadi dua jenis :
1. Mudharabah Muthlaqah
Yang dimaksud dengan transaksi mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerjasama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis. Maksudnya disini adalah pemilik dana memberikan otoritas dan hak sepenuhnya kepada mudharib untuk menginvestasikan atau memutar uangnya.
2. Mudharabah Muqayyadah
Yang dimaksud dengan transaksi mudharabah muqayyadah atau disebut juga dengan istilah specified mudharabah adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah. Maksudnya disimi adalah si mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu atau tempat usaha. Adanya pembatasan ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum si shahibul maal dalam memasuki jenis dunia usaha.


Manfaat dan Resiko Mudharabah
1. Manfaat al-Mudharabah menurut Antonio (2001: 97-98) adalah sebagai berikut :
a. Bank akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat.
b. Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan atau hasil usaha bank sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative spread.
c. Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow atau arus kas usaha nasabah sehingga tidak memberatkan nasabah.
d. Bank akan lebih selektif dan hati-hati mencari usaha yang benar-benar halal, aman dan menguntungkan, karena keuntungan yang konkret dan benar-benar terjadi itulah yang akan dibagikan.
e. Prinsip bagi hasil al-mudharabah atau al-musyarakah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap di mana bank akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap berapa pun keuntungan yang dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.
2. Risiko al-Mudharabah
Risiko yang terdapat dalam al-mudharabah, terutama pada penerapannya dalam pembiayaan, relatif lebih tinggi. Diantaranya :
a. side streaming, nasabah menggunakan dana itu bukan yang disebut dalam kontrak;
b. lalai dan kesalahan yang disengaja;
c. penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila nasabahnya tidak jujur (Antonio, 2001: 98).
Asas-Asas Perjanjian Mudharabah
Dari berbagai pustaka (Sjahdeini, 2007: 30-47) yang menguraikan mengenai mudharabah kandungan atau syarat-syarat dari perjanjian mudharabah adalah sebagai berikut :
1. Perjanjian mudharabah dapat dibuat secara formal maupun informal, secara tertulis maupun lisan. Namun mengingat ketentuan al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 282-283 yang menekankan agar perjanjian-perjanjian pinjaman dibuat secara tertulis, maka sebaiknya perjanjian mudharabah dibuat secara tertulis dengan dihadiri oleh saksi-saksi yang memenuhi syarat dan dirumuskan secara tegas dan jelas untuk menghindari salah tafsir yang secara lebih lanjut dapat menimbulkan salah pengertian yang dapat menimbulkan perbedaan pendapat yang tidak perlu di antara shahib al-mal dan mudharib.
2. Perjanjian mudharabah dapat pula dilangsungkan di antara beberapa shahib al-mal dan beberapa mudharib.
3. Pada hakikatnya kewajiban utama shahib al-mal ialah menyerahkan modal mudharabah kepada mudharib.
4. Yang terkait dengan orang yang melakukan transaksi haruslah orang yang cakap bertindak hukum dan cakap diangkat sebagai wakil.
5. Shahib al-mal berkewajiban menyediakan dana yang dipercayakan kepada mudharib untuk membiayai suatu proyek atau suatu kegiatan usaha.
6. Shahib al-mal berhak untuk memperoleh kembali investasinya dari hasil likuidasi usaha mudharabah tersebut apabila usaha mudharabah itu telah diselesaikan oleh mudharib dan jumlah hasil likuidasi usaha mudharabah itu cukup untuk pengembalian dana investasi tersebut.
7. Shahib al-mal tidak dapat meminta jaminan dari mudharib atas pengembalian investasinya.
8. Mudharib berkewajiban mengembalikan pokok dana investasi kepada shahib al-mal ditambah sebagian dari keuntungan yang pembagiannya telah ditentukan sebelumnya.
9. Mudharib wajib mematuhi syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan perjanjian mudharabah selama mengurus urusan-urusan mudharabah yang bersangkutan.
10. Shahib al-mal berhak melakukan pengawasan untuk memastikan bahwa mudharib menaati syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan perjanjian mudharabah.
11. Modal yang harus disediakan oleh shahib al-mal disyaratkan :
a. Berbentuk uang
b. Jelas jumlahnya
c. Tunai
12. Keuntungan bersih dibagi antara shahib al-mal dan mudharib berdasarkan profit and loss sharing principle.
13. Dalam hal mudharabah diperjanjikan batas waktunya, maka tidak dibenarkan untuk membagi keuntungan sebelum dapat ditentukan besarnya kerugian, dan telah dihapusbukukannya kerugian itu, dan terhadap modal telah diberikan penggantian penuh.
14. Apabila terjadi kerugian, maka shahib al-mal kehilangan sebagian atau seluruh modalnya, sedangkan mudharib tidak menerima remunerasi (imbalan) apa pun untuk kerja dan usahanya.
15. Tanggung jawab shahib al-mal terbatas hanya pada jumlah modal yang telah ditanamkannya.
16. Mudharib tidak diperkenankan membuat komitmen dengan pihak ketiga melebihi jumlah modal yang telah diinvestasikan oleh shahib al-mal.
17. Mudharib juga boleh ikut menanamkan modal untuk membiayai proyek atau usaha yang memperoleh pembiayaan mudharabah.
18. Antara shahib al-mal dan mudharib dapat diperjanjikan bahwa hubungan perjanjian tersebut merupakan mudharabah muthlaqah atau mudharabah muqayyadah.
19. Karena mudharib bertanggung jawab untuk menangani urusan-urusan muharabah, maka mudharib memiliki kekuasaan untuk bertindak dalam batas-batas keleluasaan tertentu.
20. Semua pengeluaran yang berkaitan dengan bisnis mudharabah yang bersangkutan dapat dibebankan atas beban rekening mudharabah yang bersangkutan.
21. Mudharib berhak untuk memperoleh remunerasi atau pembagian keuntungan yang besarnya telah ditentukan sebelumnya.
22. Mudharabah berakhir karena telah tercapainya tujuan dari usaha tersebut sebagaimana yang dimaksud dalam perjanjian mudharabah atau pada saat berakhirnya jangka waktu perjanjian mudharabah.
23. Mudharib memiliki sifat sebagai seorang wali amanah, di samping sebagai kuasa dari usaha dari bisnis yang bersangkutan.
Setelah melihat data diatas bahwa bahasan tersebut dapat kita simpulkan sebagai berikut; Perjanjian Mudharabah dapat dibuat secara tertulis maupun lisan, modal yang harus disediakan itu harus berbentuk uang, jumlahnya harus jelas dan tunai, tidak hanya itu mudharib harus cakap bertindak hukum, maksudnya disini adalah mudharib tidak hilang ingatan atau gila, dan tidak dibawah umur.
Aplikasi Mudharabah dalam Bank Islam
Seperti yang dikemukakan di muka yang dikutip dari PT. Bank Muamalat (tt: 5) bahwa al-mudharabah dapat dilakukan dengan memisahkan atau mencampurkan dana al-mudharabah. Berikut ini adalah penjelasan lebih lanjut mengenai hal itu.
1. Pemisahan total antara dana al-mudharabah dan harta-harta lainnya, termasuk harta mudharib.
Teknik ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan teknik ini adalah bahwa pendapatan dan biaya dapat dipisahkan dari masing-masing dana dan dapat dihitung dengan akurat. Selain itu, keuntungan atau kerugian dapat dihitung dan dialokasikan dengan akurat.
Kelemahan teknik ini terutama menyangkut moral hazard dan preferensi investasi si mudharib.
2. Dana al-mudharabah dicampur dan disatukan dengan sumber-sumber dana lainnya.
Sistem ini menghilangkan munculnya masalah etika dan moral hazard seperti di atas, namun dalam sistem ini pendapatan dan biaya al-mudharabah tercampur dengan pendapatan dan biaya lainnya. Hal ini menimbulkan sedikit kesulitan akunting dalam memproses alokasi keuntungan atau kerugian antara pemegang saham dan pemegang rekening.















BAB IV
PELAKSANAANMUDHARABAH PADA BANK MUAMALAT CABANG PALEMBANG DENGANKONSEP BAGI HASIL PADA BANK MUAMALAT CABANG PALEMBANG
Akhir-akhir ini, pertumbuhan dan perkembangan lembaga perbankan dan keuangan syari’ah mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik di dunia internasional maupun di Indonesia. Konsep perbankan dan keuangan Islam yang pada mulanya di tahun 1970-an hanya merupakan diskusi teoritis, kini telah menjadi realitas faktual yang mencengangkan banyak kalangan.
Kini lembaga perbankan syari’ah telah merambah 75 negara, tidak saja di negara-negara muslim, tetapi juga negara-negara sekuler yang minoritas muslim seperti Denmark, Luxemburg, Inggeris, Australia dan Amerika Serikat.
Di Indonesia, pertumbuhan perbankan syari’ah cukup fantastis, meskipun market sharenya masih kecil (1,6%). Hingga Desember 2006, asset bank syari’ah telah mencapai lebih Rp 25 trilyun dengan jaringan pelayanan mencapai 6201 kantor yang tersebar di seluruh Indonesia. Angka ini belum termasuk office channeling dan seribuan gerai yang dimiliki oleh Bank Muamalat (Mewujudkan Equilibrium Sektor Financial).
Gerakan ekonomi Islam dalam bentuk lembaga perbankan di Indonesia dimulai oleh kehadiran Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada awal tahun 1990-an, tepatnya tahun 1992. Dalam pekembangannya di tahun 1990-an itu, BMI telah menunjukkan kinerja dan prestasi yang luar biasa. Hal itu terbukti dari kepiawaian BMI dalam mengembangkan usahanya di masa krisis ekonomi berlangsung sejak tahun 1997. Bank Syari’ah pertama di Indonesia ini, tidak saja bisa survive, tetapi juga mampu meningkatkan laba bersih mencapai 134 % setahun dengan peningkatan asset 14 % setahun. Prestasi itu justru terjadi pada tahun 1999 di saat krisis moneter memuncak ( Agustianto, tt: 3).
Ketika badai krisis menghantam ekonomi Indonesia, semua perbankan konvensional mengalami goncangan hebat yang membuat seluruh bank konvensional mengalami defisit modal. Kebijakan bunga tinggi yang ditetapkan pemerintah selama krisis berlangsung telah membuat bank-bank mengalami negative spread atau selisih bunga negatif. Bank-bank harus membayar bunga simpanan lebih tinggi, sementara bunga kredit yang dipinjamkan jauh lebih rendah. Selain itu, kredit macet pun terjadi karena krisis ekonomi. Akibatnya dalam masa sekitar 1 tahun, 64 bank dilikuidasi dan 45 lainnya bermasalah sehingga harus masuk “rumah sakit” (penyehatan) BPPN.
Akan tetapi, bank-bank Islam yang ketika itu diperankan oleh Bank Muamalat dan sejumlah BPR Syari’ah, dapat selamat dari badai krisis itu. Hal ini disebabkan karena bank-bank syari’ah menggunakan sistem bagi hasil, sehingga tidak dibebani untuk membayar bunga simpanan nasabah sebagaimana dalam sistem konvensional. Bank syari’ah hanya membayar bagi hasil yang jumlahnya sesuai dengan tingkat keuntungan perbankan syari’ah. Bahkan posisi CAR Bank Muamalat ketika itu cukup tinggi yaitu 16,5 %, jauh di atas CAR yang ditetapkan Bank Indonesia ketika itu yakni 8 % (Agustianto, tt: 3-4 ).
Ketika Bank Indonesia mengeluarkan peraturan kebijakan uang ketat yang membuat bank-bank konvensional menghentikan kredit, BMI malah sebaliknya, mengucurkan kredit dalam jumlah cukup besar yaitu Rp 334 Milyar, padahal dana pihak ketiga saat itu belum mencapai Rp 1 Trilyun. Fakta ini merupakan fenomena yang sangat berbeda dengan bank konvensional yang menghentikan kreditnya sama sekali (agustianto, tt: 4 ).
Karena resistensi dan keunggulan sistem perbankan syari’ah itu, maka pemerintah dan DPR mengeluarkan Undang-Undang Nomor 10/1998 tentang perbankan, sebagai perubahan atas Undang-Undang No 7/1992 tentang Perbankan.
Undang-Undang ini membuka peluang kepada bank-bank konvensional untuk konversi menjadi syari’ah atau membuka unit usaha syari’ah. Karena peluang itu, puluhan perbankan konvensional membuka cabang syari’ah dan unit usaha syari’ah. Bank Syari’ah Mandiri yang berasal dari Bank Susila Bhakti, secara total konversi menjadi syari’ah. Bank konvensional yang membuka unit usaha syari’ah antara lain, Bank BNI Syari’ah, BRI Syari’ah, Bank Danamon Syari’ah, Bank Bukopin, Bank IFI Syari’ah, PT Bank Jabar Syari’ah, BII Syari’ah. Menurut laporan majalah modal dalam tahun ini enam Bank Pembangunan Daerah akan membuka unit Usaha Syari’ah.
Pertumbuhan bank syari’ah di Indonesia sejak tahun 2000-2003 sangat fantastis, mencapai 54% - 74% setahun. Pada tahun 2002, pertumbuhan bank syari’ah 74% setahun dan pada tahun 2003 sebesar 70% setahun .
Pertumbuhan perbankan syari’ah tersebut cukup menggembirakan, baik pertumbuhan kelembagaan, pertumbuhan asset, pertumbuhan sumber dana dan pertumbuhan asset produktif. Hal yang sama juga terjadi bila dilihat perbandingan antara FDR Perbankan syari’ah dan LDR perbankan konvensional. Perbankan syari’ah sekitar 105 %, sedangkan perbankan konvensional masih 54 % (Desember 2003). Ini berarti tingkat intermediasi perbankan perbankan syari’ah jauh lebih tinggi dari perbankan konvensional.
Bank Muamalat Indonesia hadir sebagai sebuah terobosan baru dalam dunia perbankan. Dengan lantang ia berani menyebutkan diri sebagai sebuah perbankan yang murni syariah. Jurus manajemen apa yang diterapkan oleh Bank Muamalat Indonesia sehingga mampu bertahan sampai saat ini? Salah satu jurus manajemen unggulan yang diterapkan oleh Bank Muamalat Indonesia adalah jika motivasi dalam melakukan bisnis mengarah pada tujuan abadi yaitu keridhoanIllahi.
Beberapa langkah manajemen yang diterapkan oleh BMI ini tertulis dalam sebuah buku The Celestial Management. Konsep awal yang diterapkan oleh A Riawan Amin selaku direktur utama BMI adalah ZIKR (Zero Base Iman Konsisten Result Oriented). Dalam berbisnis dijelaskan bahwa setiap manusia harus memiliki zero base dimana memandang segala permasalahan dengan bersih tanpa sangkaan. Salah satu ciri orang yang berpandangan zero base adalah bebas dari segala prasangka dalam menganalisis segala permasalahan.
I dalam ZIKR bermakna iman dimana harus berbisnis dengan keyakinan akan sebuah keberhasilan sehingga memiliki peluang untuk berhasil. Secara horizontal keimanan akan memacu seseorang untuk berkompetisi. Sikap konsisten juga harus dimiliki demi kesuksesan dan sebuah bisnis dan harus memiliki orientasi hasil yang jelas.
Konsep lainnya adalah PIKR (Power Information Knowledge dan Rewards). Power diterjemahkan sebagai pembagian tugas yang jelas sehingga diperlukan sebuah power sharing. Pada kekuasaan, akan tercipta posisi yang berbeda dengan tanggung jawab pribadi maupun kelompok. Broker informasi harus dihilangkan untuk menghindari kalangan yang memiliki kekuasaan atas informasi. Knowledge penting agar sebuah kelompok memiliki pengetahuan tinggi. Pendidikan yang baik adalah sistem bawah ke atas dimana sebuah perusahaan perlu memberikan reward bagi kru yang berhasil maupun melakukan kesalahan. Reward ini terbagi atas dua yaitu reward negative dan reward positif. Tujuan dari konsep PIKR adalah agar tidak tampak birokratis dan tercipta hubungan saling bantu.
Konsep yang ketiga adalah MIKR (Militan Intelek Kompetitif dan Regeneratif). ZIKR, PIKR dan MIKR adalah model manajemen yang diterapkan dalam sistem kerja Bank Muamalat. Terobosan manajemen khas Muamalat adalah menonjolkan egaliter dan tim kerja yang bercorak kemitraan. Yang tak ketinggalan tentunya ada konsep spriritualitas. Penerapan strategi dalam buku ini ternyata berhasil mengangkat prestasi dari Bank Muamalat, setelah beberapa waktu lalu memiliki kemunduran (2008: 2). Mungkin banyak kalangan bisnis yang sudah mencoba sistem bisnis seperti ini. Namun, kesuksesan Bank Muamalat Indonesia dalam mengaplikasikan ketiga konsep diatas cukup memberikan sebuah pencerahan dalam mengaplikasikan konsep tersebut dalam kehidupan bisnis Anda.
PROSES BAGI HASIL PADA PT. BANK MUAMALAT CABANG PALEMBANG
Penetapan bagi hasil di Bank Muamalat dilakukan dengan terlebih dahulu mengitung HI-1000 (baca: Ha-i-seribu), yakni angka yang menunjukkan hasil investasi yang diperoleh dari penyaluran setiap seribu rupiah dana nasabah. Sebagai contoh: HI-1000 Rupiah bulan Juni 2005 adalah 11,57. Hal tersebut berarti bahwa dari setiap Rp. 1.000,- dana nasabah yang dikelola Bank Muamalat akan menghasilkan Rp. 11,57 (HI-1000 sebelum bagi hasil). Apabila nisbah bagi hasil antara nasabah dan bank untuk deposito 1 bulan adalah 52:48, maka dari Rp. 11,57 tersebut, untuk porsi nasabah dikalikan dahulu dengan 52% sehingga untuk setiap Rp. 1.000,- dana yang dimiliki, nasabah akan memperoleh bagi hasil sebesar Rp. 6,01 (berarti HI-1000 nasabah = 6,01 rupiah). Secara umum hal tersebut dirumuskan sebagai berikut :
Rata-Rata Dana Nasabah Nisbah Nasabah
Bagi Hasil Nasabah = ________________________________________ X HI-1000 * X ________________________________________
1000 100
*) HI-1000 Sebelum Bagi Hasil (PT. Bank Muamalat, tt: 1)
Sebagai contoh yang dikutip dari PT. Bank Muamalat (tt: 1), seorang nasabah (Pak Slamet) menyimpan deposito Mudharabah di Bank Muamalat pada bulan Juni senilai Rp. 10.000.000,- dengan jangka waktu 1 bulan. Diketahui nisbah deposito 1 bulan 52:48. HI-1000 untuk bulan Juni 11,57. Maka untuk mengetahui nilai bagi hasil yang akan didapatkan Pak Slamet adalah :
Rp 10.000.000,- 52
Bagi Hasil Nasabah = ________________________________________ X 11,57 X ________________________________________
1000 100
Bagi Hasil Nasabah = Rp. 60.164,-
Adapun ketentuan nisbah yang telah ditetapkan oleh Bank Muamalat Cabang Palembang yang dikutip dari IAS dan Associates (tt: 47), antara lain sebagai berikut :
PRODUK NISBAH
GIRO WADIAH BONUS
TABUNGAN MUDHARABAH 45 : 55
DEPOSITO
1 Bulan 52 : 48
3 Bulan 53 : 47
6 Bulan 54 : 46
12 Bulan 55 : 45
HUBUNGAN NISBAH DENGAN BAGI HASIL
- Dipergunakan sebagai dasar pembagian bagi hasil
- Dapat dilihat pada Revenue Sharing distribution (Pendapatan Distribusi)


NISBAH 51 : 49
Maksudnya adalah untuk shahibul mal/nasabah sebesar 51 bagian dan untuk mudharib/ bank sebesar 49 bagian.
Menurut analisis saya pelaksanaan Mudharabah yaitu














BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, maka kesimpulan dari skripsi ini adalah :
Konsep bagi hasil pada PT. Bank Muamalat Cabang Palembang, yaitu dengan cara Konsep awal yang diterapkan oleh A Riawan Amin selaku direktur utama BMI adalah ZIKR (Zero Base Iman Konsisten Result Oriented). Dalam berbisnis dijelaskan bahwa setiap manusia harus memiliki zero base dimana memandang segala permasalahan dengan bersih tanpa sangkaan. Salah satu ciri orang yang berpandangan zero base adalah bebas dari segala prasangka dalam menganalisis segala permasalahan.
I dalam ZIKR bermakna iman dimana harus berbisnis dengan keyakinan akan sebuah keberhasilan sehingga memiliki peluang untuk berhasil. Secara horizontal keimanan akan memacu seseorang untuk berkompetisi. Sikap konsisten juga harus dimiliki demi kesuksesan dan sebuah bisnis dan harus memiliki orientasi hasil yang jelas.
Konsep lainnya adalah PIKR (Power Information Knowledge dan Rewards). Power diterjemahkan sebagai pembagian tugas yang jelas sehingga diperlukan sebuah power sharing. Pada kekuasaan, akan tercipta posisi yang berbeda dengan tanggung jawab pribadi maupun kelompok. Broker informasi harus dihilangkan untuk menghindari kalangan yang memiliki kekuasaan atas informasi. Knowledge penting agar sebuah kelompok memiliki pengetahuan tinggi. Pendidikan yang baik adalah sistem bawah ke atas dimana sebuah perusahaan perlu memberikan reward bagi kru yang berhasil maupun melakukan kesalahan. Reward ini terbagi atas dua yaitu reward negative dan reward positif. Tujuan dari konsep PIKR adalah agar tidak tampak birokratis dan tercipta hubungan saling bantu.
Konsep yang ketiga adalah MIKR (Militan Intelek Kompetitif dan Regeneratif). ZIKR, PIKR dan MIKR adalah model manajemen yang diterapkan dalam sistem kerja Bank Muamalat. Terobosan manajemen khas Muamalat adalah menonjolkan egaliter dan tim kerja yang bercorak kemitraan. Yang tak ketinggalan tentunya ada konsep spriritualitas.
Sedangkan, Proses Bagi Hasil pada PT. Bank Muamalat Cabang Palembang, yaitu dengan cara melakukan penetapan bagi hasil di Bank Muamalat dilakukan dengan terlebih dahulu mengitung HI-1000 (baca: Ha-i-seribu), yakni angka yang menunjukkan hasil investasi yang diperoleh dari penyaluran setiap seribu rupiah dana nasabah.

1 komentar:

Nopiraningrum,SH.i mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

Posting Komentar